01 Agustus 2009

Ayah dan Aku

Oleh : Ali Reza, Selasa 18 Juni 2009

Aku kenal betul kakekku. Tiga kali dalam setahun aku mengunjunginya, dan tiap kali aku ke sana, kakek selalu cerita tentang ayah dan saudara-saudara ayah. Ayah bangga pada kakek. Ayah bilang kakek adalah seorang pejuang, dan tiap kali ayah menceritakannya, ayah selalu mengatakan betapa keras kakek mengajar ayah waktu kecil dulu.

Kakek tinggal di rumah yang kecil walau tidak bisa dibilang sederhana. Tidak ada TV, tidak ada radio, tidak ada lemari es karena memang tidak ada listrik. Untuk mengambil air pun, kami harus menimba dari sumur. Jika malam datang kami harus berhati-hati mengambil air, jika tidak, bisa-bisa terpeleset dan jatuh ke dalam sumur. Kakek bercerita saat usia dua belas tahun kakek kerja di pelabuhan dan berhenti kerja di usia empat puluh enam. Di sisa umurnya kakek berjualan ikan bersama nenek. Kakek meninggal dua minggu lalu atau lebih kurang dua tahun setelah nenek meninggal. Tidak banyak yang diwariskan kakek bahkan rumahnya, karena rumahnya adalah milik pak Samin. Kakek menyewa sepanjang hidupnya. Kakek hanya mewariskan semangat kerja keras pada ayah.

Ayah seorang buruh pabrik. Meski demikian ayah sangat menghargai pekerjaannya hingga dua puluh enam tahun bekerja di sana seperti tak terasa. Ayah rela berdesak-desakkan di bis saat berangkat dan pulang kerja. Ayah bilang, “Kerja itu berjuang, dan untuk berjuang kamu harus menikmatinya.” Tidak jarang ayah pulang malam atau masuk kerja di hari minggu karena lembur. Ayah harus menafkahi istri dan empat anaknya. Aku adalah anak pertamanya.

Aku mewarisi wajah ayah namun hidungku lebih cenderung ke ibu sedangkan karakterku menurun dari keduanya. Aku kerja seperti ayah, berangkat pagi dan pulang malam. Kupikir mungkin inilah risiko menjadi anak pertama dan segalanya mengalir seperti sungai: ayah dan aku kerja, ibu mengurus rumah tangga dan ketiga adikku pergi sekolah.

Kami tidaklah miskin, setidaknya untuk ukuran enam orang dalam rumah tipe 21. Jika aku terus mengikuti pola hidupku maka akan berjalan seperti adanya; aku kerja, aku menerima gaji, lalu empat atau lima tahun lagi, aku akan menikah, menimang bayiku, melihat anakku menjadi remaja dan anakku menceritakan kejadian yang sama seperti yang aku lakukan sekarang. Namun bila dibandingkan dengan ayah, aku rasa, aku lebih beruntung darinya, setidaknya pakaianku tidak kotor saat bekerja atau berpanas-panasan dengan mesin. Tugasku mengatur dan menyusun file dan mencari file jika staf lain memerlukan.

Ibu menyiapkan sarapan jam lima. Aku dan ayah menjadi prioritas karena kami harus berangkat jam lima tiga puluh, setelah itu adik-adikku menyusul. Rumahku berjarak tiga kilometer dari stasiun, itu artinya berjarak lima menit jika naik angkot atau lima belas menit jika berjalan cepat. Dan aku lebih memilih jalan kaki.

***

Orang-orang yang ingin naik kereta berjejer di peron, menunggu kereta masuk, yang di barisan depan berpeluang besar dapat tempat duduk. Mereka yang tidak dapat tempat duduk akan berdiri berdesak-desakkan, dan tiap kali kereta berhenti di stasiun, orang-orang akan terus bertambah hingga merasakan dorongan dari empat sisi. Sebenarnya aku bisa berada di barisan depan saat menunggu kereta masuk, lalu melompat lebih dulu dari yang lain sehingga dengan cepat memilih tempat duduk, namun aku enggan melakukannya karena tidak ingin celaka, setidaknya sebelum aku mengenal Erlin.

Erlin adalah wajah baru di stasiun ini karena aku hapal orang-orang yang biasa naik kereta. Orang baru biasanya menanyakan di stasiun mana dia harus turun dan aku senang Erlin bertanya padaku. Setelah beberapa hari mengenalnya, aku harus berdiri di barisan depan dan kemudian memberikan tempat duduk buat Erlin. Kasihan sekali jika Erlin harus terpaksa berdiri, bisa-bisa dandanannya rusak karena keringat dan bajunya kusut karena berdesakkan.

Ayah selalu tiba di rumah lebih dulu dari aku. Aku biasa menemukannya saat ayah sedang makan malam atau baca koran. Saat aku melihat ayah, aku melihat putih rambutnya, keriputnya yang tebal dan urat-urat tangannya yang menonjol. Aku berkata pada diriku, apakah aku akan menjadi seperti ayah? Lalu aku melihat ibu yang tak beda jauh dari ayah dan berkata pada diriku lagi, apa yang membuat ibu menikahi ayah? Lalu aku membayangkan wajah Erlin dan berkata pada diriku, apa yang membuat Erlin akan menikahiku? Dan sabtu besok Erlin mengundangku ke rumahnya, ke pesta ulang tahunnya. Sebuah undangan yang tidak bisa kutolak.

Di suatu malam ayah memanggilku.

Aku masih ingat harinya; hari senin, empat hari setelah ulang tahunku yang ke dua puluh tiga. Ibu duduk di samping ayah, membaca majalah dua bulan lalu. Aku duduk di hadapan ayah, membaca judul berita koran yang ayah letakkan di atas meja. Beberapa saat kemudian ayah memulai pembicaraan. Aku tidak ingat apa yang ayah ucapkan pertama kali karena aku terlanjur asik membaca judul-judul berita lainnya. Ibu masih membaca majalah dan kurasa ibu juga tidak memerhatikannya.

Ayah mengambil koran yang sedang kubaca, melipatnya dan meletakkan di bawah meja. Itu tandanya pembicaraan mulai serius. Ibu bangkit berdiri, meletakkan majalah di atas meja dan meninggalkan kami tanpa sepatah kata. Sepertinya ibu tidak ingin mencampuri urusan laki-laki. Aku melihat sekilas iklan komputer di majalah. Aku membayangkan sedang mengetik di komputer sendiri.

Ayah tidak pernah memulai dengan pembicaraan ringan. Ayah mengatakan apa yang perlu ayah sampaikan dan setelah itu ayah membiarkanku berfikir. Kata “Dengar ayah ..” adalah kata yang sering diucapkan agar aku mengerti. Aku paham maksud ayah malam itu, aku mengerti sampai ke detailnya, sebuah pembicaraan dari laki-laki ke laki-laki, dari ayah ke anak pertamanya. Aku paham keadaan ayah dan aku tahu posisiku. Ayah tidak kerja lagi, ayah bilang karena restrukturisasi perusahaan (aku ragu, aku dan ayah paham kata itu). Aku hanya mengambil kesimpulan bahwa rumah ini, ibu, ketiga adikku bahkan ayah berada di pundakku. Ayah memberi kepercayaan padaku sebagaimana ayah percaya pada diri ayah. Bagi ayah, aku adalah cermin dirinya. Bagiku, aku adalah aku. Ya, aku adalah aku. Aku bergaul dengan orang yang aku ingini, membeli barang yang aku mau atau pergi ke mana saja, ke tempat yang aku suka. Dan aku akan pergi ke rumah Erlin besok.

Erlin memiliki keluarga yang bahagia dengan rumah dan mobil yang bagus, entah bagaimana aku menempatkan diriku di rumahnya.

Semua orang yang hadir bernyanyi Happy birthday to you. Seorang laki-laki mencium kening Erlin dan sebuah kado besar diberikannya. Aku tahu laki-laki itu, laki-laki yang membuatku cemburu, sedangkan aku hanya duduk sendiri di pojok ruangan.

Aku menyimpan kado untuknya di tasku, sebuah buku dengan selembar puisi yang kubuat sendiri disisipkan di tengah buku. Kado itu akan berada diantara tumpukan kado-kado bagus, diantara HP, jam tangan mahal, perhiasan-perhiasan indah dibungkus dengan cantik. Dan aku memutuskan tidak memberinya kado. Aku tetap menyimpannya, barangkali aku akan memberikannya lain waktu.

Sejak ayah tidak kerja aku selalu menemukannya sedang menonton TV, baik saat aku berangkat kerja maupun pulang kerja. Tidak jarang aku menemukan ayah sedang melamun, entah ayah sedang merindukan pekerjaannya atau memikirkan keluarga. Yang kulakukan hanya berusaha menjadi anak baik dan karena itulah hampir seluruh gajiku untuk keperluan keluarga. Di tahun-tahun ke depan aku tetap akan menjadi tulang punggung keluarga, setidaknya sebelum aku menikah atau sambil menunggu adik-adikku lulus dan mendapatkan pekerjaan. Ibu pasti bangga padaku karenanya.

Selanjutnya aku akan menceritakan tentang ayahku yang seharusnya tidak kuceritakan. Aku menceritakan ini bukan untuk sesuatu yang jelak melainkan untuk menunjukkan betapa aku peduli pada keluarga.

Sebelumnya, menonton TV bukanlah kebiasaan ayah. Ayah biasa memegang kunci inggris atau menjalankan mesin di setengah hidupnya. Ayah seperti sedang kehilangan semangat dan pegangan, tidak banyak dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku kecewa melihatnya. Aku tunjukkan sikapku dengan tidak banyak bicara. Aku berharap semoga ayah mengerti maksudku. Dan Erlin? Erlin masih seorang perempuan yang ingin kunikahi. Erlin memiliki apa yang kuanggap menyenangkan dan tentu saja tiap laki-laki punya jalan untuk membahagiakan perempuan. Aku punya tekad untuk membuatnya bahagia. Mungkin ini seperti sebuah mimpi, mungkin ayah punya jalan sendiri saat mengenal ibu, tapi aku akan melakukannya yang terbaik buat Erlin. Di jalan itu, aku akan menjadi penulis. Aku akan menjadi penulis besar, lebih besar dari penulis abad ini dan mendapatkan uang banyak, lalu aku akan menikah dengan Erlin dan kami akan bahagia. Aku punya bakat dan ide-ide besar untuk tulisanku. Tapi aku tidak punya komputer, padahal penulis jaman sekarang harus pakai komputer. Aku harus memilikinya.

Lagi-lagi ayah membuatku kesal. Kenapa ayah harus berhenti kerja di saat yang tidak tepat? Bagaimana aku dapat beli komputer jika masih harus mengeluarkan uang untuk keluarga? Ayah seharusnya mengerti aku. Tidakkah di usianya ayah masih bisa mencari pekerjaan lain atau memulai usaha sendiri? Haruskah aku melihatnya setiap hari sedang menonton TV? Apakah setiap anak harus melalui sirkulasi seperti ini; ibu melahirkan aku, ayah mencari nafkah, ayah membiayai sekolah dan untuk membalas jasa mereka maka aku harus menafkahi mereka kemudian? Mungkin aku bukan anak baik, namun aku punya alasan mematikan TV tiba-tiba saat ayah sedang menontonnya. Kejadiannya begitu cepat, dan itu lebih baik dibandingkan dengan memecahkan layar TV atau membantingnya.

Ayah sadar apa yang terjadi. Ayah tahu maksud sikapku ini dan ayah ingin memperbaikinya. Ayah menghampiriku yang sedang baca koran (sebenarnya hanya pura-pura baca) dan memintaku untuk mendengarnya. Kali ini aku tidak mendengar kata “Dengar ayah!” dan sebagai penggantinya ayah lebih sering minta ma’af hingga terkesan sedang menyalahkan dirinya. Ya, aku pikir memang seharusnya demikian. Ayah berjanji akan mencari pekerjaan baru sepanjang ayah mampu. Dan sekali lagi ayah minta ma’af telah mengorbankan keinginanku. Sebenarnya hal itu membuatku merasa bersalah.

Hari berikutnya aku tidak pernah melihat ayah di depan TV. Aku lebih sering melihatnya mengerjakan sesuatu seperti membuat kursi, membuat gantungan baju, menyetrika, membaca atau apa pun itu asal bukan menonton TV. Dan hari-hari berikutnya aku jarang menemukan ayah di rumah. Ibu bilang ayah sudah kerja lagi, namun ibu belum tahu dimana ayah kerja.

Satu malam, menjelang tidur, aku memasang telinga untuk mengetahui jam berapa ayah pulang. Aku mendengar seseorang membuka pintu pagar dan orang yang kami cintai itu pulang disambut ibu. Aku melihat dari celah kunci pintu. Aku melihat ibu sedang memijat ayah.

Dan sekali lagi itu membuatku merasa bersalah.

Satu bulan berlalu sejak kudengar ayah dapat pekerjaan baru. Saat itu bulan Juni di musim panas. Aku dipromosikan dengan kenaikan dua kali gaji sebelumnya, memiliki meja yang luas tepat di bawah AC, dan aku menggunakan komputer. Tugasku membuat penawaran, artinya aku hanya duduk dan mengetik kemudian mengirimkan penawaran ke calon klien.

Di suatu siang setelah jam istirahat aku melihat ayah di kantorku berdiri di depan pintu masuk ruanganku. Aku tidak tahu sudah berapa lama ayah memerhatikanku, tapi kurasa ayah datang bukan untuk melihatku. Namun apakah arti tatapannya?

Ayah melambaikan tangannya padaku dan aku pun menangkap isyaratnya, seperti sedang mengatakan: Ayah bangga anaknya kerja di ruangan yang nyaman.

Ayah kerja untuk perusahaan air minum dan ayah datang mengantarkan air ke kantorku. Ayah memegang empat galon air kosong. Tak lama kemudian ayah pun berlalu. Kutinggalkan meja dan berlari menyusul ayah. Aku memanggilnya dan melabrak tubuhnya yang berkeringat dan memeluknya erat.

Ayah berkata, “Hei, anak laki-laki nggak boleh cengeng.”

Dan aku pun tersenyum padanya.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar