Soeharto merupakan sosok pemimpin
negara yang berasal dari desa. Selama 32
tahun memimpin Indonesia, beliau tak pernah melupakan latar belakangnya sebagai
anak petani. Oleh karena itu, ia selalu memperhatikan nasib dan kesejahteraan
petani.
Pembentukan watak Soeharto
ditempa oleh keprihatinan hidup dan pendidikan keluarga. Ia adakag seorang
negarawan dan nasionalis yang religius, memahami dan menghayati ajaran
agamanya, serta filosofi hidup Jawa, Ojo
kagetan, ojo gumun, dan ojo dumeh (jangan kaget, jangan heran, dan jangan
mentang-mentang) merupakan pegangan hidupnya, ia tetap tegak menghadapi cobaan
seberat apa pun.
Suatu hari, Soeharto kecil yang
bertelanjang dada berlari sembari melompat lantara gembira dipanggil oleh mbah
buyutnya (kakek) yang bekerja sebagai tukang jahit. Mbah buyutnya ingin
mengepas baju baru untuk Soeharto kecil. Ia merasa sangat gembira saat memakai
baju itu, namun Notosudiro, kakek dari ibunya, meminta Soeharto untuk memanggil
Mas Darsono. Soeharto kembali berlari, lalu memanggil kakak sepupunya.
Dalam sekejap, Darsono sudah
berdiri di depan Notosudiro, lantas disuruh mencoba baju yang tadi dikenakan
Soeharto. Kemudian Soeharto melepas baju itu, lalu diserahkan kepada Darsono.
Ternyata baju itu pas. Baju itu memang untuk Darsono. Suharto pun merasa sedih
sekali. Saat itu, Soeharto hanya mengenakan celana. Ia merasa mbahnya lebih
sayang kepada Darsono, anak orang berada. Kenangan getir masa ini dituturkan
kembali oleh Pak Harto dalam outobiografinya yang berjudul Soeharto; Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Saat buku itu terbit (tahun 1998), Pak Harto
sudah 21 tahun menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Soeharto, anak ketiga Kertosudiro
dari Sukirah, istri yang dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri
pertama, Kertosudiro, petugas pengatur air desa (ulu-ulu), memperoleh dua orang
anak. Ia bertani hanya di sawah lungguh, tanah jabatan. Perkawinan Kertosudiro
dan Sukirah tidak berlangsung lama, mereka bercerai tak lama setelah Soeharto
lahir. Ibu Sukirah yang menjanda, akhirnya menikah lagi dengan Pramono, dan
melahirkan tujuh orang anak, anak kedua Ibu Sukirah diberinama Probosutejo. Dan
ayah Soeharto juga menikah lagi, dan memperoleh empat anak dari istrinya yang
ketiga.
Usia Soeharto kecil, belum genap
40 hari tahkala ia dibawa ke rumah Mbah Kromo, lantaran ibunya sakit dan tak
bias menyusui. Mbah Kromolah yang mengajarinya berdiri dan berjalan. Bersama
Mbahnya Soeharto sering diajak ke sawah. Soeharto masuk sekolah tahkala berusia
delapan tahun tetapi beliau sering jadi murid baru. Semula ia disekolahkan di (Sekolah
Rendah, sekarang setingkat Sekolah dasar) SR Puluhan, SR Godean, lalu ia pindah
lagi ke SR Pedes lantaran ibu dan suami barunya, Pak Pramono, pindah rumak ke
Kemusuk Kidul. Namun Pak Ketosudiro (ayah kandungnya) memindahkan Soeharto ke
Wuryantoro. Soeharto dititipkan ke rumah bibinya, seorang mantra tani.
Soeharo disekolahkan oleh paman
dan bibinya. Ia menyukai semua pelajaran, terutama matematika. Selain itu ia
juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat, karena keluarga bibinya
terbilang taat beribadah. Setaman sekolah rendah, selama empat tahun Soeharto
dimasukkan oleh orangtuanya ke Sekolah Lanjutan Rendah (schakel school) di Wonogiri. Ia pun tinggal di rumah kakak
perempuannya, istri seorang pegawai pertanian.
Rumah tangga kakaknya retak,
sehingga Soeharto terpaksa pindah dan tinggal di Wonogiri, rumah Hardjowijono,
teman ayahnya, pensiunan pegawai kereta api. Soeharto suka membantu pekerjaan
rumah tangga di rumah tersebutm namun tak sedikit pun ia mengeluh. Di Wonogiri,
Soeharto tidak bias melanjutkan sekolah karena tidak punya sepatu dan celana
pendek. Sebagai solusinya beliau kembali ke kampung halamannya Kemusuk, beliau
masuk di sekolah Muhammadiyah, di sana ia boleh mengenakan sarung tanpa sepatu.
Perjalanan dari rumah ke sekolah dan sebaliknya ia tempuh dengan mengayuh
sepeda butut.
Setamat SMP Muhammadiyah,
Soeharto tidak bias melanjutkan sekolah, karena ayahnya tidak punya biaya. Ia masih
mengingat pesan ayahnya waktu itu: “Nak,
tak lebih dari ini yang dapat kulakukan untuk melanjutkan sekolahmu. Sebaiknya,
kamu mencari pekerjaan. Kalau sudah dapat pekerjaan, insya Allah kamu bisa
melanjutkan sekolahmu dengan uangmu sendiri.”
Soeharto pun berusaha mencari
pekerjaan, namun tidak berhasil. Ia lalu memutuskan kembali ke rumah bibinya di
Wuryantoro. Di sana ia bekerja sebagai pembantu sekretaris di sebuah bank. Tak
lama kemudian ia berhenti, dan menganggur. Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto
membaca pengumuman penerimaan anggota KNIL, tentara kerajaan Belanda. Ia pun
mendaftarkan diri, lulus dan diterima di sana, tetapi hanya sempat bertugas
tujuh hari dengan pangkat sersan. Namun, karir militernya dimulai dari sana.
Suatu hari, datanglah keluarga
Prawiro, mereka bermaksud menjodohkan Soeharto (26 tahun) dengan Siti Hartinah
(24 tahun). Kemudian dilangsungkanlah upacara nontoni, pertemuan antara si
pelamar dan yang dilamar. Pernikahan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah
dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Mereka dikaruniai enam orang anak.
Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Triatmodjo, Siti Hediati
Herijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsing. Di
kemiliteran Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, komandan
PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan battalion berpangkat
letnan kolonel. Pangkatnya tertahan lama hingga Pak Harto meminta izin kepada
Ibu Tien untuk berhenti saja dari tentara dan menjadi supir taksi saja.
Pada 1 Oktober 1965, meletuslah
G-30-S/PKI Pak Harto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan
sebagai Panglima Angkatan Darat, Jendral Soeharto ditunjuk sebagai
Pangkobkamtib oleh Presiden Soekarno. Pada tanggal 11 Maret 1966, Jendral
Soeharto menerima Supersemar, tugas beliau aalah mengembalikan keamanan dan
ketertiban. Karena situasi keamanan yang memburuk, Sidang Istimewa MPRS pada
bulan Maret 1967 menunjuk Pak harto sebagai Pejabat Presiden, yang dikukuhkan
selaku Presiden RI kedua, pada bulan Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih
dari 4 dasawarsa. Tahun 1998 terjadi kekacauan politik. Rakyat meminta Pak
Harto mundur sebagai Presiden. Akhirnya pada 21 Mei 1998, pak Harto memutuskan
diri lengser keprabon, ia mundur dari jabatannya sebagai presiden. Pada hari
Minggu, 27 Januari 2008, beliau meninggal dunia, dan dimakamkan di Astana Giri
Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Referensi :
https://www.pinterest.com/pin/360991726351865576/
Miskin Tapi Sukses Sekolah
/Kuliah, Nirsina Lubis, divapress-online.com, Juni 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar