Arswendo Atmowiloto, mantan
pemimpin redaksi tablod Monitor, ia pernah bercita-cita menjadi dokter, tetapi
ekonomi keluarga tak memungkinkan dirinya memasuki fakultas kedokteran.
Ayahnya
bekerja sebagai pegawai balaikota Surakarta, beliau meninggal ketika Arswendo
masih duduk di sekolah dasar. Ibunya meninggal tahun 1965. Ia menjadi anak
yatim piatu pada usia 17 tahun.
Ketiak Arswendo diterima di
Postel Bandung, yang berikatan dinas, setelah lulus SMA, anak ketiga dari enam
bersaudara ini tak bisa berangkat karena tak punya ongkos. Kalau pun ia sempat
kuliah di IKIP Negeri Solo (Sekarang Univrsitas Negeri Sebelas Maret), itu pun
dijalani dengan setengah hati. Wendo, demikian panggilannya, pernah bekerja
diberbagai tempat, mulai di pabrik bihun, tukang parker sepeda di apotik,
tukang pungut bola di lapangan tenis, dan lain sebagainya. Selanjutnya ia mulai
menulis dalam bahasa Jawa, cerita pendek, dan cerita bersambung, serta artikel
di media berbahasa Jawa pada tahun 1968. Mula-mula tulisannya selalu ditolak.
Tetapi setelah mengunakan nama Arswendo Atmowiloto, tulisannya pun
diterbitkan.
Wendo menjadi wartawan ketika di
Solo muncul harian berbahasa Jawa Dharma Kandha dan Dharma Nyata. Sambil bekerja
di media tersebut ia pun menjadi korenponden lepas majalah Tempo. Pada tahun
1972, ia pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai redaktur pelaksanan di majalah
humor Astaga. Majalah ini tak hidup lama. Dan ia pun menjadi wartawan di
kelompok Kompas-Gramedia. Di sini ia menjadi pemimpin redaksi majalah remaja Hai
dan tabloid hiburan Monitor.
Monitor yang melesat pamornya
dalam waktu singkat terjerat sebuah kasus. Dalam tabloid tersebut Arswendo
memuat jejak pendapat tentang tokoh-tokoh yang dikagumi, ia menempatkan Nabi
Muhammad saw. diurutan kesebelas. Ia diganjar lima tahun kurungan penjara.
Ekonomi keluarga pun terpuruk. Anaknya yang baru lulus sekolah dasar berjualan
sampul buku, sedangkan anaknya yang lebih tua berjualan kue.
Pribadinya yang santai dan senang
humor membuat Arswendo betah menjalani hidup di penjara. Sebagai contoh, ia
menghabiskan waktu di penjara dengan membuat tato di sandal jepit. Setelah
ditato, sandal yang semula berharga lima ratus, bisa dijual kembali dengan
haraga dua ribu. Dengan usaha itulah ia mempunyai tujuh ratus anak buah.
Tentunya ia tetap menulis. Tujuh novel yang ditulisnya di LP Cipinang antara
lain Kisah Para Ratib, Abal-abal, dan menghitung Hari. Ia juga menulis puluhan
artikel, tiga naskah scenario, dan bberapa cerita bersambung. Sebagian di
antaranya dikirim ke Kompas dan Suara pembaharuan dengan menggunakan nama pena.
Wendo, yang pernah mengikuti
program penulisan kreatf di Iowa, Amerika Serikat, pada tahun 1979, dikenal
juga sebagai pengamat televise. Wendo, pemilik rumah produksi PT
Atmochademas Persada, telah membuat sejumlah sinetron. Sinetron keluarga
Cemara memperoleh Panasonic Award pada tahun 2000 sebagai sinetron anak-anak
terfavorit. Ia juga menerima Piala Vidia sebanyak tiga kali untuk Pemahat
Borobudur, Menghitung Hari, dan Vonis Kepagian. Selain mnulis, Wendo pun sula
mendalang.
Referensi :
1. Miskin
Tapi Sukses Sekolah/Kuliah, Nisrina Lubis, Diva Press, Juni 2010.
2. http://www.eocommunity.com/Mesin-Ketik-Pertama-Arswendo-Atmowiloto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar