Tampilkan postingan dengan label Cara Mendidik Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cara Mendidik Anak. Tampilkan semua postingan

17 September 2010

Kesalahan Abadi Orang Tua

Tidak ada rumusan atau falsafah dalam mengasuh anak, karena hampir semua orang tua melakukan kesalahan komulatif. Setiap generasi mengulang kesalahan generasi sebelumnya.

Bill Cosby, Peran Sang Ayah

(Kakek melarang ayah saya berenang, memanjat pohon, camping, dan sebagainya. Ketika beliau menjadi orang tua saya (menjadi ayah), hal ini diulangi kembali kepada anak-anaknya-BP)



Ayahku, Harimauku

Kadang saya merasa papa seperti harimau. Setiap kali ketemu papa, saya selalu penuh selidik, apakah suasana hati papa lagi jinak atau nggak? Sebab jika tidak dalam keadaan jinak, hal sekecil apapun yang saya lakukan, bisa selalu salah di mata papa.
(Ayahku, Harimauku, Dra. V. Dwiyani)


16 September 2010

Usamah Bin Ladin dalam Pandangan Omar (Anaknya)

Anak-anak Usamah tidak pernah sekalipun dibelikan mainan oleh ayahnya, sehingga mereka jarang merasakan kesenangan seperti halnya anak-anak seusia mereka. Bahkan jika berbuat salah, Usamah sering memberi mereka tamparan.

Saat mereka tumbuh remaja, Omar bercerita bahwa ayahnya pernah mengajak mereka terlibat misi-misi bunuh diri. Ketika Omar protes, Usamah mengatakan :"Kamu tidak akan mendapat kasih sayang dari diriku lagi, bahkan dibandingkan semua anak di seluruh dunia.

Saat itulah Omar menyadari, ayahnya Osama Bin Ladin, lebih memilih membenci musuh-musuhnya daripada mencintai anak-anaknya sendiri.

Saya hanya menginginkan dirinya seperti ayah-ayah yang lain, yang hanya memperhatikan keluarga dan pekerjaan, ujar Omar.


Sumber : Republika, 7 Jan 2010

Potret Ayah

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya.. akan sering merasa kangen sekali dengan ibunya.

Lalu bagaimana dengan ayah?

Mungkin karena ibu lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata ayahlah yang mengingatkan ibu untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, ibulah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang ayah bekerja dan dengan wajah lelah ayah selalu menanyakan pada ibu tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil. Ayah biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah ayah mengganggapmu bisa, ayah akan melepaskan roda bantu di sepedamu…kemudian ibu bilang : “Jangan dulu ayah, jangan dilepas dulu roda bantunya”
ibu takut putri manisnya terjatuh lalu terluka…

Tapi sadarkah kamu?
Bahwa ayah dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya pasti bisa.

Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, ibu menatapmu iba, tetapi ayah akan mengatakan dengan tegas : “Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang.”
Tahukah kamu, ayah melakukan itu karena ayah tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?

Saat kamu sakit pilek, ayah yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : “Sudah dibilang, kamu jangan minum air dingin!”.

Berbeda dengan ibu yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut. Ketahuilah, saat itu ayah benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.

Ketika kamu sudah beranjak remaja…kamu mulai menuntut pada ayah untuk dapat izin keluar malam, dan ayah bersikap tegas dan mengatakan: “Tidak boleh!.”

Tahukah kamu, bahwa ayah melakukan itu untuk menjagamu? Karena bagi ayah, kamu adalah sesuatu yang sangat – sangat luar biasa berharga..

Setelah itu kamu marah pada ayah, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu…dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah ibu…

Tahukah kamu, bahwa saat itu ayah memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, bahwa ayah sangat ingin mengikuti keinginanmu, tapi lagi-lagi dia harus menjagamu?

Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, ayah akan memasang wajah paling cool sedunia…

Ayah sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu..

Sadarkah kamu, kalau hati ayah merasa cemburu?
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan ayah melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.

Maka yang dilakukan ayah adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir…dan setelah perasaan khawatir itu berlarut-larut... ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam, hati ayah akan mengeras dan ayah memarahimu...

Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti AYAH akan segera datang? “Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan ayah”

Setelah lulus SMA, ayah akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang dokter atau insinyur.
Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan ayah itu semata – mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti…

Tapi toh ayah tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan ayah.

Ketika kamu menjadi gadis dewasa…. dan kamu harus pergi kuliah di kota lain… ayah harus melepasmu di bandara.

Tahukah kamu bahwa badan ayah terasa kaku untuk memelukmu?
Ayah hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini – itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati.
Padahal ayah ingin sekali menangis seperti ibu dan memelukmu erat-erat.
Yang ayah lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata “Jaga dirimu baik-baik ya sayang”.
Ayah melakukan itu semua agar kamu kuat…kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.
Di saat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah ayah.

Ayah pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.

Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan ayah tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan…
Kata-kata yang keluar dari mulut ayah adalah : “Tidak…. Tidak bisa!”
Padahal dalam batin ayah, ia sangat ingin mengatakan “Iya sayang, nanti ayah belikan untukmu”. Beliau tidak ingin gagal membuat anaknya tersenyum.

Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana. Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu. Ayah akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”

Sampai saat seorang teman lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada ayah untuk mengambilmu darinya.

Ayah akan sangat berhati-hati memberikan izin...karena ia tahu bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.

Dan akhirnya…saat ayah melihatmu duduk di pelaminan bersama seseorang lelaki yang dianggapnya pantas menggantikannya, ayah pun tersenyum bahagia….

Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu ayah pergi ke belakang panggung sebentar, dan menangis?

Ayah menangis karena ia sangat berbahagia, kemudian ayah berdoa… dalam lirih doanya kepada Tuhan, ayah berkata: “Ya Tuhan tugasku telah selesai dengan baik…putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik. Bahagiakanlah ia bersama suaminya…”

Setelah itu ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk…

Dengan rambut yang telah dan semakin memutih. Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya….

Ayah telah menyelesaikan tugasnya. Ayah, bapak, abah,papi, papa kita…adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat…bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis…

Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .
Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa “KAMU BISA” dalam segala hal…

Teruntuk semua ayah yang ada di seluruh dunia…

15 September 2010

Mari Kita Belajar Menjadi Ayah yang Baik

Ingatkah anda kisah kerelaan Nabi Ibrahim a.s., untuk mengorbankan putra pertamanya, Ismail, atas perintah Allah SWT ? Ketika Ibrahim a.s., berkata kepada putranya ia memiliki ilham bahwa Allah ingin ia menyembelih Ismail, sang putra patuh tanpa keengganan sedikit pun.

Hal yang paling luar biasa dari kisah itu adalah, bagaimana Ismail begitu percaya sepenuhnya pada kebenaran ilham sang ayah.

Beberapa anak lelaki saat ini yang akan bereaksi serupa Ismail ketika orang tua berkata pada mereka, "Tuhan menginginkan aku mengorbankan dirimu?. Mungkin sebagian akan menjawab, "Apa bapak sudah gila? Mereka mungkin bisa menerima gagasan berkorban untuk Allah, namun sulit meyakini ada hubungan kuat antara ayah dengan Allah, seperti yang dialami Ismail.

Inilah letak peran penting seorang ayah dalam keluarga. Kepercayaan mendalam hanya dapat dihasilkan dari hubungan sangat dekat.

Pun, Sang ayah, Nabi Ibrahim sama sekali tidak was-was dan bingung terhadap rencana masa depan putranya. Ismail pun tak memiliki tujuan besar lain selain mematuhi sang ayah, dan bersedia melakukan apa pun perintah Allah. Tentu saja mereka berdua nabi dan dari segi keutamaan dan kedudukan jauh dari manusia biasa.

Namun ada hal-hal besar yang dapat dipelajari oleh keluarga Muslim saat ini. Pemaparan dari ahli psikologi keluarga, Marria Husain, dari situs keluarga Zawaj berikut layak untuk dijadikan acuan.

Menghormati Kepercayaan Keluarga


Orang tua harus terus menjaga nilai kelayakan dan kepercayaan dalam keluarga dengan selalu mengarahkan tujuan rumah tangga untuk beribadah kepada Allah. Faktor pemimpin keluarga sangat besar di sini, yakni ayah. Kini berapa keluarga yang benar-benar membesarkan anak sebagai semata-mata ibadah dan ikhlas kepada Allah.

Sebaliknya berapa banyak keluarga Musim yang mengguyur anak-anak mereka dengan kencang dalam hal keuangan dan material, atau mendorong mereka untuk meraih sebanyak mungkin gaji, jabatan, kedudukan, ketenaran dan materi lain.

Banyak orang tua yang cenderung mengambil alih mimpi anak. Tentu orang tua ingin melihat anak mereka berhasil, sekolah di tempat baik, mendapat jodoh yang baik, tapi itu bukan segalanya dan belum tentu yang diinginkan orang tua juga diinginkan anak.

Anak-anak saat ini dikorbankan untuk jadwal yang padat, bahkan saat mereka di usia kanak-kanak. Orang tua pun tak bisa melepaskan diri dari harapan tinggi pada anak-anak sekaligus melupakan bahwa anak-anak pun berhak menuntut dari orang tua, yakni waktu, kebersamaan, dan kasih sayang. Dalam tradisi para nabi, bila pria menghabiskan waktu bersama keluarga akan dinilai sebagai ibadah.

Keluarga Butuh Cinta Ayah


Cukup memprihatinkan saat ini, banyak keluarga muslim dikorbankan karena selip pemahaman sang ayah. Pemahaman itu membuat lelaki berkeluarga meninggalkan keluarga demi aktif di komunitas luar.

Saat ini, menurut Maria Hussein, para lelaki kadang berpikir berlebihan dengan menganggap keluarga akan menghalangi kecintaan terhadap Allah, sehingga mereka berjarak dengan istri dan anak-anak. Yang terjadi, para lelaki tipe ini memang kerap terlibat dalam pelayanan komunitas, berlama-lama dalam masjd, menolong orang lain, sementara di rumah hanya berbincang sekedarnya, melakukan aktifitas seperlunya karena energi telah terkuras di luar sebelum akhirnya tidur kecapaian.

Namun, itu masih lebih baik. Maria menuliskan ada lagi tipe yang lebih parah, yakni tipe yang berjarak dari keluarga karena mengejar material. Persamaan kedua tipe ayah itu, sama-sama tidak memandang keluarga sebagai alat untuk beribadah dan mendapat keikhlasan Allah. Kedua tipe ayah di atas menurut Maria, dapat memberi dampak buruk bagi anggota keluarga lain.

Sang istri mungkin, yang awalnya sukarela mendampingi suami dalam pernikahan dan membebaskan suami melakukan 'hal lebih penting' untuk Allah, akan mengubah pandangan. Istri bisa jadi merasa diabaikan dan ditolak. Itu pun sangat mungkin terjadi pada anak. Apalagi bila anak mulai merasakan tanda-tanda bila ibu jengkel terhadap ayah.

Dampak kemudian akan lebih buruk. Bila beberapa bulan atau tahun, anak-anak terbiasa tinggal tanpa ayah itu sangat beresiko. Akan muncul perasaan tidak lagi butuh sosok ayah dan akhirnya hilang perasaan kedekatan. Artinya si ayah sebenarnya telah 'kehilangan' anak mereka. Dalam kehidupan saat ini, tidak cukup bagi seorang ayah hanya datang dan membawa uang lalu merasa pekerjaan sudah beres.

Baik anak lelaki dan perempuan membutuhkan waktu bersama ayah. Anak lelaki yang terabaikan oleh ayah secara psikologi cenderung mengembangkan perilaku kasar, melanggar norma dan hukum dan selip secara seksual saat remaja.

Sementara anak perempuan yang tak mendapat cukup penghargaan, perhatian dan cinta kasih ayah akan lebih rentan dari serangan predator seksual. Hal itu karena, menurut Maria, di bawah sadar, mereka mencari kasih sayang atau peran pengganti ayah. Kebutuhan didorong perasaan putus asa untuk cinta kasih dan pengakuan kerap membuat remaja melakukan perilaku terlarang dan merusak.

Sementara anak-anak berbahagia yang mendapat kesempatan bersama sang ayah untuk bersenang-senang, beraktivitas bersama cenderung sedikit memiliki masalah sosial. Mereka bahkan akan mengembangkan pribadi lebih sehat, stabil dan memenuhi kewajiban pernikahan dengan baik pada tahun-tahun kemudian.

Sumber : muslimdaily.net



Ayah yang Hebat

Buat kalian yg membenci ayah kandung, lihatlah ini.
Buat kalian seorang ayah yg membenci anaknya, lihat ini.
Dan buat kalian yg berpikir hidup ini sampah, lihatlah ini.

*** I want to be a simply dad, just like him.





A son asked his father, "Dad, will you take part in a marathon with me?" The father who despite having a heart condition, said, "Yes".

They went on to complete the marathon together. Father and son went on to join other marathons, the father always saying, "Yes" to his son's request of going through the race together.

One day, the son asked his father, 'Dad, let us join the Ironman together; to which his father said, "Yes", too.

For those who don't know, Ironman is the toughest triathlon ever. The race consists of three endurance events of a 2.4 miles (3.86 kilometers) ocean swim followed by a 112 miles (180.2 kilometers) bike ride and ending with a 26.2 miles (42.195 kilometers) marathon along the coast of the Big Island.

Father and son went on to complete the race together.

Based on the TV interview of Dick and Rick Hoyt, Dick, the father explained that Rick while still in his mother's womb, the umbilical chord was wrapped around his neck cutting off oxygen to the brain.

And when Rick was born, the doctor who was looking after Rick told Dick and his wife that Rick would never be able to walk nor talk all his life that it would be best that they put him away. But the Hoyts would not be willing to do such a thing and decided to bring him home instead and decided likewise to treat him just like anyone normal kid. So that when the family went for a swim, Rick went with them and so on and so forth.

It was one day while wathing TV (if my memory serves me right) that Rick saw a benefit marathon for a paralityc child and he wanted to be a part of the benefit marathon. And that started both father and son with their races even while Dick had a heart condition and Rick himself was not well all the time. In fact there were two years where they were not able to join the races because Dick had a heart attack and the other year was that (if I remember it correctly now, Rick was the one who had a problem.

And also based on an article that I read about them, both had so far completed 212 triathlons, 4 15-hour Inronmans. And that it was two years back from today, when Dick had his heart attack, and his doctor said, had it not been his good physical condition on account of the races, he would have died 15 years ago.

Both then via the races have served one another in a loving and wonderful way.

Dick humbly said in the interview when he was called a hero by the interviewer, "I just simply love my family".

And indeed, he loved them even as he loved Rick that much that he committed himself to do the tough physical demands of the races and the triathlons, the Ironman that his son may have the chance to enjoy the races and be a part of life. And in a return show of love and appreciation, Rick says this of his father, "Dad is my hero."

And to end my inputs on the father and son, I'd like to end what Rick says that he likes most...(Rick types using a special machine), he says, "The thing I most like is my dad sit in the chair and I push him once."

How touching!

13 September 2010

Jadwal Bermain Bersama Ayah

Tidak ada kata lelah dalam cinta seorang ayah...

Setiap kali ditanya, kenapa dalam keadaan selelah itu, ayah masih saja menyediakan waktu dan tenaga yang terkadang di luar kemampuan wajar? Jawabannya sederhana saja.

"Mumpung mereka masih butuh ayah."

"Anak-anak akan tumbuh besar, menjadi remaja dan punya banyak teman. Atau menjadi dewasa dan dibekap kesibukan yang tak habis-habis. Entah sampai kapan orangtua masih menjadi teman favorit mereka, Kita tidak pernah tahu."

Kutipan : Rumah Cinta Penuh Warna, Asma Nadia dan Isa, hal 18

24 Agustus 2010

Memangnya Sains Itu Serius?

Kompas, 01 November 2004

Seorang anak kelas VI sekolah dasar memasang botol plastik yang telah dibelah dua di atas mobil-mobilan Tamiya tanpa bodi. Di dalam botol ia masukkan balon berisi air, sambil tangannya terus menjepit leher balon agar air tidak tumpah sebelum waktunya. Kemudian jepitan ia lepaskan. Air mengucur deras ke belakang, dan mobil-mobilan meluncur ke depan. Anak itu gembira. Betul-betul gembira. Beberapa temannya yang menyaksikan bertepuk tangan.



Eksperimennya itu kemudian diikutkan pada suatu lomba. Sang juri bertanya, “Percobaanmu itu apa gunanya?” Sedikit tergagap si anak menjawab, “Ini bukti air sebagai sumber energi.”

Juri mengangguk-angguk. Tak ada pertanyaan lagi sesudah itu. Habis. Tak ada tawa. Beda sungguh dengan ketika pertama kali hasil eksperimen itu diperagakan di hadapan teman-temannya.

Entah karena jawaban tersebut, entah karena hasil eksperimen itu kalah menarik dibandingkan dengan eksperimen karya peserta lainnya, walhasil anak itu tidak menang. Akan tetapi bukan itu yang penting.

Saya bayangkan kalau saya juri, tak akan saya tanya manfaatnya. Saya akan bertanya bagaimana ceritanya ia mendapat ide seperti itu? Bagaimana perasaannya menemukan mainan sederhana itu? Bukan kebetulan, saya tahu kisah bagaimana eksperimen itu dimulai. Anak itu terinspirasi oleh eksperimen temannya yang gagal meluncurkan mobil dengan udara. Digabung dengan hasil main-mainnya dengan balon berisi air, jadilah mobil bertenaga air. Boleh jadi yang seperti itu pernah dilakukan di belahan bumi yang lain. Bukan sesuatu yang baru. Akan tetapi, bagi si anak, tetap saja baru.

Menurut hemat saya, jauh lebih berharga apabila juri mengeksplorasi kegembiraan anak-anak saat menceritakan kembali perjalanan eksperimennya ketimbang menghadangnya dengan pertanyaan apa manfaatnya?” Biarlah binar-binar memancar dari mata mereka karena itu akan bermetamorfosis menjadi antusiasme. Antusiasme itu akan menjadi energi untuk kembali mengerjakan eksperimen sains yang asyik. Pertanyaan “apa manfaatnya” hanya akan menjadi pagar khayalan yang menghadang kreativitas mereka di sana-sini.

Saya jadi teringat kisah Richard P Feynman (1918-1988) dari Amerika Serikat yang merupakan salah seorang fisikawan paling berpengaruh di abad ke-20. Ia peraih Nobel Fisika tahun 1965. Suatu ketika Feynman merasa mulai sebal dengan fisika. Ia tahu sebabnya. Tidak lain karena ia mulai serius. Akhirnya ia putuskan untuk kembali seperti dulu: bermain dengan fisika. Ia menulis di bukunya, “aku melakukan apa saja yang kusukai; apa yang kukerjakan tak mesti penting untuk perkembangan fisika nuklir, tapi asal menarik dan menyenangkan untuk mainanku”.

Suatu ketika Feynman bermain lempar piring di kafetaria kampusnya. Waktu piring itu melayang di udara, ia melihat bandul merah di atas piring itu berputar-putar, lebih cepat daripada perputaran piring. Dengan penuh semangat ia mulai menghitung gerakan rotasi piring itu. Hasilnya ia ceritakan kepada koleganya, fisikawan terkenal Hans Bethe (peraih Nobel Fisika tahun 1967).

Bethe bilang, “Feynman, itu memang menarik, tetapi apa pentingnya? Mengapa kau kerjakan?”
Memang tidak ada pentingnya. Feynman mengerjakannya cuma karena senang. Komentar Bethe tidak memengaruhinya karena ia sudah menetapkan hati untuk menikmati fisika. Ujungnya, main-mainnya itu mengantarkan ia kepada perhitungan-perhitungan gerakan elektron yang rumit, yang membuatnya memperoleh Nobel Fisika. Ya, itulah. Semestinya sains didekati dengan semangat bermain.

Rupanya tidak mudah melepaskan sains dari kata “serius”. Di dalam lomba percobaan sains yang lain, seorang anak SD memeragakan kincir air buatannya. Kincir air itu bagus dan sederhana. Ia kemudian bercerita mengenai manfaat dari kincirnya itu, yang dikatakannya dapat memperbaiki kesejahteraan petani. Di sinilah soalnya. Paparan itu tampak membanggakan, tetapi saya malah jatuh iba. Anak sekecil itu sudah memikirkan soal yang serupa itu. Mungkin ini dramatisasi, tetapi sempat terpikir: berat benar jadi anak Indonesia! Ingin saya bilang, “Ayo kita keluar bermain-main dengan kincir airmu itu. Biar orang dewasa saja yang memikirkan kesejahteraan petani.”

Saya tidak tahu adakah soal kesejahteraan petani itu idenya sendiri atau “pesanan” orang tua atau gurunya. Apa pun, menurut pendapat saya, hal ini menjerembabkan sains menjadi serius. Eksperimen sains anak-anak kembali “menghamba” untuk menjadi jawaban atas pertanyaan “apa manfaatnya”.

Penyakit serius ini sempat menjangkit pula di klub sains yang saya asuh. Beberapa anak minta saran bagaimana cara menjawab pertanyaan, “apa manfaat percobaanmu?”

Saya balik tanya, “Menurutmu apa?”
“Enggak tahu.”
“Ya sudah. Jawab saja belum tahu. Atau bilang saja, percobaan ini membuat saya lebih memahami sains. Memang kenyataannya begitu kan?”
“Kalau ditanya manfaat sehari-hari?”
“Kalau tidak tahu, bilang saja tidak tahu. Memangnya harus selalu ada manfaat sehari-harinya?”
“Ya, kalau jawabannya begitu, bisa kalah dong!”
“Tidak mengapa. Lebih penting bagimu menikmati dan memahami sains daripada memenangi lomba. Jauh lebih penting bagimu untuk bergembira dengan sains daripada mencemaskan akan juara atau tidak.”

Anak-anak, bahkan juga kita orang dewasa, patut diberitahukan bahwa kemenangan yang sesungguhnya ialah apabila kita semakin memahami alam. Jadi, entah di rumah entah di sekolah atau di mana saja, biarlah anak-anak bergembira dengan sains. Biarlah mereka menemukan dunia yang asyik melalui kegiatan-kegiatan yang tampak tak berguna semacam mengamati semut, mencampur soda kue dan cuka di dapur rumah Anda, atau meniup gelembung sabun dari sisa sabun mandinya. Dampingi saja mereka bermain dan bergembiralah bersama. Atau jangan-jangan Anda sendiri masih memandang sains kelewat serius?

A Muzi Marpaung
Pengasuh Klub Sains Ilma
Sumber http://rumahsainsilma.blogspot.com



Pesan untuk Ayah Bunda

Ciawi, Rabu 25 Agustus 2010


Kuantar kau tidur malam ini, seperti biasa
bersama kita ucapkan doa sebelum tidur
sambil tanganmu melingkar di leherku,
kau tersenyum...

Matamu menatapku, bening dan bahagia...
sudah kau lupakan sedihmu tadi pagi
saat aku marah karena kau tidak turuti perintahku.

Kulontarkan anak panah tajam kata-kata, mengkritikmu...
berapa banyak nak, yang menancap di hatimu sehingga ia berdarah?
Kesalkah kau padaku?

Tadi siang aku menatapmu dengan panasnya amarah....
hanya karena masalah sepele, yang bahkan aku pun tahu
kau tak bermaksud untuk melakukannya...

Berapa banyak benih cinta dalam ladang hatimu
yang hangus karena tatapanku nak?

Tak pernah kau jera untuk mencintaiku...
sementara tadi sore kau tertunduk saat aku tuding kau...
sebab kurasa kau tak perhatikan kata-kataku...

Tembuskah tombak telunjukku
menusuk dalam jantungmu nak?
Masih tetap kau cari aku untuk memelukmu

Sesudah saat makan malam tadi aku menghukummu
karena tak kau habiskan makananmu
yang kubilang dibeli dengan susah payah....

Menyusutkah rasa sayang dalam kantong jiwamu karenanya nak?
Malam ini, kutemani kau tidur seperti biasa...
bersama kita ucapkan doa sebelum tidur...
sambil tanganmu melingkar di leherku, kau tersenyum...

Matamu yang mengantuk menatapku, bening dan bahagia....
airmataku meleleh saat kau terpejam dengan senyummu masih di bibir
dan tanganmu masih memeluk leherku...

Aku mohon maafmu, nak..
ajari aku untuk mencintaimu seperti kau mencintaiku. ...

Sumber : Widya Agung, milis sekolahrumah@yahoogroup.com

09 Agustus 2010

Suka Mengambar, Kenapa Tak Suka Mewarnai?

Anak usia 3-5 tahun rata-rata memang senang menggambar dan melukis. Anak menikmati sekali menuangkan ide dan imajinasinya ke atas sehelai kertas. Aktivitas berekspresinya dimulai dari memegang krayon, merasakan kelembutan tekstur cat, meraba goresan pensil di kertas.

Kesemua aktivitas itu akan membawa anak ke dalam dunianya sendiri. Jadi, menggambar merupakan suatu proses kreativitas, bukan sekadar menghasilkan warna saja.

Sering kali terjadi kerancuan justru karena tindakan orang dewasa yang menganggap bahwa anak usia tersebut belum cukup pandai untuk menggambar. Akhirnya, diberilah buku-buku mewarnai agar si anak mewarnai gambar-gambar yang sudah tersedia dan terpola dengan bagusnya. Anak diminta mewarnai gambar yang sudah dibatasi oleh garis-garis batas yang sedemikian rapi dan sempurna.

Dampaknya, anak akan merasa bahwa orang dewasa menggambarnya lebih baik dibandingkan dirinya. Selain itu, anak juga akan kehilangan daya ekspresif dan spontanitasnya karena mewarnai semacam itu dapat membatasi pengalaman kreativitas anak yang tinggi.

Anak jadi kurang dapat mengekspresikan diri dan seni. Ia ragu-ragu dan takut menggambar, cenderung menyalin gambar yang ada dari buku mewarnai dan tidak menampilkan keunikannya sendiri.

Bahkan, penelitian yang dilakukan Dr. Irene Russell, dari Amerika Serikat menemukan bahwa pembatasan pada kegiatan mewarnai saja dapat menghilangkan kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaan mereka melalui seni.

Hindari Pola


Mewarnai memang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kreativitas. Namun, orangtua tak perlu khawatir bila anak tak suka mewarnai. Bisa saja orangtua menstimulasinya dengan cara menyediakan berbagai media mewarnai yang beraneka ragam sesuai usia anak dan juga yang menarik minatnya. Seperti cat, kapur, lilin, pewarna makanan, spidol warna warni, krayon atau pensil warna.

Lindungi pakaian anak dengan celemek jika takut kotor. Daripada menyediakan pola-pola gambar yang baku dan cenderung untuk mendikte anak mengikuti pola (outline), biarkan anak mengekspresikan warna pada kertas dengan ruang kosong yang luas. Misal, kertas berukuran besar yang bisa digambari objek seukuran tubuh anak (anak berbaring di atas kertas dan orangtua menarik garis lingkar luar di sekitar tubuhnya), untuk kemudian gambar tersebut diwarnai bersama-sama orangtua.

Bisa juga anak menambahkan sendiri pola gambarnya di ruang tersebut sehingga anak dapat berkreasi dan mewarnai bebas autonom.

Berikan anak kesempatan menuangkan imajinasinya dan berekspresi sendiri serta mengomunikasikan dirinya dengan warna-warna yang ada. Jangan paksakan anak untuk menciptakan warna sesuai "selera" orang dewasa/sesuai apa yang dilihat oleh "kacamata" orang dewasa.

Anak usia 3-5 tahun mewarnai sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Misal, matahari diberi warna merah, tanah warna kuning, atau awannya warna pink. Itulah imajinasi seorang anak yang tak akan pernah dirasakan lagi saat dewasa.
Mungkin saja, ketika ditanya anak mengatakan ia mewarnai matahari seperti itu karena sinarnya sangat panas atau warna pink pada awan menandakan pelangi yang muncul, dan sebagainya.

Perkembangan mewarnai pun seiring dengan usianya. Contoh, anak 3 tahun mulai mencoret dengan satu warna, anak 4 tahun sudah berwarna-warni seimbang dengan gambar; anak 5 tahun sudah menggunakan banyak warna.

Keterlibatan orangtua selama proses kreatif ini amat penting, sehingga anak berminat untuk berkreasi maksimal. Orangtua bisa mendampingi anak atau sambil bercengkerama gembira turut menggoreskan warna dengan jari ke kertas. Anak pasti sangat menikmati proses berkreasi tersebut.

Bisa jadi, setelah goresan awal, si anak akan terpicu menggores lagi dengan warna-warna lain sehingga terciptalah suatu karya unik milik mereka. Beri pujian atas hasil gambarnya serta diskusikan pula hasil tersebut dengan anak.

Jika perlu, hasil karya yang paling disukainya ditempelkan di dinding atau diberi bingkai lalu ditaruh di kamar anak. Lewat proses mewarnai sebetulnya anak belajar mengenai pengenalan warna-warna.

Pengenalan warna ini dapat merangsang daya pengamatan, daya imajinasi, serta penyampaian motorik kasar dan halus anak dan mengasah kemampuan komunikasinya dalam bentuk visual. Anak pun jadi lebih peka terhadap pengenalan warna, lebih terarah dalam mewarnai, dan terampil memilih kombinasi warna.

Pada masa prasekolah, menggambar juga merupakan salah satu cara bagi anak mengomunikasikan imajinasinya.

Jadi, tak masalah jika anak hanya sukanya menggambar saja tanpa mau mewarnainya. Tetap dukung si anak menuangkan apa yang ada dalam pikiran/imajinasinya menjadi sebuah bentuk visual. Itulah proses kreatif.

Orangtua hendaknya senantiasa berusaha mengerti gambar apa yang mereka maksudkan. Jangan bertanya ataupun mengkritik hasilnya supaya anak tidak kecewa.

Sebetulnya, kemampuan anak dalam menggambar berkembang seiring dengan perkembangan usianya. Di usia 3 tahun, anak menggambar bentuk orang hanya berupa lingkaran besar yang dibubuhi mata, mulut, serta kedua kaki dan tangan yang langsung menempel pada lingkaran tersebut.

Saat usia 4 tahun, mulai ada keseimbangan pada gambar; bentuk orangnya kini mempunyai tungkai dan lengan. Di usia 5 tahun gambarnya mulai ada penambahan latar belakang di sekitar objek utama, seperti gambar bunga, matahari, rumput, burung, dan sebagainya.

Pada masa prasekolah ini, sebetulnya, belum ada keinginan anak untuk memberi detail pada gambarnya. Ia belum sadar, bahwa karyanya adalah sebuah hasil seni. Ia mencoret mengenai apa yang ia inginkan, bukan apa yang dilihatnya. Apa yang mereka gambar belumlah proporsional sebagaimana gambar orang dewasa.

Biarkan mereka maju seiring dengan perkembangannya. Stimulasilah anak untuk tetap mau menggambar. Caranya dengan tidak memaksa anak untuk menggambar objek dengan realis.

Untuk memicu keinginan menggambar dapat dengan mendongeng/bercerita tentang pengalaman menarik. Apapun hasil karya si anak senantiasalah puji agar anak termotivasi, merasa bangga dan muncul rasa berprestasi atas hasil karyanya.

Jika orangtua mengkritik, salah-salah malah membuat anak malas, kecewa, dan takut untuk berekspresi lagi, lantaran merasa gambarnya tidak komunikatif/dimengerti oleh orang dewasa.

Bahasa Rupa Anak

Sering kali terjadi, anak selesai menggambar malas untuk mewarnai. Begitu pun mungkin sebaliknya, ada anak senang mewarnai saja dan tidak mau menggambar.

Memang, akan lebih baik jika keduanya mau dilakukan anak. Namun kembali lagi pada definisi "baik" mewarnai atau menggambarnya dalam konteks apa? Sebab, pembelajaran adalah sebuah input-proses dan output-hasil.

Jadi, jangan menilai dari hasilnya saja. Apalagi nilai berdasarkan standar orang dewasa. Pertimbangkan input (usia/perkembangan rupa anak, media, kesempatan, emosi/jiwa) dan proses saat berkreasi (gembira, menjiwai, menikmati).

Anak yang suka mewarnai saja belum tentu tak bisa menggambar. Hanya saja kesempatan menggambar yang diberikan kurang atau bahkan dihambat. Misalnya, hanya menyediakan buku mewarnai ketimbang memotivasi anak untuk menggambar. Apalagi bila pujian hanya muncul jika ia berhasil mewarnai dengan rapi tanpa melihat pentingnya kemampuan berimajinasi. Hal tersebut akan semakin menjauhi keinginannya untuk menggambar.

Sebetulnya, menggambar maupun mewarnai merupakan bahasa rupa anak. Sama-sama merupakan sebuah hasil bereksperimen, pembelajaran, dan penghayatan yang berbuah kreasi.

Itulah yang terjadi saat anak menggambar maupun mewarnai dimana anak belajar melalui bermain. Baik menggambar ataupun mewarnai, keduanya dapat meningkatkan kemampuan otak kanan, yang berkaitan dengan berekspresi dan berkesenian.

Sering kali kemampuan ini kurang diperoleh dari pelajaran di sekolah yang lebih cenderung menekankan pentingnya otak kiri (menghafal, mengingat). Orangtua maupun pendidik hendaknya menyadari, bahwa Tuhan telah menciptakan otak begitu sempurna dengan dua belahan (hemisfer) kiri dan kanan. Marilah, mulai menstimulasi "seluruh otak" anak baik pikiran dan perasaannya dengan merangsang kreativitasnya.

Sumber : www.tabloid-nakita.com

03 Agustus 2010

Orang Tua Tidak Selalu Lebih Mulia daripada Anak

Anak diberi apapun.
Sang pemberi (orang tua) merasa
diri telah berkorban dan dengan pengorbanannya itu
memposisikan diri LEBIH MULIA...

Tidak ada peluang anak menampilkan sudut pandangnya.
Begitu banyak hak-hak anak dihilangkan.

(Kutipan dari blog Goenawan Mohamad)

02 Juli 2010

Peluk Cium Orang Tua Membuat Anak Cerdas Emosi

Ciuman hangat dari kedua orang tua pada si buah hatinya, secara tidak langsung, dapat mengasah kecerdasan emosi bagi sang anak. Ia menyebutkan, tidak hanya ciuman, namun pelukan atau belaian dan kata-kata lembut juga dapat menstimulasi kecerdasan emosi sang anak.

"Yang dimaksud di sini adalah ciuman yang menunjukkan rasa kasih sayang pada anak. Bisa dilakukan kapan saja, semakin sering maka semakin baik," kata Rusdiah Agustina SPsi, SPdI, konsultan psikologi anak dan keluarga, di Gorontalo, Kamis.

Selain itu juga pujian, tepuk tangan, atau ucapan terima kasih atas perilaku baik yang ditunjukkan oleh anak, juga dapat menunjang hal tersebut. Semua itu, lanjut dia, dapat dilakukan orang tua kepada anaknya yang usia balita maupun setelahnya.

"Ciuman dan pujian adalah bentuk penghargaan terhadap anak. Dengan begitu, dia akan merasa sangat dihargai oleh orang tuanya, dan memacunya untuk melakukan hal positif," kata pengasuh acara psikologi anak dan keluarga di Radio Kosmonita FM Gorontalo itu.

Dikatakan, jika sang anak berbuat hal negatif, atau sesuatu yang membahayakan dirinya maupun orang lain, maka sebaiknya orang tua tidak serta merta mengeluarkan kata-kata keras atau kasar terhadapnya. "Berikan dia nasehat dengan bahasa sederhana sambil dibelai atau dipeluk," kata dia.

Selain itu, pemberian hukuman juga dinilainya perlu. Sepanjang itu bersifat mendidik dan tidak dilakukan secara fisik, ujar Rusdiah, hukuman bisa diberikan.

Sumber : Republika, Kamis 1 Juli 2010, Ririn Sjafriani




14 Juni 2010

Psikolog: Terlalu Dini, Komputer Bisa Rusak Otak Anak

Idealnya komputer diperkenalkan kepada anak saat ia berusia 9 tahun bukan ketika masih bayi. Queency (2,5 tahun) malaikat kecil saya sudah dua hari ini libur "main komputer". Sejak main komputer ia jadi malas menggambar, baca buku, mandi, dan lain sebagainya. Dari pagi sampai sore di depan komputer melulu sampai matanya lelah. Inilah efek komputer yang ingin disampaikan Dr. Sigman.


Perdebatan tentang kapan sebaiknya anak dikenalkan dengan teknologi memang masih belum selesai. Sebagian ahli mengatakan dengan menggunakan teknologi, anak-anak dapat terbantu dalam mempelajari perkembangan bahasa.

Namun, sebagian mengatakan itu justru merusak perkembangan kemampuan kognitif anak. Termasuk seorang psikolog dan penulis, Dr. Aric Sigman mengatakan pengenalan dini terhadap teknologi justru merusak otak anak-anak yang belum sepenuhnya terbentuk.

Sebelumnya, The Early Years Foundation Stage - sebuah yayasan kurikulum- menyarankan orangtua untuk mengenalkan komputer pada anak-anaknya di saat mereka masih berusia 22 bulan sampai 40 bulan. Dengan harapan di usia dini itu, anak-anak sudah mampu menjalankan teknologi sederhana seperti merubah saluran televisi, menggunakan mouse komputer atau bermain software tertentu.

"Namun, ada bukti yang menunjukkan pengenalan Information and Communication Technology (ICT) di awal usia justru merongrong keterampilan anak. Akibatnya adalah anak-anak tak mau lagi membaca buku, tidak memperhatikan guru dan susah untuk berkomunikasi," tambahnya, seperti dikutip detikINET dari Telegraph, Selasa (15/6/2010).

Menurutnya, hanya karena anak-anak tertarik pada komputer bukan berarti mereka harus mengenalnya sejak dini. "Anak-anak bisa saja tertarik dengan alkohol, senjata dan pornografi. Itu bukan berarti kita boleh membiarkan mereka mengaksesnya dengan mudah," tutup Dr. Sigman sambil mengatakan idealnya teknologi dikenalkan pada anak yang sudah berusia sembilan tahun bukan ketika masih bayi.

Sumber : Febrina Ayu Scottiati - detikinet, detik.com
Selasa, 15 Juni 2010

12 Mei 2010

Kotor Tak Selamanya Buruk untuk Anak

Kalau nggak kotor....nggak belajar.

Penelitian terbaru menunjukkan, menjauhkan anak dari hal-hal yang dianggap tercemar kuman atau virus, justru merampas kesempatan mereka untuk membangun sistem kekebalan tubuh yang kuat.

Kebersihan adalah sebagian dari iman. Slogan ini tentu telah lama dipopulerkan. Jadi siapa pun tak terkecuali wajib menjaga dan memerhatikan kebersihan, termasuk kebersihan diri sendiri. Begitu pula dengan anak, terlebih di usia prasekolah akhir anak diharapkan sudah mampu mandiri dengan melakukan aktivitas untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri.

Misalnya, bisa mandi sendiri dan membersihkan seluruh tubuhnya dengan sabun serta mencuci rambutnya dengan sampo. Sebenarnya wajar anak usia dini terlihat dekil. Karena sudah sifat dasar anak kecil untuk menyentuh apapun yang ada di lingkungannya, bahkan yang paling menjijikan sekalipun.

Orang tua tentu saja khawatir jika anak jorok maka akan memengaruhi kesehatannya. Setelah musim flu babi selama setahun lalu mulai berkurang intensitasnya, kini anak-anak secara intensif diajarkan mencuci tangan secara teratur dan menggunakan gel pembersih tangan untuk mencegah masuknya kuman atau virus.


Tidak berlebihan apabila orang tua harus mengkhawatirkan penyakit infeksi dan menular lainnya akan menyerang anak. Sebagian besar dari mereka padahal masih menggantungkan diri pada masyarakat sekitarnya saar melindungi anak dari kuman berbahaya. Tetapi apakah tepat menjauhkan anak-anak dari kegiatan yang dinilai kotor bagi kehidupannya kelak?

Sebuah penelitian terbaru menyebutkan bahwa membiarkan anak di bawah umur "berteman" dengan kuman dan virus ternyata lebih mampu memberikan perlindungan lebih besar dari terjangkit penyakit seperti alergi atau asma di masa mendatang.

Sebuah pemikiran yang disebut "hipotesis kebersihan" menyatakan bahwa paparan parasit, bakteri, dan virus pada awal kehidupan anak-anak, menjadikan kemungkinan menderita penyakit seperti alergi, asma, dan penyakit autoimun lainnya saat dewasa lebih besar. Hal itu belum tentu benar. Kenyataannya, anak yang memiliki kakak yang dibesarkan di sebuah peternakan atau sering dititipkan ke tempat penitipan anak justru memperlihatkan tingkat yang lebih rendah untuk mendapatkan alergi.

"Sama seperti otak bayi yang butuh stimulasi, rangsangan dan interaksi yang berkembang secara normal, sistem kekebalan tubuh anak ini harus "diperkuat" oleh paparan kuman sehari-hari sehingga dapat belajar, beradaptasi, dan mengatur dirinya sendiri," kata Thom McDade PhD, seorang profesor dan Direktur Laboratory for Human Biology Research at Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat seperti dikutip laman WebMD.

Sebetulnya, efek dari paparan aksi kuman ini belum dikonfirmasi. Tetapi, penelitian baru telah memperlihatkan petunjuk. Tim peneliti yang dipimpin oleh McDade menemukan bahwa anak-anak yang sering terkena kotoran hewan dan mengalami diare sebelum usia 2 tahun, pada dewasa nanti akan jarang menderita peradangan pada tubuhnya. Peradangan tersebut dikaitkan dengan berbagai penyakit dewasa kronis seperti jantung, diabetes, dan alzheimer.

"Kami bergerak di luar ide ini bahwa sistem kekebalan hanya mempengaruhi penyakit alergi, penyakit autoimun dan asma terkait perannya dalam peradangan dan penyakit degeneratif lainnya," kata McDade. Paparan mikroba saat kecil mungkin penting untuk menjaga tidak terjadinya peradangan saat dewasa.

"Sebagian besar kuman tersebar di lingkungan yang hidup di tubuh kita tidak hanya berbahaya, tetapi mereka juga telah bersama kita selama ribuan tahun," ujar Martin Blaser MD, seorang profesor penyakit dalam di New York University, New York, Amerika Serikat.

Seperti juga perilaku manusia yang terus berubah selama setengah abad terakhir, kata Blaser, banyak mikroba, seperti beberapa jenis yang selama ini tinggal di usus, akan segera menghilang. "Bagi mikroba melakukan fungsi fisiologis penting tetapi akibat kehidupan modern, mereka berubah dan ada pula yang menghilang," ungkapnya. "Saat proses penghilangan akan terjadi konsekuensi, bisa baik atau buruk," tandasnya.

Ketika kita secara berlebihan menjaga kebersihan anak untuk melindungi mereka dari paparan penyakit, kita justru merampas kesempatan mereka untuk membangun sistem kekebalan yang kuat. Selain kampanye kebersihan yang notabene dapat mencegah anak-anak dari paparan mikroorganisme alami yang baik bagi mereka, ada praktek-praktek lain - seperti penggunaan berlebihan antibiotik -yang justru mengancam kesehatan anak.

Lalu, apa yang seharusnya orang tua lakukan? Seperti juga dalam hal segi kehidupannya lainnya, menjaga kesehatan anak Anda ada kaitannya dengan menemukan keseimbangan. Blaser menyarankan, orang tua dan dokter untuk hati-hati mempertimbangkan penggunaan antibiotik apakah selalu harus digunakan saat anak demam.

Terlalu sering menggunakan antibiotik, lanjut dia, memainkan peran besar dalam melemahkan kemampuan sistem kekebalan tubuh anak untuk melawan infeksi. Dan ketika sudah waktunya untuk menjaga kebersihan lingkungan yang bebas kuman, McDade menuturkan, "Saya ingin menguji akal sehat Anda, bahwa tidak perlu terlalu sering mencuci atau membersihkan segala sesuatu," katanya.

Menurut McDade, tetap bersihkan rumah dari kotoran. Tetapi, ingat bahwa bahan kimia keras untuk membersihkan seperti pemutih, mungkin akan lebih berbahaya bagi anak-anak Anda daripada kuman yang melekat. Dan misalnya anak Anda menjatuhkan makanan ke lantai, ambil napas dalam-dalam dan tetap suapkan makanan tersebut.

Sumber :http://okezone.com
Rabu, 12 Mei 2010

05 Mei 2010

Sering Nonton TV, Anak Bisa Bodoh

MONTREAL, KOMPAS.com — Semakin lama durasi anak usia di bawah lima tahun (balita) menonton televisi, kondisi kesehatannya semakin terancam. Ada studi yang meneliti 1.300 anak di Inggris yang memiliki tingkat prestasi buruk di sekolah.



Hasilnya, anak itu ketika anak balita (2-4 tahun) terlalu banyak menonton TV, yakni lebih dari 2 jam per hari. Penelitian pertama dilakukan ketika anak-anak itu berusia 2 dan 4 tahun lalu penelitian kedua dilakukan kembali pada anak yang sama ketika mereka berusia 10 tahun.

Anak-anak yang menonton TV terlalu banyak terbukti jarang terlibat kegiatan di kelas dan tingkat pemahaman pada pelajaran Matematika rendah. Linda Pagani dari University of Montreal, yang melakukan penelitian yang diterbitkan di jurnal Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine, menekankan tahap awal masa kanak-kanak adalah masa-masa paling penting bagi perkembangan otak dan pembentukan perilaku.

"Orangtua harus memperbanyak waktu berbicara dan melakukan aktivitas bersama dengan anak pada waktu makan, mandi, atau bermain,” ujarnya. (BBC/LUK)

Sumber : http://kesehatan.kompas.com/

03 Mei 2010

Belajar Membaca untuk Batita

Yang jelas, bukan dengan cara dipaksa.

"Apakah tidak terlalu cepat mengajari anak batita belajar membaca?" Kalau yang Anda maksud adalah membaca koran, ya tentu saja terlalu cepat. Tapi kalau untuk tujuan menumbuhkan cinta baca sekaligus mengajarinya mengenal huruf, maka jawabannya adalah tidak. Justru, usia batita adalah masa yang paling tepat bagi anak untuk dikenalkan pada huruf dan kata serta ditumbuhkan keinginan bacanya.

Meski demikian, syarat dan ketentuan berlaku di sini, yaitu:

* Ajarkan membaca dengan cara yang menyenangkan, bukan seperti belajar membaca di SD.
* Jangan paksa anak, kalau sudah terlihat bosan segera hentikan.
* Jangan pasang target-target tertentu, seperti sekian bulan sudah hafal sekian huruf dan seterusnya.
* Berikan contoh langsung, anak yang tumbuh dari keluarga suka membaca lebih mudah mencintai kegiatan baca.

5 LANGKAH MUDAH
Dengan kondisi menyenangkan tanpa target, inilah yang dapat Anda lakukan:
1. Memasang karpet huruf
Pasanglah karpet huruf di kamar anak. Saat ini banyak tersedia karpet dengan motif huruf serta gambar-gambar menarik yang terbuat dari bahan karet yang bisa dilepas-lepas ataupun bahan wol. Dengan demikian setiap hari, tanpa disadari anak akrab dengan berbagai bentuk huruf. Orangtua sambil lalu bisa mengajarkan pada anak, "Ayo, Nak, pakai bajumu sambil berdiri di atas huruf ‘B’, ya," sambil tunjukkan tempat di mana anak harus berdiri. "Kalau mau dikucir rambutnya duduk di atas huruf ‘R’," dan seterusnya.
Catatan:
Bila anak alergi karet, orangtua bisa menggantinya dengan wallpaper huruf.

2. Tempel nama
Tempelkan nama anak di pintu kamar atau lemarinya. Misal, ECHA, dengan huruf kapital besar dan warna mencolok. Orangtua juga bisa memesankan grafir nama anak dari kayu ataupun busa yang kini banyak dijual di pusat perbelanjaan. Dengan melihat tulisan namanya setiap hari, si kecil akan hafal huruf-huruf tertentu sehingga ia tidak kaget saat belajar mengeja namanya. Supaya terbiasa bisa juga ditempel tulisan, contohnya "toilet", "dapur", "kamar", "telepon" di pintu-pintu ruangan atau benda yang dimaksud.
Catatan:
Buat tulisan dalam huruf kapital besar dan beri warna berbeda untuk tiap hurufnya agar menarik. Selain itu warna yang berbeda sekaligus bisa digunakan untuk latihan mengenal warna. "Coba tebak yang huruf C warnanya apa?"

3. Ada huruf di mana-mana
Kalau anak terlihat mulai asyik belajar mengenal huruf, orangtua bisa menempel huruf di tempat-tempat yang mudah terlihat. Misal, di lemari, pintu kulkas, dinding, kursi, buku dongengnya, dan sebagainya. Contohkan bagaimana melafalkan huruf-huruf tersebut. Metode ini diharapkan mempermudah anak dalam belajar bunyi-bunyian huruf karena ia sudah mengenal bentuk huruf sebelumnya.
Catatan:
Jangan sekadar dijadikan pajangan, tapi gunakan tempelan tulisan itu sambil bermain, misalnya, "Hari ini Adek mau duduk di kursi apa?" "Oh, kursi B? Oke, kemarin di kursi D, sekarang di kursi B."

4. Kartu bergambar
Saat ini kartu bergambar untuk mengenalkan huruf pada anak banyak dijual di pasaran. Bahkan nakita pun pernah memberikan bonus kartu seperti ini beberapa nomor yang lalu. Biasanya kartu baca itu berukuran 8x10cm, dengan gambar tertentu disertai tulisan di bawahnya. Contoh, gambar buah apel dengan tulisan APEL di bawahnya. Cara bermainnya cukup mudah, tunjukkan beberapa kartu supaya anak ingat. Lakukan dengan cara menyenangkan, misalnya menyelipkannya di antara kegiatan bermain. Setelah beberapa hari, coba tanyakan, "Carikan Mama kartu APEL dong!" Biarkan anak memilih satu di antara beberapa (2-3) kartu di depannya.
Catatan:
Kalau anak belum bisa menunjukkan kartu yang dimaksud atau masih salah, biarkan saja. Jangan memarahi atau memaksanya. Lakukan terus tanpa beban/target.

5. Lagu-lagu
Beberapa lagu memang dibuat untuk mengajarkan kenal huruf pada anak. Umpama, lagu A-B-C. Nyanyikan lagu itu sambil bermain atau setelkan CD-nya saat bermain bersama anak. Lama-lama anak akan hafal karena sering menirukan bunyinya.

BUATKAN BUKU
Setelah perbendaharaan huruf/kata anak agak banyak, coba buatkan buku khusus untuknya.
Bahan yang dibutuhkan:
Kertas karton, cetakan/tulisan print tulisan huruf/kata yang sudah dikenalnya, potongan gambar-gambar menarik/foto-foto
Cara membuat:
1. Rancang sebuah cerita yang di dalamnya ada huruf/kata yang sudah dikenal anak.
2. Cetak/tulis huruf/kata yang sudah dikenal anak dengan warna-warna menarik.
3. Tulis cerita itu di atas karton dengan menyelipkan huruf/kata yang sudah dikenal anak. Contoh: "Hari ini ECHA makan APEL yang disimpan MAMA dalam LEMARI. Sambil makan, ECHA duduk di atas KURSI B. APEL-nya manis."
4. Tempelkan potongan gambar/foto-foto yang menarik untuk menghiasi "bukunya".
5. Perhatikan ekspresi anak, bagaimana senangnya ia karena sudah bisa "membaca".
COBA TERUS
Ada kalanya anak akan menolak melanjutkan belajar "membaca". Kalau penolakan itu ditunjukkan sejak awal, bisa jadi ia memang belum tertarik pada huruf atau cara yang digunakan kurang menarik. Tak masalah, coba saja terus sambil bermain. Tapi kalau awalnya anak mau kemudian menolak, bisa jadi anak sedang bosan dengan metode tertentu atau cara pengenalan huruf yang diterapkan tidak menarik lagi baginya. Bila ini yang terjadi, ubah cara belajarnya. Contoh, kalau sebelumnya bermain dengan kartu, sekarang minta anak mewarnai gambar huruf dan seterusnya.
Kebosanan bisa juga disebabkan anak sudah mengenal hampir semua huruf. Bila hal ini terjadi, tingkatkan kesulitannya dengan mengajak anak memasangkan huruf mati dengan huruf hidup seperti "ma"/"MA" dan "pa"/"PA". Hal penting yang perlu diingat, setiap anak memiliki kecepatan yang berbeda dalam menyerap informasi baru. Bersabarlah jika anak membutuhkan waktu lama untuk mengenal huruf. Yang penting anak dapat mengenal huruf saat mulai bersekolah sehingga mempermudah dirinya mengikuti aktivitas di kelas.

MENGHINDARI KEBOSANAN
* Ciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan bebas dari tekanan.
* Hindari memaksa anak untuk mengikuti metode belajar tertentu. Ada baiknya orangtua mengobservasi minat anak, kemudian mengenalkan huruf melalui kegiatan yang diminati oleh anak. Pembelajaran akan lebih mudah diserap bila dilakukan melalui kegiatan yang disenangi.
* Variasikan cara pengenalan huruf untuk mencegah kebosanan. Memperkenalkan huruf kepada si kecil tidak perlu memakan biaya besar. Gambar-gambar di kalendar bekas pun dapat digunakan untuk membuat kartu bergambar atau buku gambar anak.
* Hindari memaparkan anak terus-menerus pada kegiatan pengenalan huruf. Dikhawatirkan anak menjadi bosan sehingga menolak belajar huruf di sekolah kelak.

Marfuah Panji Astuti.

Narasumber:
Sali Rahadi Asih, M. Psi.,
Master of Grief and Palliative Care Counseling Candidate, the University of Adelaide

27 April 2010

Ajungkan Jempol pada Anakmu

Ringkasan sebuah buku yang berjudul Appreciating Your Child karya Zhou Hong. Zhou Hong berasal dari negeri Cina adalah sebagai berikut.

Zhou Hong memiliki seorang anak perempuan, tuli, bernama Zhou Ting Ting. Ting Ting ini dia bawa ke seluruh sinshe pengobatan akupuntur, dengan harapan Ting Ting bisa mendengar. Ting Ting selalu menangis kesakitan tiap kali dia harus menerima siksaan berupa tusuk jarum. Itu dilakukan dari dia bayi.


Sampai suatu ketika, di suatu malam yang hujannya deras bukan kepalang, Zhou Hong membawa Ting Ting ke sebuah sinshe akupuntur lainnya. Ting Ting menangis dan menolak, tetapi Zhou Hong mengeraskan hatinya, sambil juga menangis. Dia tak lagi bisa membedakan mana air matanya dan mana air hujan, saking derasnya. Detik demi detik berlalu di tempat sinshe itu, Ting Ting diam saja. Tidak lagi menangis, tak bereaksi, hanya air matanya yang mengalir di pipinya, tanpa suara.


Melihat itu Zhou Hong berjanji dalam hati, akan menerima Ting Ting apa adanya dan akan berhenti melakukan semua akupuntur yang menyiksa putrinya. Setelah itu, Zhou Hong terus memotivasi Ting Ting yang di usia 3 tahun, masih belum fasih bicara.

Perlahan tapi pasti, Zhou Hong terus melakukan pujian pada anaknya, mengacungkan jempol pada Ting Ting dan terbukti itu berhasil. Ting Ting muda ketika kecil meraih penghargaan reinkarnasi Hellen Keller di Asia. Sampai terakhir prestasi gemilang yang digondolnya adalah meraih gelar S3 (Phd) dari satu universitas yang cukup ternama di Amerika Serikat.

Di luar berbagai penghargaan dari pemerintah Cina juga seperti 10 wanita muda yang berpengaruh di Cina dan sebagainya. . Zhou Hong diminta pemerintah Cina untuk pergi ke seluruh Cina mewartakan apa yang dia lakukan bagi anaknya. Untuk para guru dan pendidik, untuk para orang tua, seminarnya menjadi lautan air mata.

Di Singapura sendiri, Jack Neo, sutradara Singapura disuruh pemerintahnya buat mengikuti seminarnya Jack menolak karena tak merasa butuh dan memutuskan pergi membawa laptop saja untuk menghindari kebosanan. Tahu-tahunya, baru awal seminar Jack sudah menangis karena amat tersentuh dan hasilnya dia menelurkan film berjudul I’am Not Stupid yang terdiri dari 2 seri (sekuelnya).

Tak ada orang tua yang berniat jahat terhadap anaknya (kecuali ortu yang di luar normal), hanya mereka tak terbiasa memuji anak-anaknya. Mereka banyak melarang, sehingga mematikan potensi si anak. Bukan pula berarti anak boleh seenaknya sendiri, namun dipuji tentunya akan menghasilkan Ting Ting lainnya. Percaya bahwa si anak mampu, bukan melabelinya dengan ucapan bodoh, tolol, bego, nakal dan seterusnya.

Menjadi orang tua yang apresiatif bukanlah pekerjaan mudah, ketika anak Anda mencorat-coret dinding, bagaimana mengacungkan jempol padanya? atau ketika anak Anda dapat nilai 3 dalam pelajaran Bahasa Inggris, mau diacungi jempol? Begitu tanya Anda ? yang pasti, walaupun dia dapat nilai 3, coba melihat betulnya daripada salahnya, dan berharap lain kali dia bisa mengerjakan lebih baik.


Menjadi orang tua yang bijaksana, tak pernah mudah. Semoga kita bisa sama-sama belajar menjadi orang tua yang dapat melihat kebaikan dalam diri anak-anak kita. Acungkan jempol pada Anak Anda!

Semoga kita bisa melihat kebaikan dalam diri mereka yang dipercayakan Tuhan pada kita. Anak adalah titipan terbaik dari Tuhan yang harus kita jaga dengan penuh cinta.

(ringkasan dari buku Appreciating Your Child karya Zhou Hong. Zhou Hong berasal dari negeri Cina)

05 April 2010

Kesalahan Orangtua dalam Mendidik Anak

ORANGTUA tak seharusnya menempatkan posisi sebagai pihak yang selalu benar. Menerima kritik dan saran dari anak menjadi tanda bahwa orangtua tumbuh matang bersama kedewasaan berpikir anak.

Beberapa kesalahan yang seringkali dilakukan orangtua dalam mendidik anak, di antaranya:


Terlalu banyak membaca buku pengasuhan anak

Buku parenting bisa menjadi masalah ketika orangtua menggannti kemampuan mereka sendiri dalam mengasuh anak dan menjadikan buku tersebut sebagai semacam kitab suci. Sebaliknya, luangkan waktu ekstra untuk berbicara dengan pasangan maupun anak, guna mendapatkan titik terang mengenai apa yang paling penting dalam kehidupan keluarga Anda.

Menggunakan kekerasan

Mendidik anak dengan kedisiplinan memang perlu, namun bukan berarti dengan cara menghukumnya terlalu keras ketika ia melakukan kesalahan. Anak malah akan menjadi membenci orangtua dan tidak betah di rumah. Dia pun akan mencari ketenangan di luar rumah. Dekati dan rangkul anak ketika berbuat kesalahan.

Meributkan hal kecil

Orangtua memaksakan anak untuk melebihi temannya yang lain dan selalu mengharuskan menjadi yang terbaik. Kegagalan suatu hal yang tidak dapat ditolerir. Seharusnya, orangtua membiarkan anak untuk merasakan kegagalan agar dapat mengambi hikmah dari pengalamannya.

Menutup mata pada hal besar

Selalu menganggap anaknya polos dan tidak mungkin terkontaminasi oleh dunia luar. Padahal, mungkin saja anak tengah terlibat dalam narkoba atau tindakan menyimpang lain. Jangan menutup mata jika Anda mencurigai anak berbuat yang tidak seperti biasanya. Jangan sampai dia makin larut dalam kesalahan.

Sumber: Sabtu, 3 April 2010, okezone.com




10 Februari 2010

Pesanmu Membisukanku

Anakku, maaf. Banyak orang dari kalangan mampu yang salah ketika menyikapi dan memperlakukan orang-orang miskin. Bahkan ketika bersedekah pun, mereka melakukan kesalahan fatal, yang berakibat buruk, membunuh mental si miskin.

Seorang dermawan bersedekah dengan gagah. Efek kejiwaan yang muncul adalah kesimpulan si miskin, sebagai orang atau pihak yang diberi. Sementara si dermawan adalah pemberi.



Kalau engkau kaya nanti, jangan pernah bersikap sama. Karena yang dibutuhkan si miskin, sesungguhnya bukan hanya pemberian; makanan, uang atau barang lainnya. Mereka juga membutuhkan ruang aktualisasi diri sebagai manusia, yang juga ingin diperlakukan layaknya manusia. Karena penyakit dominan yang melanda orang miskin adalah krisis kepercayaan diri.

Sumber : http://kompasinia.com karya Akhmad Saepudin




Reward untuk si Kecil, Perlukah?

Anak pasti akan senang diberi hadiah, apalagi bila mereka telah melakukan hal yang terpuji. Namun, bagaimana jika anak hanya mau melakukan segala sesuatu karena ada imbalannya?

“Mama terima kasih ya mainan robotnya, aku senang banget. Besok aku mau dapat mainan yang lebih banyak lagi kalau aku abis beresin mainan. Tetapi kalau mama tidak kasih apa yang aku mau, aku mendingan nggak usah beresin apa-apa, ya,” tutur Bima Pradipta.


Sudah menjadi kebiasaan bagi anak berumur enam tahun ini melakukan sesuatu karena ada imbalan dari kedua orangtuanya. Pernah satu kali karena sang mama tidak mau menjadikan Bima memiliki kebiasaan yang buruk karena hanya mau melakukan sesuatu atas imbalan, Bima malah mengamuk, marah, dan merasa kecewa seharian penuh.

Akhirnya sang bunda pun mengalah dan masih memberikan Bima sesuatu atas kelakuan baik yang telah dia kerjakan, sesuai dengan apa yang dia mau. Dikatakan psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana K Hadiwidjojo Psi, bahwa reward atau penghargaan bisa diberikan ketika anak berperilaku positif atau berhasil mencapai sesuatu yang diharapkan.

“Ambil manfaat yang baik dari pemberian reward kepada anak,” tutur Vera saat acara peluncuran Biskuat Bolu Strawberry yang diadakan Biskuat, di Hotel Mandarin Oriental beberapa waktu yang lalu.

Vera menjelaskan, manfaat pemberian reward pada anak di antaranya mengajarkan anak mana yang baik dan buruk, mendorong anak untuk mengulang perilaku yang baik, membuat anak merasa diperhatikan dan dihargai. Penghargaan juga bisa menumbuhkan kepercayaan diri anak dan menumbuhkan motivasi internal anak, seperti rasa bangga terhadap diri sendiri dan rasa puas terhadap keberhasilan diri sendiri.

“Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian reward pada anak, misalnya jangan terlalu berlebihan saat memberikan reward,” ujar psikolog yang berpraktik di Kemang Medical Care sejak Februari tahun lalu ini.

Masih dikatakan Vera, hal itu karena jika berlebihan maka reward akan kehilangan maknanya, antara lain reward bisa berubah menjadi semacam upah. Oleh karena itu, dalam pemberian reward, tumbuhkan pula motivasi internal anak sehingga lama-kelamaan kebergantungan pada reward (motivasi eksternal) akan berkurang.

“Misalnya, selain dapat pujian dari orangtuanya, orangtua juga bisa bilang ‘wah, pasti kamu juga bangga pada dirimu sendiri karena bisa kamu sudah berusaha keras untuk mendapatkan hasil ini’,” contoh Vera, yang juga berpraktik di Raditya Medical Center ini.

Vera menyarankan, memberikan reward agar tidak terlalu berlebihan, dan reward tidak harus berupa barang. Yang penting bagi anak, justru perhatian dari orang tua.

”Mulailah dari hal kecil, misal tepukan di pundak, senyuman bahagia dari orangtua, acungan jempol, tepuk tangan, pelukan,dan kecupan lembut,” papar psikolog lulusan Universitas Indonesia ini. Sebaiknya reward tidak diberikan terlalu sering kepada anak, sehingga bisa dikatakan dalam memberikan reward harus menjadikan anak sebuah tantangan.

”Buatlah tantangan untuk mendapatkan reward agar menjadi sedikit bermakna, tidak terlalu mudah mendapatkannya, misalnya setelah tiga hari tidur sendiri, anak akan dapat stiker kesukaannya,” pesan ibu satu anak ini.

Vera juga menyarankan untuk membuatnya dalam system token, di mana anak harus mengumpulkan sejumlah poin tertentu, baru bisa ditukarkan dengan reward, misalnya anak akan mendapatkan satu poin setiap kali mau membantu ibu di dapur. Setelah terkumpul 20 poin, dia bisa menukarkannya dengan waktu menonton TV (1 poin bisa untuk 1 menit).

”Waktu pemberiannya harus langsung, setelah perilaku positif terjadi agar anak langsung mengaitkan perilaku tersebut dengan sesuatu yang menyenangkan sehingga anak merasa dihargai dan perilaku tersebut akan diulang,” papar psikolog kelahiran Jakarta, 29 Maret 1975.

Hal yang sama juga dikatakan psikolog keluarga, Fabiola Setiawan Mpsi bahwa saat anak mengerjakan sesuatu yang baik, orangtua bisa memberikan reward dalam bentuk nilai yang bisa ditempel di papan poin.

”Jika anak melakukan hal yang baik, stiker bergambar lucu bisa dikumpulkan dalam satu bulan. Jika stiker sudah terkumpul sesuai dengan perjanjian, orangtua bisa mengajak anak berenang sepuasnya, misalnya,” ujar psikolog yang juga mengajar di Universitas Atmajaya ini.

Yang juga perlu diperhatikan saat pemberian reward adalah hindari memberikan reward dalam bentuk uang. Dengan memberikan uang, nanti akan membuat anak menjadi salah kaprah dan mengartikannya sebagai upah.

“Memberikan reward untuk anak bisa menggunakan sistem yang disamakan untuk tiap anak, namun rewardnya bisa dibedakan bergantung keinginan anak masing-masing,”ucapnya.

Sumber : okezone.com