14 Juni 2016

Kebaikan dalam 2 Lembar Roti

Ketulusan dari 2 lembar roti
 Selembar uang seratus ribu diejek
bandrol sepatu di mall
namun dua lembar roti
mampu mengenyangkan perut anak yatim yang kelaparan
dan membuat ibunda anak yatim itu menangis karena terharu

Silahkan menyimak kisah dua lembar roti di bawah ini ya sahabat...
Ahmad bin Miskin, Seorang ulama abad ke-3 Hijriah dari kota Basrah, Irak, bercerita :

Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijriyah. Saat itu aku sama sekali tak memiliki apapun sementara harus menafkahi seorang istri dan seorang anak. Lilitan rasa lapar yang hebat terbiasa mengiringi hari-hari kami

Maka aku bertekad menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Akupun mencari orang yang bersedia membeli rumahku. Kemudian bertemulah aku dengan sahabatku Abu Nashr dan kuceritakan kondisiku. Tapi dia malah memberi 2 lembar roti isi manisan “Berikan makanan ini kepada keluargamu.” katanya

Di tengah perjalanan pulang aku berpapasan dengan seorang wanita fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku. Dengan memelas dia memohon

“Tuanku, Anak yatim ini belum makan dan tak kuasa terlalu lama menahan rasa lapar yang melilit. Tolong beri dia sesuatu yang bisa dia makan. Semoga Allah merahmati Tuan.”

Sementara itu si anak menatapku polos dengan tatapan yang takkan kulupakan sepanjang hayat. Tatapan matanya menghanyutkan pikiranku dalam khayalan ukhrowi, seolah-olah surga turun ke bumi, Menawarkan dirinya kepada siapapun yang ingin meminangnya dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini

Tanpa ragu sedetikpun kuserahkan semua yang ada di tanganku. “Ambillah, beri dia makan”

Demi Allah, waktu itu tak sepeserpun dinar atau dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat membutuhkan makanan itu

Spontan, si ibu tak kuasa membendung air mata dan si kecilpun tersenyum indah bak purnama

Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah gontaiku, sementara beban hidup terus bergelayutan di pikiranku.

Setiba di sebuah tempat, seenaknya kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding sambil terus memikirkan rencanaku menjual rumah. Dalam posisi seperti itu tiba-tiba Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku

“Hei Abu Muhammad...! Kenapa kau duduk duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu ?”

“Subhanallah...! Dari mana datangnya ?”

“Tadi ada pria datang dari Khurasan. Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapapun yang punya hubungan kerabat dengannya. Dia membawa banyak angkutan barang penuh berisi harta !”

“Terus ?”

“Dia itu dulu saudagar kaya di Bashroh ini. Kawan ayahmu. Ayahmu pernah menitipkan kepadanya harta yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun. Lantas dia rugi besar dan bangkrut. Semua hartanya musnah termasuk harta ayahmu

Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan. Di sana kondisi ekonominya berangsur-angsur membaik. Bisnisnya melejit sukses. Kesulitan hidupnya perlahan lahan pergi, Berganti dengan limpahan kekayaan

Lantas dia kembali ke kota ini, Ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu

Maka sekarang dia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berbisnis. Dia ingin berikan semuanya kepadamu, Berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya.”

Ahmad bin Miskin melanjutkan ceritanya :

“Kalimat puji dan syukur kepada Allah berdesakan meluncur dari lisanku. Sebagai bentuk syukur segera kucari wanita faqir dan anaknya tadi. Aku menyantuni dan menanggung biaya hidup mereka seumur hidup

Aku pun terjun di dunia bisnis seraya menyibukkan diri dengan kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal salih. Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa berkurang

Tanpa sadar, Aku merasa takjub dengan amal salihku. Aku merasa telah mengukir lembaran catatan malaikat dengan hiasan amal kebaikan. Ada semacam harapan pasti dalam diri bahwa namaku mungkin telah tertulis di sisi Allah dalam daftar orang orang shalih

Lalu pada suatu malam aku tidur dan bermimpi. Aku lihat diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat. Aku juga lihat manusia bagaikan ombak, bertumpuk dan berbenturan satu sama lain

Aku juga lihat badan mereka membesar. Dosa-dosa pada hari itu berwujud serta berupa, dan setiap orang memanggul dosa-dosa itu masing-masing di punggungnya

Bahkan aku melihat ada seorang pendosa yang memanggul di punggungnya beban besar seukuran kota Basrah, isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan

Kemudian timbangan amal pun ditegakkan, lalu tiba giliranku untuk perhitungan amal

Seluruh amal burukku ditaruh di salah satu sisi timbangan, sedangkan amal baikku di sisi timbangan yang lain. Ternyata...

Amal burukku jauh lebih berat daripada amal baikku... !

Tapi perhitungan belum selesai. Mereka mulai menaruh satu persatu berbagai jenis amal baik yang pernah kulakukan

Namun alangkah ruginya aku. Ternyata di balik semua amal itu terdapat NAFSU TERSEMBUNYI. Nafsu tersembunyi itu adalah riya, ingin dipuji, merasa bangga dengan amal shalih. Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, Tidak satupun amalku yang lepas dari nafsu-nafsu itu

Aku putus asa

Aku yakin aku akan binasa
Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari siksa neraka

Tiba-tiba aku mendengar suara “Masihkah orang ini punya amal baik ?”

“Masih...”, Jawab suara lain. “Masih tersisa ini.”

Aku penasaran, Amal baik apa gerangan yang masih tersisa ? Aku berusaha melihatnya

Ternyata... Itu HANYA dua lembar roti isi manisan yang pernah kusedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya

Habis sudah harapanku...
Sekarang aku benar benar yakin akan binasa sejadi-jadinya

Bagaimana mungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku, Sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah (100 dinar =  425 gram emas = Rp 250 juta) dan itu tidak berguna sedikit pun. Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan

Segera dua lembar roti itu ditaruh di timbanganku. Tapi tak kusangka, Timbangan kebaikanku bergerak turun sedikit demi sedikit dan terus bergerak turun sampai-sampai lebih berat sedikit dibandingkan timbangan kejelekanku

Tak sampai di situ, masih ada lagi amal baikku yaitu air mata wanita fakir itu yang mengalir saat aku berikan sedekah. Air mata tak terbendung yang mengalir kala terenyuh akan kebaikanku yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya dibanding keluargaku

Sungguh tak terbayang, saat air mata itu ditaruh timbangan baikku semakin turun dan terus memberat. Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata

“Orang ini selamat dari siksa neraka !”

By : Ust. Abu Umar Abdillah
Diambil dari cerita seorang teman di google+

Sumber gambar :
http://pad1.whstatic.com/images/thumb/f/f3/Make-Melba-Toast-Step-2-Version-2.jpg/728px-Make-Melba-Toast-Step-2-Version-2.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar