15 Desember 2014

Soeharto, Presiden RI Kedua

Soeharto merupakan sosok pemimpin negara yang berasal dari desa. Selama  32 tahun memimpin Indonesia, beliau tak pernah melupakan latar belakangnya sebagai anak petani. Oleh karena itu, ia selalu memperhatikan nasib dan kesejahteraan petani. 
Pembentukan watak Soeharto ditempa oleh keprihatinan hidup dan pendidikan keluarga. Ia adakag seorang negarawan dan nasionalis yang religius, memahami dan menghayati ajaran agamanya, serta filosofi hidup Jawa, Ojo kagetan, ojo gumun, dan ojo dumeh (jangan kaget, jangan heran, dan jangan mentang-mentang) merupakan pegangan hidupnya, ia tetap tegak menghadapi cobaan seberat apa pun.

Suatu hari, Soeharto kecil yang bertelanjang dada berlari sembari melompat lantara gembira dipanggil oleh mbah buyutnya (kakek) yang bekerja sebagai tukang jahit. Mbah buyutnya ingin mengepas baju baru untuk Soeharto kecil. Ia merasa sangat gembira saat memakai baju itu, namun Notosudiro, kakek dari ibunya, meminta Soeharto untuk memanggil Mas Darsono. Soeharto kembali berlari, lalu memanggil kakak sepupunya.

Dalam sekejap, Darsono sudah berdiri di depan Notosudiro, lantas disuruh mencoba baju yang tadi dikenakan Soeharto. Kemudian Soeharto melepas baju itu, lalu diserahkan kepada Darsono. Ternyata baju itu pas. Baju itu memang untuk Darsono. Suharto pun merasa sedih sekali. Saat itu, Soeharto hanya mengenakan celana. Ia merasa mbahnya lebih sayang kepada Darsono, anak orang berada. Kenangan getir masa ini dituturkan kembali oleh Pak Harto dalam outobiografinya yang berjudul Soeharto; Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.  Saat buku itu terbit (tahun 1998), Pak Harto sudah 21 tahun menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. 

Soeharto, anak ketiga Kertosudiro dari Sukirah, istri yang dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro, petugas pengatur air desa (ulu-ulu), memperoleh dua orang anak. Ia bertani hanya di sawah lungguh, tanah jabatan. Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak berlangsung lama, mereka bercerai tak lama setelah Soeharto lahir. Ibu Sukirah yang menjanda, akhirnya menikah lagi dengan Pramono, dan melahirkan tujuh orang anak, anak kedua Ibu Sukirah diberinama Probosutejo. Dan ayah Soeharto juga menikah lagi, dan memperoleh empat anak dari istrinya yang ketiga. 

Usia Soeharto kecil, belum genap 40 hari tahkala ia dibawa ke rumah Mbah Kromo, lantaran ibunya sakit dan tak bias menyusui. Mbah Kromolah yang mengajarinya berdiri dan berjalan. Bersama Mbahnya Soeharto sering diajak ke sawah. Soeharto masuk sekolah tahkala berusia delapan tahun tetapi beliau sering jadi murid baru. Semula ia disekolahkan di (Sekolah Rendah, sekarang setingkat Sekolah dasar) SR Puluhan, SR Godean, lalu ia pindah lagi ke SR Pedes lantaran ibu dan suami barunya, Pak Pramono, pindah rumak ke Kemusuk Kidul. Namun Pak Ketosudiro (ayah kandungnya) memindahkan Soeharto ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan ke rumah bibinya, seorang mantra tani. 

Soeharo disekolahkan oleh paman dan bibinya. Ia menyukai semua pelajaran, terutama matematika. Selain itu ia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat, karena keluarga bibinya terbilang taat beribadah. Setaman sekolah rendah, selama empat tahun Soeharto dimasukkan oleh orangtuanya ke Sekolah Lanjutan Rendah (schakel school) di Wonogiri. Ia pun tinggal di rumah kakak perempuannya, istri seorang pegawai pertanian. 

Rumah tangga kakaknya retak, sehingga Soeharto terpaksa pindah dan tinggal di Wonogiri, rumah Hardjowijono, teman ayahnya, pensiunan pegawai kereta api. Soeharto suka membantu pekerjaan rumah tangga di rumah tersebutm namun tak sedikit pun ia mengeluh. Di Wonogiri, Soeharto tidak bias melanjutkan sekolah karena tidak punya sepatu dan celana pendek. Sebagai solusinya beliau kembali ke kampung halamannya Kemusuk, beliau masuk di sekolah Muhammadiyah, di sana ia boleh mengenakan sarung tanpa sepatu. Perjalanan dari rumah ke sekolah dan sebaliknya ia tempuh dengan mengayuh sepeda butut. 

Setamat SMP Muhammadiyah, Soeharto tidak bias melanjutkan sekolah, karena ayahnya tidak punya biaya. Ia masih mengingat pesan ayahnya waktu itu: “Nak, tak lebih dari ini yang dapat kulakukan untuk melanjutkan sekolahmu. Sebaiknya, kamu mencari pekerjaan. Kalau sudah dapat pekerjaan, insya Allah kamu bisa melanjutkan sekolahmu dengan uangmu sendiri.”   

Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan, namun tidak berhasil. Ia lalu memutuskan kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana ia bekerja sebagai pembantu sekretaris di sebuah bank. Tak lama kemudian ia berhenti, dan menganggur. Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota KNIL, tentara kerajaan Belanda. Ia pun mendaftarkan diri, lulus dan diterima di sana, tetapi hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan. Namun, karir militernya dimulai dari sana. 

Suatu hari, datanglah keluarga Prawiro, mereka bermaksud menjodohkan Soeharto (26 tahun) dengan Siti Hartinah (24 tahun). Kemudian dilangsungkanlah upacara nontoni, pertemuan antara si pelamar dan yang dilamar. Pernikahan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Mereka dikaruniai enam orang anak. Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Triatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsing. Di kemiliteran Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan battalion berpangkat letnan kolonel. Pangkatnya tertahan lama hingga Pak Harto meminta izin kepada Ibu Tien untuk berhenti saja dari tentara dan menjadi supir taksi saja.

Pada 1 Oktober 1965, meletuslah G-30-S/PKI Pak Harto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Panglima Angkatan Darat, Jendral Soeharto ditunjuk sebagai Pangkobkamtib oleh Presiden Soekarno. Pada tanggal 11 Maret 1966, Jendral Soeharto menerima Supersemar, tugas beliau aalah mengembalikan keamanan dan ketertiban. Karena situasi keamanan yang memburuk, Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret 1967 menunjuk Pak harto sebagai Pejabat Presiden, yang dikukuhkan selaku Presiden RI kedua, pada bulan Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari 4 dasawarsa. Tahun 1998 terjadi kekacauan politik. Rakyat meminta Pak Harto mundur sebagai Presiden. Akhirnya pada 21 Mei 1998, pak Harto memutuskan diri lengser keprabon, ia mundur dari jabatannya sebagai presiden. Pada hari Minggu, 27 Januari 2008, beliau meninggal dunia, dan dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah.         


Referensi :
https://www.pinterest.com/pin/360991726351865576/
Miskin Tapi Sukses Sekolah /Kuliah, Nirsina Lubis, divapress-online.com, Juni 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar