Rumahku Surgaku |
Fine! Aku pergi. Tempat ini sudah seperti neraka! Tuan pergi membanting pintu, nyonya juga pergi dengan mobil berbeda. Rumah laksana istana ini kembali sepi. Pak Pardi dan istrinya sudah menjaga rumah ini bertahun-tahun, mengurai kegundahan usai shalat Dzuhur berjamaah. Sang istri membuka percakapan.
“Pak, kasihan mereka ya? Tapi aku sedih, rumah ini dibilang neraka! Rasanya gimana gitu.” tambahnya pilu.
“Rumah ini rumah kita Bu, surga kita,” jawab Pak Pardi pelan.
“Kita kan cuma pembantu Pak..” sang istri mengingatkan suaminya.
“Bu, siapa penghuni tetap rumah ini? Kita atau mereka? Tanya Pak Pardi.
“Kita, jawab sang istri.
“Mereka itu pembantu kita, siang malam mencari uang banyak untuk bikin rumah ini buat kita. Kadang-kadang mereka bertamu ke sini. Kita harus berbaik hati sama mereka karena mereka membayarkan listrik, air, telepon dan semua kebutuhan kita.
“Mereka pemilik selembar sertifikat atas rumah ini, tetapi kita yang menikmati kebahagiaan berada di rumah ini.
Kutipan dari cerpen:
Rumahku Surgaku, Antologi Rumah Air, Leutika Prio 2011
Evatya Luna
Dialog pada cerpen ini tergiang-ngiang saat saya lewat di depan villa villa mewah di daerah puncak, atau rumah bak istana di Rancamaya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar