Sepulang dari kantor suamiku tadi siang,di angkot aku bertemu dengan seorang ibu tua renta, kumal dan sedikit (maaf) bau. Aku duduk persis di depan ibu itu. Beliau tersenyum padaku lalu aku membalas senyuman ibu itu dengan sama ramahnya.
Ibu itu meminta uang padaku, dengan cepat aku menyerahkan selembar uang lima ribu rupiah. Lalu kami berjabatan tangan. Sementara penumpang lainnya menutup hidung karena ibu itu memang bau.
"Dari mana neng?" tanya ibu itu.
"Dari kantor suami bu, abis nawarin dagangan kursi lipat", jawabku.
"Laku? tanya ibu itu lagi.
"Alhamdulilah bu, jawabku.
"Dari kantor suami bu, abis nawarin dagangan kursi lipat", jawabku.
"Laku? tanya ibu itu lagi.
"Alhamdulilah bu, jawabku.
Kami terlibat percakapan hangat selama perjalanan. Beliau bercerita tentang tingkah laku anak-anak dan cucunya yang lucu-lucu. Aku menyimak dengan seriusnya. Ada cahaya surga di mata ibu itu, cahaya surga yang dipunyai oleh seluruh ibu di dunia ini.Tak sedetik pun aku berpaling dari wajahnya.
Dalam hati aku mengatakan, siapapun yang ada di depanku ini harus aku hargai walaupun aku tak mengenalnya, walaupun dia kumal dan (maaf) bau! Bukankah di mata Allah kita semua adalah sama?
Belum habis kekagumanku pada sosok indah di depanku ini,aku harus turun dari angkot. Dengan sopan aku berpamitan sambil mencium tangan ibu itu. Sembari memberikan uang dua ribu kepada pak supir, aku menoleh ke arah ibu tadi, tapi...ibu itu sudah lenyap. Kemana ibu itu? Hilang dalam sekejap mata?
Aku shock, apakah ibu tadi hantu di siang bolong? Di angkot itu hanya aku yang melihat ibu itu, tetapi tidak penumpang lainnya. Aku menghela nafas panjang untuk menenangkan diri. Setelah turun dari angkot, aku duduk di pinggir trotoar memastikan kalau aku baik-baik saja.Aku gemetaran.
Siapa sebenarnya ibu itu? Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku. Entahlah...aku bingung, tak bisa menjawabnya. Lamunanku buyar, seorang pengamen dengan dandanan 'punk' menghampiriku, kemudian bertanya.
"Bu, apa ibu baik-baik saja? Ibu mau kemana? Ada yang bisa saya bantu bu?", tanya pengamen berdandan punk itu dengan nada khawatir.
Diberondong dengan banyak pertanyaan sekaligus , aku hanya memberikan senyum. Aku masih 'shock'. Anak punk itu duduk di sampingku. Akupun memulai percakapan.
"Siapa namamu, nak?" tanyaku untuk mencairkan suasana.
"Panggil saja Imam,bu." jawab anak itu lembut.
"Tinggal di mana?"tanyaku lagi dengan hati-hati.
"Di bumi ini , di kolong langit." jawabnya tegas.
"Panggil saja Imam,bu." jawab anak itu lembut.
"Tinggal di mana?"tanyaku lagi dengan hati-hati.
"Di bumi ini , di kolong langit." jawabnya tegas.
Hmm...aku pun tak bertanya lagi. Imam kemudian menceritakan tentang orangtuanya yang entah di mana sekarang, dia sudah berpisah dengan mereka sejak kanak-kanak. Usianya mungkin sekitar lima belas tahun.
Aku menyimak semua cerita Imam. Ini pertama kalinya aku 'ngobrol' di pinggir trotoar dengan anak 'punk'. Semua mata tertuju padaku.
"Imam sudah makan ,nak?", tanyaku lagi
"Sudah bu." jawab Imam.
Kutatap matanya, aku tahu dia pasti bohong. Akhirnya aku memberi dia uang sepuluh ribu rupiah.
"Terima kasih bu." sahut Imam.
"Sama-sama Imam" jawabku.
"Bu, saya mau nyanyi buat ibu, judulnya "Bunda", itu lho bu, lagunya Melly Goeslaw.
"Ibu nggak buru-buru kan?" ucap Imam memastikan.
"Boleh, ibu nggak buru-buru kok," jawabku.
Aku tersenyum sambil mendengarkan lagu yang dinyanyikan Imam.
Suaranya lumayan bagus. Aku terharu. Imam bernyanyi dengan sepenuh hati.
"Makasih ya Imam, suaramu bagus sekali." ujarku memuji.
"Sama-sama bu, lagu itu pengobat rindu Imam ke Ibu Imam, karena ibu Imam nggak ada, jadi lagu itu Imam persembahkan buat ibu, ujar Imam.
"Anggap aja ibu ini ibunya Imam." ujarku.
"Sama-sama bu, lagu itu pengobat rindu Imam ke Ibu Imam, karena ibu Imam nggak ada, jadi lagu itu Imam persembahkan buat ibu, ujar Imam.
"Anggap aja ibu ini ibunya Imam." ujarku.
Aku peluk Imam, seperti memeluk anakku sendiri "Makasih sayang, kamu hebat," seruku penuh rasa kagum. Imam kemudian mencium tanganku, air matanya membasahi punggung tanganku.Dengan penuh haru kami pun berpisah.
Tiba saatnya aku harus melanjutkan perjalanan pulang. Hari ini aku bertemu dengan dua orang yang "menakjubkan". Tuhan Maha Kreatif dalam menyampaikan pesan indahnya.
(Kisah ini kejadian nyata yang dialami istriku : Mona.
Kamis, 22 Juli 2010, kejadiannya di dalam angkot 01, dan seputaran Tugu Kujang, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar