12 Juli 2009

Ha-ha-ha, "Tak Gendong" Mbah Surip


Sejak bulan Mei 2009, lagu ”Tak Gendong” seperti menerobos dalam hamparan lagu mendayu-dayu yang umumnya dikumandangkan para anak band. Selain terdengar dalam ring back tone (RBT) ponsel, Mbah Surip—pencipta dan penyanyi lagu itu—hampir setiap hari muncul di televisi. Ia tidak lagi bebas ”menggelandang”, tetapi diatur jadwal promo dan show yang ketat. Bisa?


Saat tampil dalam siaran langsung Kamera Ria, Selasa (7/7) di TVRI Jakarta, misalnya, di antara para tentara dan pengisi acara lain, Mbah Surip menjadi idola baru. Di balik panggung, semua orang mengajaknya berfoto dan bahkan ingin mengobrol, tak terkecuali pelawak Tarzan dan Marwoto. Terserah mau berfoto atau ngobrol gara-gara ”Tak Gendong” atau merasa heran melihat penampilan Mbah Surip yang ”ganjil” dan suka ha-ha-ha itu.

”Mbah sekarang ini tinggal di mana?” tanya Tarzan.

”Ya, masih di Indonesia, ha-ha-ha...,” jawab Mbah Surip sambil terkekeh. Tarzan, yang biasanya tangkas bertukar dialog saat melawak, kali ini seperti mati angin. Ia cuma nyengir sembari menggaruk-garuk kepala.

Lelaki bernama asli Urip Ariyanto ini selalu tampil di depan publik dengan gaya ”kebesarannya”, rambut gimbal serta topi, baju, dan celana berwarna bendera Jamaika. Gaya ”rastafarian” ini memang mengacu pada gaya pemusik reggae Bob Marley. Banyak yang menafsir, ia pengikut Bob Marley yang mencintai kebebasan berekspresi. Tetapi, Mbah Surip menyangkal. ”Saya malah tidak tahu kalau musik yang saya mainkan itu namanya reggae, ha-ha-ha,” tuturnya.

Asal tahu, menurut pengakuan Mbah Surip, sejak dulu sampai sekarang, ia sedang belajar salah. ”Kalau belajar benar itu sudah biasa, saya sedang belajar salah....” Maka itu, sangat tidak mungkin mengejar kata ”belajar salah” pada Mbah Surip. Lelaki yang dulu menggelandang dalam arti sesungguhnya, antara Bulungan, Jakarta Selatan; Taman Ismail Marzuki (TIM); dan Pasar Seni Ancol, ini ibarat pasir pantai. Kalau kita menggalinya lebih dalam, tak lama kemudian air laut menutupinya.

Begini, misalnya. Dalam banyak kesempatan, Mbah Surip bercerita, ia pernah kuliah di Jurusan Kimia Universitas Petra, Surabaya. Dan, karena itu kemudian, katanya, ia bekerja pada pengeboran minyak di Amerika, Kanada, Jordania, Jepang, Filipina, dan Singapura. Bahkan, saat ke Jakarta tahun 1975 untuk ujian bekerja di pengeboran itu, ia juga sempat menonton konser Deep Purple.

”Apa di Petra itu ada jurusan Kimia?”

”Eh ndak, di Geologi kok, ha-ha-ha,” jawab Mbah Surip tertawa ringan. Saat berada di Amerika sekitar tahun 1986 itulah konon ia menciptakan lagu ”Tak Gendong”. ”Saya ada di bawah jembatan itu,” ujar Mbah Surip. Ia bermaksud mengatakan jembatan Golden Gate, San Francisco, yang terkenal itu. Mungkin? Bisa jadilah.... Tetapi, dengan ”Tak Gendong”, ia ingin mengatakan bahwa hakikatnya manusia itu selalu hidup bersama. ”Together...,” kata si Mbah.

Kepada media, Mbah Surip juga selalu mengatakan, ia lulusan master Filsafat, tetapi bergelar MBA dari sebuah universitas. He-he, sekali lagi tak pernah jelas universitas mana yang memberi gelar master Filsafat dengan master of business administration alias MBA itu.

Soal rambut gimbal itu, ia memiliki cerita beberapa versi. Versi pertama, ia sebutkan bahwa rambut itu dibuat dengan cara memilin dan memanaskannya pada pelat seng di atas kompor minyak tanah. Versi kedua, tahun 1998 saat ia shooting televisi untuk album perdananya, Ijo Royo-royo, para seniman Ancol mendandaninya supaya tampil beda. Rambutnya disiram cat lalu dipilin dan diikat dengan benang. Sampai kini memang rambutnya masih diikat benang wol.

Farid Wahyu DP, asisten yang selalu mengantar Mbah Surip ke berbagai acara, bercerita, rambut ”Simbah” selalu dicuci tiga hari sekali, ”Dengan sampo kucing.” Itu cerita ”ganjil” yang lain lagi... ha-ha-ha.

Meragukan

Baik. Taruh kata, banyak orang meragukan kebenaran cerita-cerita tadi lantaran selalu berubah setiap diceritakan ulang oleh Mbah Surip. Tetapi, bahwa kini ia berhasil menyita perhatian industri hiburan kita, tentu itu hal yang tak bisa disangkal.

Menurut Farid, sejak bulan Mei 2009, hari-hari Mbah Surip beredar dari panggung pertunjukan sampai televisi. Sabtu, misalnya, pagi hari Mbah Surip mengisi acara di stasiun ANTV dan siang hari terbang ke Bali untuk show di sebuah kafe. Hari ini, Minggu, ia menyanyi di panggung Depsos di Monas, Jakarta, lalu siang ke Kebun Buah Mekar Sari, ”Malamnya ada lagi, saya lupa...,” kata Farid. Hari mondar-mandir di Jakarta itu dijalani Mbah Surip bersama Farid dengan sepeda motor.

Kehidupan yang ketat dengan jadwal ini sekilas tampak bertolak belakang dengan kebiasaan Mbah Surip nongkrong di Bulungan atau Ancol sembari meneguk bergelas-gelas kopi hitam. ”Ndak ada bedanya. Saya biasa saja, ngalir, ini profesional...,” ujar Mbah Surip. Sesaat kemudian ia memanjangkan tubuhnya dan leyeh-leyeh di lantai lobi Auditorium TVRI Jakarta. ”Sik yo aku lue....” Maksudnya lapar.

Ayah empat anak dan kakek empat cucu yang lahir di ”Jerman” alias Jejer Kauman, Magersari, Mojokerto, Jawa Timur, ini mungkin selalu menjadi anomali di sekitar lingkungan ”gaulnya”. Selama bertahun-tahun, Mbah Surip beredar di Warung Apresiasi (Wapress) Bulungan, TIM, dan Pasar Seni Ancol sebagai orang ”merdeka”. Hidupnya suka-suka. ”Siapa yang dekat dengannya, dialah yang menghidupi,” tutur Beni, seorang wartawan dan seniman yang pernah dekat dengan Mbah Surip.

Sembari bergelandangan, di antaranya pernah jalan kaki dari Bulungan ke Ancol sembari memanggul gitar, Mbah Surip menciptakan lagu-lagu. ”Ada 200-an sudah...,” katanya. Sejak 1998, katanya, ia sudah melahirkan tujuh album, yaitu Ijo Royo-royo, Siti Maelan, Indonesia Satu, Bonek, Barang Baru, Bangun Tidur, dan Tak Gendong. ”Saya jualnya di depan toilet Ancol dan Blok M,” tutur Mbah Surip.

Apa pun katanya, Mbah Surip kini menjadi buah bibir lantaran lagu ”Tak Gendong” bisa terdengar saat Anda menelepon seseorang.... Tak gendong ke mana-mana.... ”I love you full,” selalu katanya kepada setiap orang. Mantep to.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar