Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

21 Juni 2016

Tamparan di Wajah Miriam

Apa itu yang kau pakai di bibirmu? Lipstik?
Bukan, Ayah, bukan
Miriam yang kala itu masih dipanggil Maryanto, jadi ciut. 
Meski benar ia tidak memakai lipstik. Meski ayahnya telah keliru. 

01 November 2012

Cerpen Kiriman untuk Faber Castell

Dear all...

Setiap kalimat dalam cerpen bukanlah bahasa yang melukiskan dengan netral. Setiap kalimat adalah langkah persiapan untuk membidik, dan kita menunggu pada detik mana senjatanya akan berdentum. 

Berikut ini link cerpen yang saya sertakan dalam lomba menulis cerpen di Faber Castell. Judulnya : Ketika Cinta Ditolak. Saya berharap, cerpen ini bisa membantu teman-teman sekalian tersenyum. Bantu nge-like ya om, tante, abang, dan adik, yang baik hati. :)


Salam terbaik


01 November 2011

Rumahku Surgaku

Rumahku Surgaku

Fine! Aku pergi. Tempat ini sudah seperti neraka! Tuan pergi membanting pintu, nyonya juga pergi dengan mobil berbeda. Rumah laksana istana ini kembali sepi. Pak Pardi dan istrinya sudah menjaga rumah ini bertahun-tahun, mengurai kegundahan usai shalat Dzuhur berjamaah. Sang istri membuka percakapan.

14 Juni 2010

Bidadari Tak Pernah Pulang Pagi

Hilal Ahmad
Senin 14 Juni 2010
Ayah bilang, setiap istri adalah bidadari. Tapi ayah tidak pernah menjelaskan, bahwa bidadari tak pernah pulang pagi.


Aku memandangi Arale, putriku yang masih berusia 10 bulan. Wajahnya nampak lucu. Matanya yang lentik sesekali mengedip ke arahku. Gadis kecilku ini baru saja terdiam setelah 15 menit lalu menangis hebat karena lapar.

Mulut mungilnya baru terdiam setelah menyedot susu formula yang kubuatkan dan kutaruh dalm dot botol. Jam dinding yang mengantung tepat di sebelah lemari di kamarku, menunjukkan pukul 11.45 WIB. Sebentar lagi tengah malam. Dan aku hanya berdua dengan Arale buah hatiku. Dan istriku, entah. Aku tak tahu ia berada di mana.

Mataku sangat berat. Dan sepertinya sudah sulit untuk diajak kompromi, pun untuk membuka lima menit saja. Padahal Arale masih asyik mengajakku bermain.

Tidak seharusnya aku begini. Besok pagi aku harus menghadapi setumpuk tugas kantor yang seharusnya kuselesaikan malam ini. Tapi Arale? Harus kuserahkan pada siapa?

Bukan aku tidak percaya untuk memberikan pengasuhan Arale pada orang lain. Tapi aku akan lebih bahagia jika menemani Arale selepas pulang kerja. Pengasuh Arale hanya bekerja sejak pagi sampai sore hari.

Tak perlu menanyakan kemana Ibunya. Karena itu akan membuatku sakit. Menorehkan luka mendalam.
***
Sore itu, aku baru saja mengganti pakaian kerjaku dengan baju santai.
“Aku pulang larut lagi malam ini Man!”

Itu suara istriku. Ia tengah meminta persetujuanku untuk pulang larut malam ini. Oh, bukan. Ia hanya memberitahuku. Atau itu hanya sebagai gertakan bahwa ia akan bekerja hingga larut pada malam ini.

Entahlah, aku enggan meladeninya. Dan untuk entah yang ke berapa kali, aku hanya mengagguk. Entah tanda setuju atau pasrah. Itulah diriku yang dipenuhi kata entah.

Dan tak lama setelah ia melontarkan kalimat itu, ia melenggok di depanku dengan busana yang aduhai. Gaun yang ia kenakan memiliki model dengan potongan leher yang amat rendah, tak berlengan, dan rok sepuluh senti di atas paha. Cukup glamor seperti artis dangdut yang ditanggap di kampung-kampung. Belum lagi parfumnya yang menyengat.

Aku tak berani bertanya ia akan pergi kemana malam ini. Karena aku yakin jawaban yang kudapat pasti sama, pertengkaran. Dan itu sungguh tidak berhasil mengorek apa yang ia lakukan setiap keluar malam.

Hanya kalimat pedas yang kuterima. “Aku kan melakukan ini untuk Arale juga. Kamu bayangkan Man, kalau aku hidup mengandalkan gajimu yang pas-pasan itu, tidak mungkin Arale dapat minum susu formula dan punya pakaian bagus. Lalu siapa yang menggaji si Rokayah buat menjaga anak kamu itu!”

Kalimat itu memang terlontar tiga bulan lalu. Saat aku mulai curiga perubahan sikap istriku yang kerap pulang malam setelah ia mengaku diterima bekerja. Tapi rasa sakit yang ditimbulkan, masih membekas sampai sekarang.

Kalau tahu begitu, menyesal aku mengizinkannya bekerja. Tapi ia juga benar, jika mengandalkan gajiku yang hanya pegawai rendahan di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa pengiriman, akankah kebutuhan Arale terpenuhi. Mampukah aku membayar Rokayah untuk menjaga Arale saat aku bekerja.

Kepalaku berdenyut. Sebelum migrainku kumat, aku langsung berlari ke kotak obat. Nihil. Aku lupa membeli obat migraine yang biasa kusimpan di kotak persediaan. Belum sempat aku berpikir banyak, saat melewati kamarku Arale menangis keras.

Tak ada siapa-siapa di rumah itu kecuali aku dan Arale. Rokayah, sejak 20 menit lalu pulang ke rumahnya yang berada di desa tetangga. Sedangkan istriku, baru saja berlalu. Hanya jejak parfumnya saja yang tertinggal.

Ingin rasanya aku menggapai Arale, namun migarin ini semakin menjadi. Kepalaku berdenyut semakin keras. Jantungku berdetak lebih kencang, seakan dua kali lebih keras memompa darah ke semua organ tubuhku. Selanjutnya, aku tak ingat apa-apa. Terakhir kali aku ingat, badanku bergedebum jatuh ke lantai.
***

Saat mataku terbuka, kudapati diriku di atas ranjang bersprei biru. Aku berada di kamarku yang hanya berukuran 4x4 m2. Belum sempat benakku menjawab siapa yang menolongku berbaring ke tempat tidur, suara Rokayah langsung terdengar di telinga.

“Maaf Pak, tadi saya balik lagi ke sini ada barang saya yang tertinggal. Eh taunya liat bapak lagi pingsan deket meja makan. Arale juga nangis. Jadi, saya temenin dulu Arale sampai Bapak bangun.”

Aku hanya mengangguk pelan dan mendengarkan cerita Rokayah. Ya Tuhan, terimakasih telah memberi penyelamat lain. Seharusnya ini adalah tugas bidadariku yang menjaga dan memperhatikan aku dan Arale. Aku mengambil nafas panajng dan menghembuskan nafas berat.

Tak terasa air mataku meleleh. Sebelum Rokayah menyadari, aku langsung mengelapnya kasar.
“Saya tidak apa-apa. Kalau kamu pulang, lebih baik sekarang. Sebelum terlalu malam,” ujarku seraya melirik jam dinding yang menujukkan pukul delapan malam.

Rumah Rokayah berada di Kasemen, kampung sebelah di mana aku tinggal yakni Unyur. Meski jalur rumah kami berada di Jalan Raya Banten Lama, tapi angkutan tidak berkeliaran 24 jam. Dan cukup sulit mencari angkutan umum seperti angkot di atas jam 9 malam. Dan akhirnya Rokayah pamit. Tinggal aku dan Arale.

Malam ini, meski aku sangat letih, aku tetap mengerjakan tugas tambahan, menggantikan Rokayah saat malam. Dan mungkin hingga pagi hari. Karena bidadariku itu baru datang sebelum kokok ayam berbunyi menyambut matahari.

Dan saat ia datang, bukan harum surgawi yang dibawanya. Kadang parfum pria dan bau rokok yang tercium. Dan bahkan bau alkohol kerap terendus dari bibirnya yang mungil.

Terkadang aku merutuki takdir sebagai suami yang bertugas ganda sebagai istri.
****

Aku terjaga saat Arale merengek minta diganti celana. Gadis kecilku ini senantiasa menjadi pelipur lara dan peredam duka. Pun saat pagi buta bidadariku itu pulang ke rumahku. Tentu saja dengan muka masam.

Dan aku enggan melontarkan sepatah katapun. Saat tubuhnya ambruk di ruang tamu sebelum ia berganti baju, aku masih tanpa suara. Saat Arale kembali merengek lagi dan aku membuatkan susu, aku masih bisu.

Bisu memang bukan sifatku. Dulu, Ayahku selalu mengabulkan apa saja yang kuminta. Saat di bangku sekolah dasar, guruku pun selalu kewalahan menjawab lusinan pertanyaan yang menurutnya hanya untuk anak di bangku SMA. Tapi kebiasaan itu terkikis sudah sejak kehadiran bidadari dan gadis kecilku.

Aku masih sangat ingat kalimat yang dilontarkan Ayah dua hari sebelum aku menikah.
“Rumah tangga bukan hanya menyatukan dua cinta, tapi dua ego. Jika setiap hari diisi dengan benci dan amarah, maka tak ada lagi cinta. Yang tersisa hanya puing-puing kehancuran masa depan buah hati kita.”

Aku meresapi benar kalimat itu. Ayahku memang lihai dalam urusan ini. Sejak Ibu pergi meninggalkan kami dengan alasan sudah tidak ada lagi kecocokan, Ayah dengan sabar mendidikku hingga aku mandiri.

Ia pun termasuk tipe pria yang luar biasa. Di saat para pria lain sibuk berselingkuh di balik istri, Ayahku yang duda tetap konsisten dan tidak mau menikah lagi. Ia selalu berujar, seorang yang pandai tentu tidak akan jatuh pada lubang yang sama.

Aku masih mengingat Ayah saat kulihat gadis kecilku tertidur lelap. Haruskah kuputuskan sesuatu. Meninggalkan bidadari yang selalu datang pagi hari demi menjaga perasaanku yang kian hari kian terluka. Lalu jawaban apa yang kuberikan, jika Arale bertanya kemana dan mengapa Ibunya pergi dan meninggalkannya denganku.

Lagipula, akankah aku kuat seperti Ayah, tidak akan menikah lagi. Masih banyak beribu tanya lain yang bergumpal di kepalaku. Sebelum tanya itu bertambah, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan badanku dan mengambil wudhu, menenangkan diri dan berkeluh kesah kepada sang kuasa.
***

Aku siap menyantap menu sarapan pagi saat wanita yang dengan terpaksa kupanggil istri itu membuka mata. Aku mengacuhkannya. Pun saat ia mendekatiku dan maracau beberapa kata.

Dia masih mabuk, batinku. Parahnya dia memanggilku dengan nama lain. Aku yang sejak tadi mencoba menenangkan hatiku, tak mampu lagi mengontrol emosi.

Tanpa kuasa, kucekik lehernya dan kuhempaskan ia ke lantai. Ia mengaduh, serupa bidadari kehilangan nyali. Wangi surgawinya lenyap begitu saja. Hawa neraka menyergap melalui tatapan mata yang menyalang. Aku siap menghadapi ini semua.

Rokayah kuperintahkan untuk membawa Arale pergi ke rumah tetangga.

Aku masih membisu dengan tatapan kaku. Kutatap sosok wanita yang kunikahi dua tahun lalu. Tak ada belas kasihan sedikitpun. Karena sejak pertama biduk rumah tangga ini kurajut, ia nampak tidak peduli.

Hampir setiap malam, sejak malam pengantin, ia merutuki pernikahan ini. Ia menganggapnya sebagai pernikahan sial dan pembawa bencana. Lalu, saat kutanya mengapa ia mau menikah denganku. Dengan lantang ia menjawab, karena mengikuti perintah orangtuanya. Ia pun mengatakan, aku adalah dewa yang dapat mengubah perangai buruknya. Sejak pertengkaran itu, aku tak lagi banyak tanya. Pun saat ia mengaku, mengandung anakku.

Aku semakin bisu, dimulai tiga bulan lalu. Tepat saat ia mengungkit tentang penghasilanku. Dan dengan alasan itu, ia memiliki tiket emas untuk kembali menggeluti dunia malam yang sebelumnya akrab dengan kehidupannya sebelum menikahiku.

Lagi-lagi aku mengenang pernikahanku yang berwajah buram. Aku berniat melangkah menuju pintu keluar.
“Kau selalu bisu, setiap aku melakukan sesuatu!” erangnya. Tubuhnya yang lunglai beranjak berdiri.
“Lalu, apa yang kau mau?” ujarku tanpa membalikkan badan.
“Kau mau aku jadi pembantumu yang menunggui anakmu, sedang kau pergi entah kemana?” aku mulai bersuara banyak. Dua puluh empat bulan adalah waktu yang terlalu lama untuk berdiam diri. Maafkan aku Ayah, jika suatu saat kau mengetahui perihal ini.
“Ini anak kita Herman!”

Aku membuang muka. “Bukan! Ini anakmu dan aku pembantumu.” Ujarku tanpa intonasi.
“Tapi kau suamiku!” ujarnya bersikeras.

Aku membalik tubuh dan menghampirinya. “Suami! Bisa kau jelaskan di mana kau posisikan aku sebagai suami.”

Ia terdiam.

Sebisa mungkin aku menahan diri. Seperti saat aku melihat video mesum yang diperlihatkan teman sekantorku, berisi dua pria dan seorang wanita tanpa busana. Setiap erangan yang terdengar, sangat menyakitkan. Karena wanita dalam video itu berwajah seperti bidadariku.

Ia masih terdiam.
“Suami bukanlah seseorang yang kau tempatkan sebagai guling anakmu dan robot pembuat susu saat malam ketika ia lelah karena bekerja seharian. Suami pun bukan seseorang yang hanya bisa menghirup parfum sisa setelah istrinya dipakai puluhan orang di jalanan.”
“Cukup Herman!”
“Sudahlah Maria. Aku sudah tahu semua. Juga dengan Arale. Kalau kau keberatan mengasuhnya, biar aku yang merawatnya!”
“Apa maksudmu Herman…” kulihat sang bidadari mendekatiku dengan wajah kusut. Saat ia mendekat dan hendak memelukku, aku memberi jarak.
“Dua tahun waktu yang cukup untuk kebersamaan kita Maria. Terimakasih untuk semuanya.”

Aku melangkah pergi. Meninggalkan bidadari yang tersedu di belakangku.

Aku enggan mencari tahu, apa makna isakan itu. Bahagiakah ia, atau wujud penyesalan. Lagi-lagi entah. Yang kutahu, aku sangat bahagia setelah melihat Arale yang langsung tergelak menatapku saat keluar dari rumah.

Ia memnag bukan darah dagingku, karena seorang pria dua hari lalu mengatakan bahwa Arale adalah anaknya. Dan aku tahu itu karena aku masih sangat ingat, sejak dua tahun lalu, saat memulai mengganti statusku sebagai seorang suami, aku tahu tak akan pernah bisa memberikan keturunan pada Maria.

Aku merasa puas dengan keputusan ini. Sejenak kulupakan wajah Ayah yang tenang di alam sana. Ini hidupku Ayah, dan aku berhak menentukan arah kemana aku melangkah. Selamat tinggal bidadariku. Aku takkan menantimu lagi saat malam berganti pagi. (*)

Serang, 050410

08 November 2009

Anak Haram



Aku tak pernah mengerti kenapa dilahirkan, bahkan Aku tak pernah meminta Tuhan untuk meniupkan ruhnya ke dalam rahim Ibuku. Andai kata ada semacam pemilihan di Alam Ruh, Aku lebih memilih dilahirkan dari rahim seorang Ibu negara, ustadz, atau bahkan seorang guru. Setidaknya kalau dilahirkan dari mereka tidak akan dicap sebagai anak haram. Karena sepuluh tahun yang lalu Aku menangis di pangkuan seorang Ibu yang kini kukenal sebagai seorang pelacur.

Pernah suatu saat bertanya pada seorang Ustadz, “ Kenapa Aku dilahirkan di mulut Rahim seorang pelacur, bukankah Tuhan membenci pekerjaan itu?”
“Karena suatu saat Kau akan menemukan kebenaran dan hakikat hidup dari seorang hamba Tuhan, Dia tidak menciptakan makhluk yang tidak mempunyai jalan hidup, perkara kau dilahirkan dari seorang pelacur atau bukan, itu kehendak Dia.”

Aku selalu menyesal bertanya hal itu pada Ustadz, pikiranku selalu dipenuhi tanda tanya, esensi hidup apa yang Tuhan rencanakan, bukankan dia Maha adil? Ah, pertanyaan itu hanya membuatku pusing, seperti benturan-benuran keras ketika ku memikirkannya, bahkan Ibuku sendiri tak mengetahui kenapa ia menjadi pelacur.

Saban hari Aku hanya menunggu seseorang di balik pintu. Kursi-kursi yang kujajarkan dan ditata rapi, hingga menyapu ruangan tamu kulakukan tiap hari. Perlakukan terhadap rumahku selalu istimewa setiap harinya, bahkan ketika menginjak bangku SD. Aku terbiasa membaca buku di ruang tamu. Semua itu kulakukan demi menemukan seorang manusia yang harus memenuhi fitrahnya, sebagai Ayahku.

Entah kenapa hari itu Aku memakai pakaian bagus, pemberian Ibuku memang, walapun tidak halal, tapi harus berbuat apalagi. Tuhan juga memaklumi keadaanku, perkara Aku berkomplot dengan Ibu sebagai kejahatan pelacuran, tak kupedulikan. Dia toh harus memenuhi kewajiban sebagai seorang Ibu dan menapkahiku sebagai seorang anak.

Dalam pakaianku yang serba bagus, daun telingaku menangkap suara langkah kaki, perlahan tapi pasti, langkah itu semakin jelas, dan terakhir berhenti, tak kedengaran lagi. Malah bunyi ketukan pintu yang terdengar, Aku membuka pintu itu, berharap yang datang bukan Ibuku. Benar saja, seorang lelaki. Ia terlihat santai dan penuh wibawa, sosok ayah yang kuidam-idamkan dari dulu kini ada di depanku.

Setelah kuhidangkan makanan yang enak-enak, Aku langsung lari ke ruang tengah, mengambil cermin dan mengintip lelaki itu dari balik tirai. Kini kubandingkan bahwa wajah lelaki itu dengan wajahku, tak ada yang mirip, bahkan hidungnya pesek, kulitnya hitam, perawakannya agak kecil. Sedangkan Aku justru kebalikannya. Benarkan ia Ayahku? tak berani mulut ini menanyakanya langsung, tapi Aku berharap ia memang Ayahku.

Perkara cermin Aku tak pernah pedulikan, memang benar bahwa cermin adalah makhluk yang paling jujur, setidaknya itu yang dikatakan sastrawan dalam sajaknya. Tapi dalam kondisi ini Aku tak boleh percaya pada benda itu, keinginanku terlalu besar untuk menebak bahwa lelaki yang ada dihadapanku adalah seorang Ayah.
“Kemana Ibumu nak?” Lelaki itu membuyarkan lamunanku, dari tadi Aku hanya memandang wajahnya seakan ia hendak pergi untuk selama-lamanya.
“Pergi keluar.” Jawabku.


Tak berani Aku menyebut bahwa Ibu pergi melacur, Aku takut calon Ayahku ini kecewa dan pergi begitu mengetahui bahwa wanita yang ditunggunya sedang mengobral rahimnya untuk ditukarkan rupiah. Lama benar dengan pergolakan senandung lamunan, Ibu datang.

Seperti biasa Ibuku selalu pulang dengan badan lemas, tak pernah Aku tanyakan padanya. Sepulang dari tempat melacur ia selalu tidur dan tak boleh diganggu. Bahkan Aku tak berani menanyakan bahwa lelaki didepanku adalah ayahku sendiri, biarlah Ibu sendiri yang mengatakan padaku, lebih indah pengakuan seorang Ibu kepada anaknya, bahwa ayahnya telah lama berpisah, kini ada dihadapannya.
“Sudah lama menunggu Mas,” Ibuku bertanya pada lelaki itu.
“Dari tadi, tidak lama untungnya ada anakmu, dia mungkin jadi anak yang baik.”
“Semoga mas, jangan sampai menjadi Aku yang seperti ini.”

Belum pernah ku dengar doa seorang lelaki yang mengharapkan untuk kebaikan masa depanku. Aku semakin yakin bahwa ini adalah Ayahku, Ayah yang selama ini kutunggu, yang bisa mendidik, yang bisa menjadi raja dalam kerajaan kecilku. Biar Ibu tak mengobral tubuhnya di jalanan lagi.

Aku cepat-cepat pergi ke kamar, tak kuasa menahan tangis, walaupun Ibu tak menyebutkan langsung bahwa itu ayahku, namuan Aku tetap terharu sejadi-jadinya.
Dari balik tirai kuintip lagi dan kudengar pembicaraan mereka, namun alangkah kagetnya ketika Ibu memberi uang pada lelaki itu.
“Ini uang kembalian yang kemarin mas,” kata Ibuku sambil memberi uang dua puluh ribu.

Sontak batinku kaget, hancur luluh, dan harapanku untuk mendapatkan seorang ayah pupus sudah. Kini lelaki itu pergi tanpa beban telah meminjam Rahim Ibuku, seakan telah membayar ia langsung pergi tanpa ada dosa.

Kuambil gelas yang telah ia minum, langsung Aku banting ke lantai, jijik melihat dia dan tak sudi menerima kenyataan bahwa dia hanyalah pelanggan Rahim Ibuku. Buat apa penjamuan ini dan penghayatan bahwa dia bukan ayahku. Kini Aku mulai mempercayai cermin, makhluk yang selalu berkata jujur.
“Kenapa kau berkelakuan aneh, Ibu tidak suka.”
“Apa Ibu tidak mengerti, Aku merindukan ayah, yang membuat Aku lahir ke dunia ini adalah Ayah dan dan Ibu. Kini yang kukenal hanyalah Ibu, mana Ayahku, seorang anjing yang lahir ke dunia pun akan menanyakan dimana ayahnya berada, Aku bosan dikatain anak haram terus.”

Tapi hanya tetesan air mata sebagai jawaban atas pertanyaanku. Aku sendiri pergi ke kamar dengan penuh tanda tanya. Tak mungkin menyalahkan Ibu mengenai keberadaan ayahku, tak mungkin juga menyalahkan Tuhan karena membuat Aku ada di dunia ini.

Yang tak pernah dimengerti, kenapa Ibu tak tahu dimana Ayahku. Sudah berapa lelaki yang pernah memakai rahimnya. Mungkin bercampur dengan lelaki lain dan lahirlah Aku. Hanya bisa menghibur diri sendiri bahwa yang memakai Ibu adalah pejabat, guru, dosen, pebisnis. Biar Aku yang dikatakan anak haram setidaknya masih ada keturunan dari orang-orang tersebut.

Sepuluh hari setelah kejadian itu, Aku jarang mengobrol dengan Ibuku. Hingga suatu malam ia pulang dengan wajah lesu, kasian benar melihatnya terlebih ia masih sebagai Ibuku. Aku harus membalas budi, setidaknya itu yang dikatakan oleh agama.
“Nak, maafkan Ibu tak bisa mendidikmu”
“Ndak apa-apa Bu, gimana kondisinya sekarang”
“Ibu tak kuasa lagi, beban ini terlalu berat, Ibu tak bisa menemukan ayahmu, bahkan Ibu tak becus menghapus diksi anak haram dalam kehidupanmu” Jawabnya dengan terbata-bata.

Kini Aku tahu bahwa Ibuku sekarat, namun yang anehnya ia selalu memegang payudaranya. Ku beranikan bertannya padanya.
“Adakah yang bisa ku bantu bu.”
“Ndak ada nak, Ibu sudah tak kuat lagi, Ibu menderita kanker payudara ketika kau lahir, maafkan Ibu nak, jadilah anak yang sholeh dan teruskan cita-citamu.” Itulah kalimat terakhir yang kudengar. Ibuku menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kini dua kali Aku tertegun bagai disambar geledek, mendengar kenyataan bahwa Ibuku menderita kanker payudara. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Durhalah diriku yang telah memperlakukan Ibu seperti orang asing.”

Dalam keremangan malam, kutemukan esensi hidupku, bahwa manusia mempunyai arti untuk orang lain. Perkara Ibuku masuk surga atau neraka, itu urusan Tuhan, namun akan kudoakan agar dia masuk surga, semoga doa anak yatim dikabulkan.
Sosok Ibu bahkan melampui ayahku jika memang ada, dialah Ibuku sebenarnya rela berjuang demi anaknya. Tak pernah ia mengeluh, dan melawan sinisme sosial.
Aku tak boleh membenci Ibu, dia adalah pahlawan dalam hidupku, rela berkorban batin dan fisik. Aku tak boleh menggugat Tuhan atas kelahiranku, Kini yang kugugat adalah masyarakat yang mengatakan Aku anak haram.

Bandung, 1 November 2009
Hendri R.H,
Email : henscyber@gmail.com,
http://anaksastra.blogspot.com




01 Agustus 2009

Ayah dan Aku

Oleh : Ali Reza, Selasa 18 Juni 2009

Aku kenal betul kakekku. Tiga kali dalam setahun aku mengunjunginya, dan tiap kali aku ke sana, kakek selalu cerita tentang ayah dan saudara-saudara ayah. Ayah bangga pada kakek. Ayah bilang kakek adalah seorang pejuang, dan tiap kali ayah menceritakannya, ayah selalu mengatakan betapa keras kakek mengajar ayah waktu kecil dulu.

Kakek tinggal di rumah yang kecil walau tidak bisa dibilang sederhana. Tidak ada TV, tidak ada radio, tidak ada lemari es karena memang tidak ada listrik. Untuk mengambil air pun, kami harus menimba dari sumur. Jika malam datang kami harus berhati-hati mengambil air, jika tidak, bisa-bisa terpeleset dan jatuh ke dalam sumur. Kakek bercerita saat usia dua belas tahun kakek kerja di pelabuhan dan berhenti kerja di usia empat puluh enam. Di sisa umurnya kakek berjualan ikan bersama nenek. Kakek meninggal dua minggu lalu atau lebih kurang dua tahun setelah nenek meninggal. Tidak banyak yang diwariskan kakek bahkan rumahnya, karena rumahnya adalah milik pak Samin. Kakek menyewa sepanjang hidupnya. Kakek hanya mewariskan semangat kerja keras pada ayah.

Ayah seorang buruh pabrik. Meski demikian ayah sangat menghargai pekerjaannya hingga dua puluh enam tahun bekerja di sana seperti tak terasa. Ayah rela berdesak-desakkan di bis saat berangkat dan pulang kerja. Ayah bilang, “Kerja itu berjuang, dan untuk berjuang kamu harus menikmatinya.” Tidak jarang ayah pulang malam atau masuk kerja di hari minggu karena lembur. Ayah harus menafkahi istri dan empat anaknya. Aku adalah anak pertamanya.

Aku mewarisi wajah ayah namun hidungku lebih cenderung ke ibu sedangkan karakterku menurun dari keduanya. Aku kerja seperti ayah, berangkat pagi dan pulang malam. Kupikir mungkin inilah risiko menjadi anak pertama dan segalanya mengalir seperti sungai: ayah dan aku kerja, ibu mengurus rumah tangga dan ketiga adikku pergi sekolah.

Kami tidaklah miskin, setidaknya untuk ukuran enam orang dalam rumah tipe 21. Jika aku terus mengikuti pola hidupku maka akan berjalan seperti adanya; aku kerja, aku menerima gaji, lalu empat atau lima tahun lagi, aku akan menikah, menimang bayiku, melihat anakku menjadi remaja dan anakku menceritakan kejadian yang sama seperti yang aku lakukan sekarang. Namun bila dibandingkan dengan ayah, aku rasa, aku lebih beruntung darinya, setidaknya pakaianku tidak kotor saat bekerja atau berpanas-panasan dengan mesin. Tugasku mengatur dan menyusun file dan mencari file jika staf lain memerlukan.

Ibu menyiapkan sarapan jam lima. Aku dan ayah menjadi prioritas karena kami harus berangkat jam lima tiga puluh, setelah itu adik-adikku menyusul. Rumahku berjarak tiga kilometer dari stasiun, itu artinya berjarak lima menit jika naik angkot atau lima belas menit jika berjalan cepat. Dan aku lebih memilih jalan kaki.

***

Orang-orang yang ingin naik kereta berjejer di peron, menunggu kereta masuk, yang di barisan depan berpeluang besar dapat tempat duduk. Mereka yang tidak dapat tempat duduk akan berdiri berdesak-desakkan, dan tiap kali kereta berhenti di stasiun, orang-orang akan terus bertambah hingga merasakan dorongan dari empat sisi. Sebenarnya aku bisa berada di barisan depan saat menunggu kereta masuk, lalu melompat lebih dulu dari yang lain sehingga dengan cepat memilih tempat duduk, namun aku enggan melakukannya karena tidak ingin celaka, setidaknya sebelum aku mengenal Erlin.

Erlin adalah wajah baru di stasiun ini karena aku hapal orang-orang yang biasa naik kereta. Orang baru biasanya menanyakan di stasiun mana dia harus turun dan aku senang Erlin bertanya padaku. Setelah beberapa hari mengenalnya, aku harus berdiri di barisan depan dan kemudian memberikan tempat duduk buat Erlin. Kasihan sekali jika Erlin harus terpaksa berdiri, bisa-bisa dandanannya rusak karena keringat dan bajunya kusut karena berdesakkan.

Ayah selalu tiba di rumah lebih dulu dari aku. Aku biasa menemukannya saat ayah sedang makan malam atau baca koran. Saat aku melihat ayah, aku melihat putih rambutnya, keriputnya yang tebal dan urat-urat tangannya yang menonjol. Aku berkata pada diriku, apakah aku akan menjadi seperti ayah? Lalu aku melihat ibu yang tak beda jauh dari ayah dan berkata pada diriku lagi, apa yang membuat ibu menikahi ayah? Lalu aku membayangkan wajah Erlin dan berkata pada diriku, apa yang membuat Erlin akan menikahiku? Dan sabtu besok Erlin mengundangku ke rumahnya, ke pesta ulang tahunnya. Sebuah undangan yang tidak bisa kutolak.

Di suatu malam ayah memanggilku.

Aku masih ingat harinya; hari senin, empat hari setelah ulang tahunku yang ke dua puluh tiga. Ibu duduk di samping ayah, membaca majalah dua bulan lalu. Aku duduk di hadapan ayah, membaca judul berita koran yang ayah letakkan di atas meja. Beberapa saat kemudian ayah memulai pembicaraan. Aku tidak ingat apa yang ayah ucapkan pertama kali karena aku terlanjur asik membaca judul-judul berita lainnya. Ibu masih membaca majalah dan kurasa ibu juga tidak memerhatikannya.

Ayah mengambil koran yang sedang kubaca, melipatnya dan meletakkan di bawah meja. Itu tandanya pembicaraan mulai serius. Ibu bangkit berdiri, meletakkan majalah di atas meja dan meninggalkan kami tanpa sepatah kata. Sepertinya ibu tidak ingin mencampuri urusan laki-laki. Aku melihat sekilas iklan komputer di majalah. Aku membayangkan sedang mengetik di komputer sendiri.

Ayah tidak pernah memulai dengan pembicaraan ringan. Ayah mengatakan apa yang perlu ayah sampaikan dan setelah itu ayah membiarkanku berfikir. Kata “Dengar ayah ..” adalah kata yang sering diucapkan agar aku mengerti. Aku paham maksud ayah malam itu, aku mengerti sampai ke detailnya, sebuah pembicaraan dari laki-laki ke laki-laki, dari ayah ke anak pertamanya. Aku paham keadaan ayah dan aku tahu posisiku. Ayah tidak kerja lagi, ayah bilang karena restrukturisasi perusahaan (aku ragu, aku dan ayah paham kata itu). Aku hanya mengambil kesimpulan bahwa rumah ini, ibu, ketiga adikku bahkan ayah berada di pundakku. Ayah memberi kepercayaan padaku sebagaimana ayah percaya pada diri ayah. Bagi ayah, aku adalah cermin dirinya. Bagiku, aku adalah aku. Ya, aku adalah aku. Aku bergaul dengan orang yang aku ingini, membeli barang yang aku mau atau pergi ke mana saja, ke tempat yang aku suka. Dan aku akan pergi ke rumah Erlin besok.

Erlin memiliki keluarga yang bahagia dengan rumah dan mobil yang bagus, entah bagaimana aku menempatkan diriku di rumahnya.

Semua orang yang hadir bernyanyi Happy birthday to you. Seorang laki-laki mencium kening Erlin dan sebuah kado besar diberikannya. Aku tahu laki-laki itu, laki-laki yang membuatku cemburu, sedangkan aku hanya duduk sendiri di pojok ruangan.

Aku menyimpan kado untuknya di tasku, sebuah buku dengan selembar puisi yang kubuat sendiri disisipkan di tengah buku. Kado itu akan berada diantara tumpukan kado-kado bagus, diantara HP, jam tangan mahal, perhiasan-perhiasan indah dibungkus dengan cantik. Dan aku memutuskan tidak memberinya kado. Aku tetap menyimpannya, barangkali aku akan memberikannya lain waktu.

Sejak ayah tidak kerja aku selalu menemukannya sedang menonton TV, baik saat aku berangkat kerja maupun pulang kerja. Tidak jarang aku menemukan ayah sedang melamun, entah ayah sedang merindukan pekerjaannya atau memikirkan keluarga. Yang kulakukan hanya berusaha menjadi anak baik dan karena itulah hampir seluruh gajiku untuk keperluan keluarga. Di tahun-tahun ke depan aku tetap akan menjadi tulang punggung keluarga, setidaknya sebelum aku menikah atau sambil menunggu adik-adikku lulus dan mendapatkan pekerjaan. Ibu pasti bangga padaku karenanya.

Selanjutnya aku akan menceritakan tentang ayahku yang seharusnya tidak kuceritakan. Aku menceritakan ini bukan untuk sesuatu yang jelak melainkan untuk menunjukkan betapa aku peduli pada keluarga.

Sebelumnya, menonton TV bukanlah kebiasaan ayah. Ayah biasa memegang kunci inggris atau menjalankan mesin di setengah hidupnya. Ayah seperti sedang kehilangan semangat dan pegangan, tidak banyak dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku kecewa melihatnya. Aku tunjukkan sikapku dengan tidak banyak bicara. Aku berharap semoga ayah mengerti maksudku. Dan Erlin? Erlin masih seorang perempuan yang ingin kunikahi. Erlin memiliki apa yang kuanggap menyenangkan dan tentu saja tiap laki-laki punya jalan untuk membahagiakan perempuan. Aku punya tekad untuk membuatnya bahagia. Mungkin ini seperti sebuah mimpi, mungkin ayah punya jalan sendiri saat mengenal ibu, tapi aku akan melakukannya yang terbaik buat Erlin. Di jalan itu, aku akan menjadi penulis. Aku akan menjadi penulis besar, lebih besar dari penulis abad ini dan mendapatkan uang banyak, lalu aku akan menikah dengan Erlin dan kami akan bahagia. Aku punya bakat dan ide-ide besar untuk tulisanku. Tapi aku tidak punya komputer, padahal penulis jaman sekarang harus pakai komputer. Aku harus memilikinya.

Lagi-lagi ayah membuatku kesal. Kenapa ayah harus berhenti kerja di saat yang tidak tepat? Bagaimana aku dapat beli komputer jika masih harus mengeluarkan uang untuk keluarga? Ayah seharusnya mengerti aku. Tidakkah di usianya ayah masih bisa mencari pekerjaan lain atau memulai usaha sendiri? Haruskah aku melihatnya setiap hari sedang menonton TV? Apakah setiap anak harus melalui sirkulasi seperti ini; ibu melahirkan aku, ayah mencari nafkah, ayah membiayai sekolah dan untuk membalas jasa mereka maka aku harus menafkahi mereka kemudian? Mungkin aku bukan anak baik, namun aku punya alasan mematikan TV tiba-tiba saat ayah sedang menontonnya. Kejadiannya begitu cepat, dan itu lebih baik dibandingkan dengan memecahkan layar TV atau membantingnya.

Ayah sadar apa yang terjadi. Ayah tahu maksud sikapku ini dan ayah ingin memperbaikinya. Ayah menghampiriku yang sedang baca koran (sebenarnya hanya pura-pura baca) dan memintaku untuk mendengarnya. Kali ini aku tidak mendengar kata “Dengar ayah!” dan sebagai penggantinya ayah lebih sering minta ma’af hingga terkesan sedang menyalahkan dirinya. Ya, aku pikir memang seharusnya demikian. Ayah berjanji akan mencari pekerjaan baru sepanjang ayah mampu. Dan sekali lagi ayah minta ma’af telah mengorbankan keinginanku. Sebenarnya hal itu membuatku merasa bersalah.

Hari berikutnya aku tidak pernah melihat ayah di depan TV. Aku lebih sering melihatnya mengerjakan sesuatu seperti membuat kursi, membuat gantungan baju, menyetrika, membaca atau apa pun itu asal bukan menonton TV. Dan hari-hari berikutnya aku jarang menemukan ayah di rumah. Ibu bilang ayah sudah kerja lagi, namun ibu belum tahu dimana ayah kerja.

Satu malam, menjelang tidur, aku memasang telinga untuk mengetahui jam berapa ayah pulang. Aku mendengar seseorang membuka pintu pagar dan orang yang kami cintai itu pulang disambut ibu. Aku melihat dari celah kunci pintu. Aku melihat ibu sedang memijat ayah.

Dan sekali lagi itu membuatku merasa bersalah.

Satu bulan berlalu sejak kudengar ayah dapat pekerjaan baru. Saat itu bulan Juni di musim panas. Aku dipromosikan dengan kenaikan dua kali gaji sebelumnya, memiliki meja yang luas tepat di bawah AC, dan aku menggunakan komputer. Tugasku membuat penawaran, artinya aku hanya duduk dan mengetik kemudian mengirimkan penawaran ke calon klien.

Di suatu siang setelah jam istirahat aku melihat ayah di kantorku berdiri di depan pintu masuk ruanganku. Aku tidak tahu sudah berapa lama ayah memerhatikanku, tapi kurasa ayah datang bukan untuk melihatku. Namun apakah arti tatapannya?

Ayah melambaikan tangannya padaku dan aku pun menangkap isyaratnya, seperti sedang mengatakan: Ayah bangga anaknya kerja di ruangan yang nyaman.

Ayah kerja untuk perusahaan air minum dan ayah datang mengantarkan air ke kantorku. Ayah memegang empat galon air kosong. Tak lama kemudian ayah pun berlalu. Kutinggalkan meja dan berlari menyusul ayah. Aku memanggilnya dan melabrak tubuhnya yang berkeringat dan memeluknya erat.

Ayah berkata, “Hei, anak laki-laki nggak boleh cengeng.”

Dan aku pun tersenyum padanya.

***


04 Juni 2009

Jeritan Pengamen Cilik

Demi bertahan hidup, teruslah menjerit sampai semua orang tahu keberadaanmu atau waktu menguburmu dalam ketiadaan.
***
Pagi itu, hujan turun rintik-rintik ketika seorang bocah kecil tanpa alas kaki, berdiri di pinggir jalan. Rambutnya yang agak pirang, dibiarkannya melambai diterpa angin. Sesekali tangannya yang mungil mengusap wajahnya yang basah terkena rintikan hujan. Dari gerakan matanya, terlihat dia sedang mengawasi kendaraan yang lalu-lalang di depannya.

Tidak lama kemudian, sebuah angkot jurusan terminal Baranang Siang yang kutumpangi, mendekatinya. Mobil itu berjalan merayap di tengah padatnya lalu lintas kota Bogor. Para penumpang yang berpakaian rapih, duduk berderet memenuhi mobil yang berwarna hijau muda tersebut.


"Hups...!" desis bocah itu saat melompat naik ke dalam angkot. Kemudian dia duduk di pintu mobil, tepat di depanku, dengan posisi badannya menghadap ke luar.
Hening sejenak, lalu dia mulai bicara.

"Selamat pagi tuan dan nyonya! Maaf mau numpang ngamen untuk sekedar cari makan," ucapnya tanpa sedikitpun menoleh pada penumpang.

Dikeluarkannya alat musik sederhana, yaitu sebuah 'kecrek' yang terbuat dari kaleng tutup botol yang dipakukan pada sepotong kayu, lalu dengan iringan musik ala kadarnya, dia mulai bernyanyi. Dari mulutnya yang mungil meluncurlah sebuah lagu kenangan yang pernah dipopulerkan oleh Franky Sahilatua.

/"Berjalan di lorong pertokoan, di Surabaya yang panas
debu-debu ramai beterbangan, dihempas oleh bis kota..."/
*/ /*
Dia bernyanyi dengan penuh semangat. Suaranya kencang seperti menjerit. Berisik memang, namun aku bersabar menunggu sampai pertunjukkan usai.

Sejak awal kehadirannya, aku perhatikan gerak-gerik anak kecil itu. Mataku tak berkedip memandangi dia yang duduk di depanku.

"Hmmm... harusnya jam segini dia ada di sekolah, tapi kenapa malah ngamen?" batinku dalam hati dengan penuh tanya.

Aku patut kecewa, karena pengamen tersebut tidak lain adalah adik asuhku sendiri. Dia adalah Topan, salah seorang bocah /drop out/ yang sering mangkal di sebuah mesjid samping kampusku.

Pertemuan antara aku dan Topan sering terjadi saat salat dhuhur dan ashar tiba. Topan biasanya berdiri di luar mesjid untuk menjaga sandal atau sepatu punya orang-orang yang akan melaksanakan salat. Dari upah menjaga sepatu tersebut, Topan mendapatkan uang recehan untuk sekedar jajan.

Masih terbayang di ingatanku saat pertama kali menyapa Topan.
"Kamu kelas berapa?" tanyaku sambil memakai sepatu.
"Saya tidak sekolah Kak..." jawab Topan dengan tatapan kosong.
"Loh... kenapa?" selidikku penasaran.
"Saya tidak punya uang untuk bayar SPP, beli buku dan seragam sekolah...," tutur Topan menjelaskan alasan kenapa dia putus sekolah.

Aku terdiam mendengar jawaban tersebut. Sebuah jawaban yang merupakan cerita abadi dari ribuan bahkan mungkin jutaan anak miskin yang terus berlanjut di bumi pertiwi. Mereka terpaksa harus putus sekolah karena tidak punya biaya.

Aku pandangi wajah mungil itu dengan sebuah tatapan simpatik dan penuh persahabatan.
"Kamu masih mau sekolah?" tanyaku dengan perasan ingin tahu.
"Mau Kak..." jawab Topan lirih dengan kepala menunduk.

Sejak saat itu aku punya adik baru. Seminggu dua kali, bertempat di beranda mesjid, aku memberikan les tambahan membaca dan berhitung, karena kemampuan Topan ketinggalan jauh oleh temen-temnnya yang lain.
Namun kejadian pagi itu, benar-benar di luar perkiraanku. Topan yang harusnya ada di sekolah tiba-tiba kujumpai berada di jalanan sedang mengamen. Aku merasa kecewa, pengorbananku selama ini tidak dimanfaatkannya dengan baik.

Saat itu, Topan tidak menyadari kalau dirinya sedang mengamen di depan kakak asuhnya. Seorang kakak angkat yang selama ini mencurahkan kasih sayangnya, memotivasi dia agar terus sekolah.

Di akhir lagu bis kota yang dia nyanyikan, sebuah lirik ditambahkannya sebagai penutup...

/"kalau kami kurang sopan mohon kami dimaafkan
karna kami kurang pendidikan
kalau kami ganggu anda yang berpendidikan
salam kami pengamen jalanan"/

Selesai bernyanyi, badan topan berbalik menghadap penumpang. Kemudian dia mengeluarkan bungkus permen yang sudah kosong dari saku celananya, sebagai penampung uang recehan. Sesaat kemudian, tangan kecil mungil menjulur ke penumpang, memohon belas kasihan dari mereka agar mau memberikan sekedar uang recehan, lalu...
"Kakak... !?!" ucapnya kaget, saat sepasang mata kecil itu beradu pandang dengan mataku yang menatap dirinya tajam. Wajah Topan terlihat pucat mengekspresikan perasan terkejutnya bercampur dengan rasa malu dan bersalah.

"Ssssttt.... !" aku menempelkan telunjuk pada bibirku, memberikan isyarat agar Topan tidak bicara. Lalu aku keluarkan uang dan memasukannya pada bungkus plastik yang dipegangnya. Tidak lama kemudian, dia membalikkan badan dan turun saat mobil berhenti di lampu merah.

********

Keesokan harinya, aku mendatangi SD tempat Topan belajar. Namun sayang, dia tidak ada di sekolah. Aku terkejut ketika diberi tahu kalau Topan sudah seminggu tidak masuk kelas.

"Hmmm... bandel juga tuh anak," gumamku dalam hati sambil pamit untuk mencari Topan.

Siang itu aku putuskan untuk mencari Topan di rumahnya. Mungkin bukan rumah, tapi tepatnya sebuah bedeng yang berada di pinggir sungai kecil yang kotor dan bau. Bedeng tersebut terbuat dari batako yang menempel pada rumah orang lain. Ukurannya dua kali empat meter. Dihuni oleh enam orang anggota keluarga.

Ketika tiba di rumah Topan, aku dipersilakan masuk oleh ibunya. Di sana ada ibu, tiga anak balita dan seseorang yang tengah berbaring lemah beralaskan tikar. Dia adalah bapaknya Topan yang bernama pak Ujang.
Profesi pak Ujang adalah tukang parkir di pasar Bogor.
"Bapak kenapa Bu?" tanyaku pelan.
"Dia sakit batuk dan demam" jawab ibu itu.
"Sudah ke dokter?"
"Sudah Kak, sudah dua kali ke Puskesmas, namun belum sembuh juga. Kata dokter harus istirahat yang banyak," ucapnya menjelaskan.

Hening sejenak...

"Topan kemana ya Bu? Dia hari ini tidak sekolah." tanyaku lagi.
"Iya, semenjak Bapaknya sakit, Topan menggantikan Bapaknya mencari uang.
Dia pergi ngamen tiap hari sejak seminggu yang lalu" jawab ibunya.

Seperti diguyur air es, badanku dingin mendengar penjelasan ibunya Topan. Anak sekecil itu harus berkelahi dengan waktu, mencari nafkah untuk keluarganya. Padahal umurnya belum genap sembilan tahun. Terbayang betapa berat tugas Topan.

Tidak lama kemudian aku pamit. Aku beritahu dia kalau lusa, aku akan meninggalkan Bogor dan aku berharap bisa ketemu Topan terlebih dulu sebelum pergi. Lewat ibunya, aku menitip pesan agar Topan menemui diriku di Mesjid besok siang.

Keesokan harinya, saat selesai salat dhuhur, Topan menemuiku di mesjid. Dengan muka yang lusuh dan terlihat letih dia berbicara.
"Kak kemarin ke rumah ya?"
"Iya, aku mencarimu. Kamu kemana aja?"
"Saya ngamen kak...," ujar dia lirih

Aku tahu dia ngamen untuk menggantikan tugas ayahnya mencari nafkah. Air mataku tak mampu kutahan lagi. Bagaikan bendungan pecah, airnya mengalir deras membasahi pipiku.

"Topan, kakak mau pamitan. Kakak sudah selesai kuliahnya," kataku pelan.
Anak itu terdiam sesaat, lalu...
"Kakak akan pergi dari sini?"
"Iya, kakak tidak akan tinggal di Bogor lagi. Kakak dapat kerjaan jauh sekali."

Hening sejenak, hanya isakan tangis dan lelehan air mataku yang bicara...
"Kak maafkan Topan ya... kakak pasti kecewa, topan bolos sekolah, Topan mau berterimakasih pada kakak... "

Kali ini aku tak kuat lagi, aku menangis... kupeluk dia erat sekali...

Itulah pelukan terkahir di hari perpisahan dengannya.

*********
Topan menjeritlah yang keras, sampai semua orang tahu keberadaanmu atau
waktu menguburmu dalam ketiadaan.

********* TAMAT *********
Lisman Suryanegara
Penulis adalah peneliti LIPI yang sedang kuliah S3 di Kyoto University.
Tercatat sebagai anggota Forum Lingkar Pena Jepang.




26 Februari 2009

Saputangan Warisan Papa

26 Feb 2009
Saputangan Warisan Papa

Papa,
jangan katakan papa sendiri
ada aku anakmu
Papa,
jangan katakan dunia tidak bersahabat denganmu
ada aku anakmu
Papa,
jangan katakan aku tak punya rasa
ada cinta tanpa pamrih dari anakmu
Papa,
Bukankah darah yang mengalir di tubuhku suci
sesuci rahim mama yang mengandungku
aku tidak akan mengotori
dengan dendam

Puisi karya: Drew Amora



Pada masa lalu seorang pria bernama Azwar Saunan hidup di Padang Panjang. Dia kaya, disegani dan berbahagia. Pada sebuah pagi yang malang rukonya terbakar. Semuanya menjadi abu, rumah tangganya mengalami perceraian, dan sebelum perayaan ulamg tahun yang ke-45 ia terkena stroke! Harta terbaik yang ia miliki hanya selembar saputangan pemberian sahabatnya, seorang pedagang kaki lima di Pasar Senen, Jakarta.
Keinginan papa sebenarnya sama seperti kebanyakan orangtua lainya. Papa ingin mewariskan rumah, tanah, atau kebun yang luas agar hidup anak-anaknya lebih bahagia. Tetapi apa daya, hanya selembar saputangan yang ia punya.
Di sebuah kamar kontrakan yang sumpek, papa berusaha menyampaikan sesuatu kepadaku. Lidahnya yang pelo membuat kata-katanya kurang jelas terdengar di telingaku.

“ Ini ambil buat Mona, hadiah ulang tahun sekaligus warisan dari papa.” sambil bibirnya menyunggingkan senyum.
Mataku menatap pada sebuah benda yang ditunjukkan oleh papa. Sebuah saputangan berwarna biru dengan motif bergaris-garis.
“Nggak ah pa, nanti papa nggak punya saputangan lagi kalau saputangan itu, papa kasih ke Mona.”
“Papa serius, papa nggak punya apa-apa buat hadiah ulang tahun Mona, ujarnya lembut penuh kasih sayang.”
“Makasih ya pa.” jawabku cepat, aku khawatir penolakanku akan melukai hatinya. Mona senang papa masih ingat hari ulang tahun Mona.
“Tentu saja ingat, Mona kan anak kesayangan papa.” jawab papa.
Aku menangis dalam hati, sekaligus terharu waktu menerima hadiah saputangan dari papa. Apalah gunanya sehelai saputangan. Tidak bisa menghadapi dunia dengan segala permasalahannya. Akhirnya saputangan itu aku simpan baik-baik di dalam saku celana jeansku.

Hari-hari berlalu, bulan pun silih berganti,
seiring dengan peredaran bumi mengelilingi matahari.
Acara di televisi mengabarkan telah terjadi tsunami maha dasyat di Aceh.
Aku terpanggil untuk menjadi relawan ke Aceh, sebelumnya berangkat aku memohon izin kepada papa.
“Pa, Mona mau berangkat ke Aceh ya, jadi relawan, ujarku.
“Mona yakin dengan keputusan Mona, tanya papa.
“Iya pa, jawabku singkat.
“ Mona nggak mau sekedar bilang “kasihan” sama korban-korban tsunami di Aceh, Mona mau terjun langsung menolong mereka. Ini sebuah panggilan jiwa, aku mencoba menjelaskan kepada papa.
“Iya, papa izinkan, jawab papa
“Papa bangga punya anak sebaik Mona.
“Wah, senang sekali papa mau mendukung Mona, jawabku kegirangan.
“Terima kasih ya pa.”
“Iya, Mona”
“Baik pa, doaian Mona ya pa.”
“Papa pasti doain Mona.”
Papa memelukku erat sekali, seakan-akan ini adalah pertemuan terakhir denganku. Pelukannya erat sekali, membuatku sesak napas.
“Mona pasti merindukan papa, ujarku setengah berbisik.
“Jaga diri baik-baik ya Mon, jawab papa lembut.

Aku berangkat ke Aceh tanggal 1 Januari 2005. Bersama teman-teman dari Rumah Ceria. Kami sama-sama punya misi untuk menghibur anak-anak korban tsunami. Pakaian seadanya, persediaan makanan, obat-obatan dan beberapa novel favoritku aku masukkan ke dalam ransel, saputangan hadiah dari papa juda aku bawa serta.
Sesampai di Aceh, pemandangannya sungguh mengerikan. Mayat-mayat bergelimpangan, rumah-rumah hancur berantakan, memilukan sekali. Hari kedua di Aceh aku terserang demam.
Tadinya saputangan itu aku anggap sepele. Sekedar untuk ngelap ingus dan keringat. Ternyata saputangan itu menjadi penolong saat aku kena demam. Aku mengompres kepalaku dengan saputangan itu, serasa dibelai tangan papa, ucapku dalam hati. Tidak ada cara yang lebih ampuh menurunkan demamku selain dengan saputangan itu.
Setiap kugengam saputangan itu, terbayang cinta papa yang begitu tulus, seperti ketulusan gerimis saat menyiram bumi. Papa dengan apa kubalas cintamu?
Suatu hari nanti aku akan menceritakan kenangan ini kepada anakku dengan penuh rasa bangga. Anakku sayang, opa sebelum meninggal mewariskan sehelai saputangan kepada bunda, sebagai tanda cintanya. Opa itu pria yang hebat. Wah sayang sekali kamu belum pernah melihat wajahnya.

Ciawi, 20 Feb 2009, 16.30 WIB.
Ditulis di sela-sela kesibukan ngedit buku Penjas 2 SMA
oleh Bobby Prabawa.






14 Februari 2009

Gadis Kecil Pembawa Payung

14 Feb 2009
Gadis Kecil Pembawa Payung
Pi Ling

Dengan payung di tangan dia lagi-lagi berjalan berlarian di tengah hujan pagi. Sepasang mata yang indah memandang langit mendung, berkata dia dalam hati:

“Oh, hujan turunlah biar lebih banyak orang yang aku antar, biar lebih banyak uang aku peroleh …”
Tante, biar saya antarkan tante sejenak ya …,” dia berlari menghampiri seorang perempuan yang baru saja turun dari bis, ia memberikan payung kembang besar kepada tante itu untuk dipegang, dan dia mengikutinya dari belakang.

Air hujan membasahi rambutnya yang indah, mengalir di mukanya yang cantik, dan jatuh pada pakaiannya. “Tante, terima kasih, “dia mengambil imbalan setelah disirami air hujan, hatinya menyimpan sejemput kesenangan.

“Om, biar saya antarkan om ya.” Dia lari mendekati seorang laki-laki dewasa yang membawa tas kantor, dan payung kembang besar itu sekali lagi berpindah tangan ke Om itu, diam-diam dia mengikuiti dari belakang, air hujan membasahi rambutnya yang indah, mengalir di mukanya yang cantik dan jatuh pada pakaiannya. “Om, terima kasih …” Sekali lagi dia menerima imbalan setelah disirami air hujan, muka yang dialiri air hujan memancarkan cahaya senyum …

“Nek, biar saya antarkan nenek ya …” dia lari menghampiri seorang nenek tua beruban setelah baru saja dia menyeka air hujan di mukanya. “Cu, kehujanan bisa masuk angin.” Perempuan tua itu menuntunya dengan satu tangan, dan tangan yang lain memegang payung kembang besar itu sambil berkata lembut.

“Nek, mau kemana sepagi ini?” Dia menatap perempuan tua yang baik hati itu dengan matanya yang terang. “Menengok cucu perempuanku yang bandel, kemarin malam ia kena hujan dan demam, betul-betul membuat nenek tua ini cemas sekali...,” nenek tua itu mengomel, mukanya menampakkan kecemasaan.

“Cu, masuk berganti pakaian kering,” Perempuan tua itu menuntunnya memasuki rumah kayu yang dikelilingi pagar hijau, berkata dengan rasa sayang. Si gadis kecil memandang dengan muka yang asing tapi sangat simpatik itu dengan rasa kaget dan rasa terima kasih. “Terima kasih nek.” Dia mengambil payung, cepat-cepat pergi berhujan-hujan.

Dia berpikir buat apa berganti pakaian kering, kehujanan juga basah lagi. “Cu, kok tidak menerima uang dari nenek?”Dia mendengar seruan nenek yang risau. Dia menoleh dan tersenyum tipis kepada nenek yang melambaikan tangannya. “Nek, mana saya dapat menerima uang nenek? Nenek seperti nenek saya yang sangat menyayangi …,” katanya gembira. Dia teringat nenknya sendiri, tapi neneknya sudah lama meninggal.

“Dik antarkan saya,” seorang gadis yang mengenakan blus putih dan rok abu-abu tertawa melambaikan tangan padanya. Payung kini berada di tangan gadis itu dan dia diam-diam mengikutinya dari belakang. Matanya yang terang mulai tampak sayu, dia sedang berpikir apakah dia suatu hari akan berpakaian seragam pergi ke sekolah.

Meskipun dia mendambakan hari itu, tapi dia baru berusia dua belas tahun, baru saja menamatkan sekolah dasar. Apakah akan bisa masuk sekolah menengah pertama masih merupakan “teka-teki”. Kata ibunya, bila uang sekolah tidak cukup diperoleh dia tak kan masuk SMP.

Dia sangat gelisah dan sedih? Sejak kecil dia sudah belajar mencari uang jajan. Di hari-hari tak ada hujan, ia membantu mencuci piring mangkuk dan mengepel di warung tetangga. Di musim hujan ia membawa payung kembang besar milik ibunya, untuk mendapatkan uang.

Dia anak pecinta buku, ibunya pun berharap ia dapat bersekolah beberapa tahun lebih lama. Sedangkan pekerjaan ibunya hanya mendatangkan upah yang kecil menyedihkan, ia tidak bisa menyalahkan ibunya. Alangkah baiknya seandainya ayahnya masih ada . Sayang sekali ayahnya telah tiada, telah berpulang seperti neneknya!

“Sudah sampai Dik.” Dia kaget dan tengadah, baru diketahuinya ia telah berdiri di pintu gerbang sekolah. Ia mengambil alih payung, menyaksikan dengan iri gadis itu berjalan masuk ke ruang sekolah dengan riang.


“Oh hujan, turunlah, biar lebih banyak uang aku peroleh, membantu ibu mengumpulkan uang sekolah.” Dia berjalan di tengah hujan yang turun makin deras. Dia mulai merasa lapar, udara dingin sekali. Dia teringat kata-kata nenek berambut putih itu, kena hujan bisa sakit masuk angin, rasa takut melintas dalam hatinya yang kecil. Namun, ia mengingatkan diri, dia tidak boleh sakit, sesuatu yang akan sangat menyusahkan. Dengan tangannya yang kecil dia menyeka rambutnya yang basah kuyup berulang-ulang, lalu mengenggam rok bawahnya kuat-kuat, berusaha memilin mengeringkan pakaiannya!

“Dik, mari antarkan saya,” seorang ibu muda yang memeluk bayi tidur nyenyak berjalan menghampirinya. Matanya berbinar sesaat, lupa lapar lupa dingin, dengan gembira mengasongkan payungnya.

Hujan deras menyiraminya , wajah mungil yang kurus tampak begitu lelah dan pucat. Ketika dia mengulurkan tangan kecil yang gemetar mengambil imbalan setelah tersiram air hujan, dia mengigil, terasa berada di tengah-tengah tanah bersalju. Dengan susah payah dia menggenggam payung kuat-kuat, seolah-olah payung itu menarik-narik tangannya yang kecil tak berdaya.

Sepertinya dia melihat payung kembang besar itu menjadi kereta angin, mulai berputar, berputar, terus berputar. Angin dingin yang tak henti-hentinya menerpa membuat langkhnya terhuyun-huyun! Payung kembang besar itu akhirnya terlepas dari tangannya, terbang tertiup angin, terjatuh di keremangan, bagai kabut …