Surat Keputusan (SK) Gubenur Jawa
Barat tentang Upah Minimum Kota (UMK) Bogor telah ditetapkan sebesar Rp
2.658.155. Jumlah tersebut tidak membuat puas kalangan buruh. Kamis 11/12/14,
200 orang dari kalangan buruh berdemo menyuarakan kekecewaannya di depan kantor
Balaikota Bogor. Buruh menuntut upah minimal Rp 3 juta.
Di sisi lain angka baru tersebut
dikeluhkan pengusaha. Kedua belah pihak sama-sama menolak. Pengusaha menganggap
angka tersebut terlalu besar, sedangkan buruh menyatakan bahwa angka tersebut
terlalu kecil. Di dunia kerja terutama di Kota Bogor, masih banyak pengusaha
yang membayar gaji buruhnya di bawah Rp 2 juta. Ketika BBM naik, ongkos
produksi bertambah, pengusaha dengan segera membebankan kenaikan tersebut
kepada konsumen lewat kenaikan harga, sementara buruh berakrobat (melakukan
pekerjaan tambahan) untuk menambal kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dasar
hidup layak.
UMK adalah penyambung hidup
buruh. Uang tersebut mereka gunakan untuk membayar kontrakan, membiayai sekolah
anak, membayar tagihan bulanan, dan untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari.
Jumlah UMK itu persis di garis kemiskinan. Berdasarkan liputan Dedy Corbuzier
bersama Azka (putra si mata wayangnya), Hitam Putih Kamis, 11/12/14, TransTV, pengamen
jalanan di Singapura, Opa Peter (60 tahun) saja pendapatan bersihnya sehari Rp
500 per hari. Jika si Opa 21 hari ngamen (dalam sebulan), ia bisa mendapatkan
uang Rp 10.500.000. Nasib buruh di Indonesia tidak sebaik pengamen di negeri
Singa.
Harapan buruh sederhana, jika
pemilik modal bisa jalan-jalan ke luar negeri, makan teratur 3 kali sehari,
setidaknya buruh bisa hidup layak. Lancar membayar biaya tagihan bulanan
(listrik dan air), selalu ada beras dan lauk pauk di rumah, dan bukan merupakan
kemewahan berekreasi jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor.
Jika teman-teman punya pendapat
yang berbeda, silahkan menuliskan dan menangapinya di kolom komentar.
Sumber gambar :
http://indonesiadalamsejarah.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar