11 Oktober 2017

Le Grand Voyage : Perjalanan Panjang Menuju Mekah


Le Grand Voyage adalah film kecintaan ayah dan anak terbingkai dalam perjalanan menuju Mekkah. 

Seorang anak bertanya pada ayahnya. ''Mengapa Ayah tidak naik pesawat terbang saja ke Mekkah? Ini akan lebih mudah.'' Sang ayah terdiam sejenak. ''Air laut baru akan kehilangan rasa pahitnya setelah ia menguap ke langit,'' jawabnya. ''Apa?'' ''Ya, begitulah air laut menemui kemurniannya. Ia harus mengangkasa melewati awan. 

Inilah mengapa lebih baik naik haji berjalan kaki ketimbang naik kuda. Lebih baik naik kuda ketimbang naik mobil. Lebih baik naik mobil ketimbang naik perahu. Lebih baik naik perahu ketimbang naik pesawat terbang...'

Percakapan ini terbetik pada sebuah trotoar di Bulgaria ketika keduanya terpaksa berlindung dari hempasan badai salju. Mobil mereka mogok. Usai melintas sepertiga benua Eropa di atas roda empat, tanya Reda (Nicolas Cazale) pun akhirnya pecah. ''Mengapa tak naik pesawat terbang saja ke Makkah?'' Sebuah pertanyaan masuk akal. Alih-alih terusik oleh tajamnya pertanyaan Reda, sang ayah justru menjawabnya puitis. 

Sebuah jawaban yang tentu saja tak mudah dicerna oleh rasio awam yang matematis. Jawaban yang agaknya lebih bisa dicerna oleh hati yang khusuk.

Tafsirnya adalah :" Semakin sulit perjalanan menuju Makkah, menurut sang ayah, maka semakin mampu perjalanan tersebut memurnikan jiwa kita."

 --Seperti halnya perjalanan air laut yang mengangkasa. Hanya dengan cara itulah, ia menemukan kemurniannya kembali. Inilah pesan metaforfosis Le Grand Voyage (2004), tetapi bukan satu-satunya pesan bernuansa spiritual yang disodorkan peraih Film Terbaik Venice Film Festival ini. Sang ayah, diperankan secara apik oleh aktor kawakan Mohamed Majd, adalah imigran Maroko. Telah menetap 30 tahun di Prancis, laki-laki berwajah Afrika utara itu masih memegang kukuh budaya Arab dan Islam. Sementara Reda adalah generasi kedua imigran yang sudah kebarat-baratan, ia bahkan tak pernah shalat dan memacari seorang gadis Prancis nonmuslim.  

Namun, dalam bingkai budaya Arab yang kental, sang ayah tetaplah figur dominan. Maka, titah sang ayah bagai sambaran geledek di siang bolong. Kala itu Reda akan menggondol gelar sarjana dan tengah dimabuk cinta. Tetapi, ia diminta menyupiri ayahnya naik haji ke Makkah, menyusuri rute sejauh lima ribu kilometer dari Prancis selatan di atas mobil minivan Peugeot yang bobrok. Jadilah Le Grand Voyage, sebuah film perjalanan (road-movie) dan, seperti kebanyakan road movie, ia bergerak linear. Melintaslah mereka ke Italia, Slovenia, Kroasia, Serbia, dan Bulgaria.

Menyeberang ke Turki, Suriah, Yordania, hingga Arab Saudi. Pertikaian kecil meletup sepanjang jalan. Dan, tahulah kita, betapa asingnya dunia ayah dan anak ini. Kita pun diperlihatkan, betapa uniknya peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat perbedaan isi kepala dan kegagalan berkomunikasi. Suatu waktu, sang ayah sekonyong-konyong menarik rem tangan hingga kendaraan yang mereka tumpangi nyaris terguling. Ini semata-mata lantaran Reda menolak meminggirkan mobilnya di jalan tol. 

Di Suriah, pertengkaran memuncak. Reda pergi meninggalkan ayahnya sendirian di gurun pasir setelah sang ayah memberikan duitnya pada seorang janda tua. Padahal duit mereka nyaris ludes usai ditipu orang Turki bernama Mustafa (Jacky Nercessian). Uniknya mereka terus bersatu. Lewat film ini kita disodori sebuah hubungan kasih sayang ayah-anak yang ganjil namun terasa alami. Bagai ada tangan tak terlihat yang terus merekatkan keduanya. 

Ada pula paradok-paradok yang membikin film ini sebuah teka-teki. Hal yang kentara adalah sang ayah digambarkan sebagai sosok kepala batu dan muslim yang taat. Namun, tak disangka, ia adalah seorang moderat yang sungkan memaksa Reda ikut shalat bersamanya. Dan penonton pun bertanya-tanya. Seperti apa kira-kira akhir perjalanan dua manusia dengan kesenjangan budaya dan isi kepala itu? Sutradara Ismael Ferroukhi menyuguhkan sebuah sintesis yang memikat.

Seperti air laut yang menguap, sang ayah menemui kemurniannya kembali di Baitullah. Ia wafat setelah menunaikan ibadah haji. Maka, pada titik ini, Feeroukhi berhasil mengiris-iris hati penonton. Reda diperlihatkan menangis sejadi-jadinya di depan jasad sang ayah yang terbujur kaku. Betapa menyakitkan. Bukankah Reda baru saja mengenal dan menemukan ayahnya lewat perjalanan jauh ini, tapi sekaligus mesti kehilangannya dalam satu pukulan? 

Le Grand Voyage adalah film yang membuat penontonnya pulang dengan hati 'berdarah-darah'. Sebagai film yang sukses mengaduk emosi dan menggelitik saraf spiritual, Le Grand Voyage terhitung unik. Film ini amat sederhana, jika tidak miskin penggarapan teknis. Penonton kerap dihadapkan pada banyak ruang kosong. Dialog ayah dan anak ini amat irit. Namun, bukankah kejeniusan kerap kali tampak pada kesederhanaan? 

Perjalanan ke Mekkah yang melewati benua Eropa ini juga menampilkan keindahan alam di setiap daerah yang dilalui ayah dan anak tersebut. Berbagai kota-kota terkenal di Eropa juga dilalui dalam petualangan mereka, seperti kota Milano dan beberapa kota terkenal lainnya. Melalui daerah konflik di Timur Tengah seperti Irak juga menjadi bagian petualangan yang tak terduga bagi mereka. Setiap permasalalahan dan dinamika yang muncul dalam film ini juga memiliki penyelesaian dengan gaya setiap tokohnya.

Harapan tentang sebuah penyelesaian dan perenungan setiap masalah juga membuat cerita film ini semakin menarik dan memberikan kesan tersendiri bagi para penontonnya. Film ini juga mencoba menjembatani pola pikir antar generasi yang dipengaruhi kehidupan sosial budaya yang berbeda. Sehingga memberikan pandangan berbeda bagi para penontonnya tentang latarbelakang setiap hal yang membedakan generasi muda dengan tua. 

2 komentar:

  1. Wah bagus juga kang sepertinya filmnya. Tapi sedih yaa klo ada yang meninggal di akhir. Sepertinya bakal nangis nangis nontonnya hiks.

    BalasHapus
  2. Iya Teh, filmnya mengena di hati dan di kepala. Baru nonton sekali, tapi tiap scenenya inget terus. Udah lamaaa banget.#Jiffest 2004.

    BalasHapus