26 Februari 2009

Saputangan Warisan Papa

26 Feb 2009
Saputangan Warisan Papa

Papa,
jangan katakan papa sendiri
ada aku anakmu
Papa,
jangan katakan dunia tidak bersahabat denganmu
ada aku anakmu
Papa,
jangan katakan aku tak punya rasa
ada cinta tanpa pamrih dari anakmu
Papa,
Bukankah darah yang mengalir di tubuhku suci
sesuci rahim mama yang mengandungku
aku tidak akan mengotori
dengan dendam

Puisi karya: Drew Amora



Pada masa lalu seorang pria bernama Azwar Saunan hidup di Padang Panjang. Dia kaya, disegani dan berbahagia. Pada sebuah pagi yang malang rukonya terbakar. Semuanya menjadi abu, rumah tangganya mengalami perceraian, dan sebelum perayaan ulamg tahun yang ke-45 ia terkena stroke! Harta terbaik yang ia miliki hanya selembar saputangan pemberian sahabatnya, seorang pedagang kaki lima di Pasar Senen, Jakarta.
Keinginan papa sebenarnya sama seperti kebanyakan orangtua lainya. Papa ingin mewariskan rumah, tanah, atau kebun yang luas agar hidup anak-anaknya lebih bahagia. Tetapi apa daya, hanya selembar saputangan yang ia punya.
Di sebuah kamar kontrakan yang sumpek, papa berusaha menyampaikan sesuatu kepadaku. Lidahnya yang pelo membuat kata-katanya kurang jelas terdengar di telingaku.

“ Ini ambil buat Mona, hadiah ulang tahun sekaligus warisan dari papa.” sambil bibirnya menyunggingkan senyum.
Mataku menatap pada sebuah benda yang ditunjukkan oleh papa. Sebuah saputangan berwarna biru dengan motif bergaris-garis.
“Nggak ah pa, nanti papa nggak punya saputangan lagi kalau saputangan itu, papa kasih ke Mona.”
“Papa serius, papa nggak punya apa-apa buat hadiah ulang tahun Mona, ujarnya lembut penuh kasih sayang.”
“Makasih ya pa.” jawabku cepat, aku khawatir penolakanku akan melukai hatinya. Mona senang papa masih ingat hari ulang tahun Mona.
“Tentu saja ingat, Mona kan anak kesayangan papa.” jawab papa.
Aku menangis dalam hati, sekaligus terharu waktu menerima hadiah saputangan dari papa. Apalah gunanya sehelai saputangan. Tidak bisa menghadapi dunia dengan segala permasalahannya. Akhirnya saputangan itu aku simpan baik-baik di dalam saku celana jeansku.

Hari-hari berlalu, bulan pun silih berganti,
seiring dengan peredaran bumi mengelilingi matahari.
Acara di televisi mengabarkan telah terjadi tsunami maha dasyat di Aceh.
Aku terpanggil untuk menjadi relawan ke Aceh, sebelumnya berangkat aku memohon izin kepada papa.
“Pa, Mona mau berangkat ke Aceh ya, jadi relawan, ujarku.
“Mona yakin dengan keputusan Mona, tanya papa.
“Iya pa, jawabku singkat.
“ Mona nggak mau sekedar bilang “kasihan” sama korban-korban tsunami di Aceh, Mona mau terjun langsung menolong mereka. Ini sebuah panggilan jiwa, aku mencoba menjelaskan kepada papa.
“Iya, papa izinkan, jawab papa
“Papa bangga punya anak sebaik Mona.
“Wah, senang sekali papa mau mendukung Mona, jawabku kegirangan.
“Terima kasih ya pa.”
“Iya, Mona”
“Baik pa, doaian Mona ya pa.”
“Papa pasti doain Mona.”
Papa memelukku erat sekali, seakan-akan ini adalah pertemuan terakhir denganku. Pelukannya erat sekali, membuatku sesak napas.
“Mona pasti merindukan papa, ujarku setengah berbisik.
“Jaga diri baik-baik ya Mon, jawab papa lembut.

Aku berangkat ke Aceh tanggal 1 Januari 2005. Bersama teman-teman dari Rumah Ceria. Kami sama-sama punya misi untuk menghibur anak-anak korban tsunami. Pakaian seadanya, persediaan makanan, obat-obatan dan beberapa novel favoritku aku masukkan ke dalam ransel, saputangan hadiah dari papa juda aku bawa serta.
Sesampai di Aceh, pemandangannya sungguh mengerikan. Mayat-mayat bergelimpangan, rumah-rumah hancur berantakan, memilukan sekali. Hari kedua di Aceh aku terserang demam.
Tadinya saputangan itu aku anggap sepele. Sekedar untuk ngelap ingus dan keringat. Ternyata saputangan itu menjadi penolong saat aku kena demam. Aku mengompres kepalaku dengan saputangan itu, serasa dibelai tangan papa, ucapku dalam hati. Tidak ada cara yang lebih ampuh menurunkan demamku selain dengan saputangan itu.
Setiap kugengam saputangan itu, terbayang cinta papa yang begitu tulus, seperti ketulusan gerimis saat menyiram bumi. Papa dengan apa kubalas cintamu?
Suatu hari nanti aku akan menceritakan kenangan ini kepada anakku dengan penuh rasa bangga. Anakku sayang, opa sebelum meninggal mewariskan sehelai saputangan kepada bunda, sebagai tanda cintanya. Opa itu pria yang hebat. Wah sayang sekali kamu belum pernah melihat wajahnya.

Ciawi, 20 Feb 2009, 16.30 WIB.
Ditulis di sela-sela kesibukan ngedit buku Penjas 2 SMA
oleh Bobby Prabawa.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar