24 Agustus 2009

Pendidikan Watak Lewat Pembiasaan

Jika anak Anda berlaku kasar terhadap pembantu, memanggil "nama" pembantu semau gue, berarti Anda adalah orangtua yang gagal.
Bagaimana seorang anak bisa jadi pribadi berwatak, yang secara naluriah menjalankan kebaikan dan menampik keburukan? Perlukah anak diberi pendidikan budi luhur di sekolah untuk menjadi pribadi berintegritas moral tinggi?

Tidak perlu. Itulah jawaban yang bisa dipetik dari buku terbaru Franz Magnis-Suseno berjudul "Menjadi Manusia, Belajar dari Aristoteles".

Menurut Magnis, yang lebih diperlukan untuk menghasilkan pribadi yang beretika adalah pembiasaan. Tapi Magnis mengingatkan orangtua bahwa dalam mempraktikkan pembiasaan itu, anak tak perlu dipaksa-paksa.


"Anak tak perlu dipaksa berlaku etis, tapi dibantu agar mereka merasa gembira saat berbuat baik dan sedih saat berbuat buruk," kata Magnis.

Inilah tragedi zaman yang penuh kelimbahan material bagi sebagian orang: di sekolah anak-anak diajari berbagai keutamaan hidup, menghormati orang lain, berlaku hemat, tapi di rumah mereka dibiarkan menyuruh pembantu rumah semau "gue", menyantap makanan berlebih dan membuangnya saat tak sanggup menghabiskannya.

Hegemoni kapitalisme memang tak bersahabat dengan keutamaan etis: pola hidup ugahari sudah terasa kuno. Yang dipeluk banyak orang adalah membeli dan membeli. Berbelanja berlebih disahkan bahkan didorong-dorong untuk menghidupkan pertumbuhan ekonomi.

Orang kecil yang menjadi pelayan di mal-mal akan ikut "sekarat" jika orang berduit tidak membeli lagi perkakas rumahnya yang sebetulnya masih mencukupi. Para pelayan dan satpam rumah-rumah makan mewah tak akan dapat upah jika semua orang berpola hidup ugahari dengan memasak sendiri makanan mereka.

Di zaman ini, ada nilai etisnya sendiri jika seseorang memanjakan perutnya dengan sekali makan bisa menghabiskan Rp300.000,- misalnya. Atau, jika seseorang meneguk anggur merah berkualitas seharga Rp200.000,- segelas, orang itu menghidupkan mata rantai ekonomi yang mendatangkan nafkah bagi banyak kaum pas-pasan.

Lantas bagaimana memecahkan perkara pola hidup ugahari bagi pendidikan watak anak-anak? Buku Magnis ini tak memberi jawab. Magnis cuma mengingatkan orangtua bahwa anak-anak tak perlu dikuliahi untuk berbuat baik tapi cukup diajak berlaku etis.

Buku ini cukup simpel dalam menemukan ukuran apakah seorang bisa dianggap berhasil atau gagal di bidang perilaku etik. Orang itu bisa disebut bermoral atau tak bermoral bergantung pada situasi batin tatkala berbuat baik atau jelek.

Kalau dia senang berbuat jelek dan berat hati berbuat baik, dia dimasukkan dalam kategori gagal moral. Sebaliknya, sukses moral terjadi ketika seseorang bahagia berbuat baik dan sedih berbuat jelek.

Agaknya, kategori itu bisa dijadikan pegangan untuk mendidik moral anak. "Reality show" yang banyak ditayangkan teve belakangan ini juga langsung atau tak langsung dapat membantu mengarahkan pemirsanya untuk merasakan bahwa berbuat etis itu membahagiakan.

Tentu saja, tayangan itu tak memadai untuk membangun watak etis anak-anak. Anak perlu pembiasaan. Bukan sekadar membiasakan menonton orang berbuat luhur seperti di "reality show" itu.

Yang hendak dikatakan oleh Magnis adalah: membiasakan anak berlaku etis akan sampai pada pendidikan terpenting bahwa anak-anak dituntun untuk menjadi bahagia karena berlaku etis.

Kebahagiaan, kata Magnis yang mendasarkan uraiannya pada pikiran Aristoteles, tak bisa dicari dengan memburu yang nikmat dan menghindari yang menyakitkan.

Kebahagiaan tak bisa diburu secara langsung. Kebahagiaan itu akibat dari tindakan, perbuatan nyata. Jika dikejar secara langsung. Kebahagiaan bisa mengelak.

Rupanya anak perlu sejak dini diajak merasakan beda antara nikmat dan bahagia. Anak perlu dibiasakan untuk merasakan nikmat luhur, yang artinya adalah nikmat yang didapat dari berbuat kebaikan. Tapi perlu ditunjukkan bahwa ada nikmat keji seperti nikmat yang diperoleh dengan mengadu jago, jengkerik, domba, mengurung burung dalam sangkar.

Beda dengan nikmat yang bisa dirasakan saat perbuatan itu dilakukan, bahagia itu lebih belakangan dan tak menghentak datangnya. Orang yang bahagia bisa merupakan pribadi apapun.

Tapi orang yang sedang menikmati tari perut, misalnya, hanya dirasakan oleh orang yang bisa mengakses hiburan asal kultur Mesir itu.

Bahagia bisa diakses oleh sufi miskin yang sebagian besar waktunya dihabiskan dengan zikir di rumah Allah, atau si zuhud yang tak kuasa menahan rindu bertemu kerajaan-Nya.

Kaum Trappist, yang menunya dari hari ke hari hanya kacang-kacangan, dan tak pernah mereguk sorga duniawi, pun merasa bahagia bahkan merasa heran bahwa ada pemburu kebahagiaan lewat kenikmatan duniawi.

Ada zaman ketika seorang filosof Epikurus diikuti banyak orang karena ajarannya yang memuja kenikmatan duniawi, yang melahirkan kultur hedonisme. Meski tak lagi menjadi arus utama, masih ada orang zaman sekarang yang menganut aliran bernikmat-nikmat keduniawian itu.

Apakah anak-anak akan termakan juga oleh Epikurus? Itulah yang agaknya menjadi tantangan pendidik saat ini dan nanti.

Sumber : Kompas, Jumat 21 Agustus 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar