25 Feb 2009
Tanpa Persiapan Naik Gunung Tidak Bermakna
BANYAK remaja sering mengisi waktu liburan dengan naik gunung. Namun, karena ketidak-tahuan, kegiatan fisik berat itu sering tidak disiapkan dengan baik.Padahal, mendaki gunung ditentukan oleh faktor ekstern dan intern, dan kebugaran fisik mutlak diperlukan.
Pendaki gunung legendaris asal Inggris, Sir George Leigh Mallory, kerap menjawab pendek pertanyaan mengapa ia begitu tergila-gila naik gunung. *Because
it is there, *ujarnya. Jawaban itu menggambarkan betapa luas pengalamannya mendaki gunung dan bertualang. Selain jawaban itu, masih banyak alasan
mengapa seseorang mendaki gunung atau menggeluti kegiatan petualangan lainnya.
Anggota-anggota Mapala Universitas Indonesia-kelompok pencinta alam tertua (bersama Wanadri Bandung) di Indonesia-contohnya. Mereka punya alasan lebih
panjang dari Mallory. Dalam halaman awal buku pegangan petualangan yang dimiliki seluruh anggotanya tertulis, Nasionalisme tidak dapat tumbuh dari slogan atau indoktrinasi. Cinta tanah air hanya tumbuh dari melihat langsung alam dan masyarakatnya. Untuk itulah kami naik gunung.
Yang jelas, tidak seorang petualang alam-komunitas di Indonesia lebih senang menggunakan istilah pencinta alam-melakukan kegiatan itu dengan alasan untuk
gagah-gagahan. Karena bukan untuk gagah-gagahan, maka sebaiknya tidak ada istilah modal nekad dalam mendaki gunung.
Bagaimanapun, gunung dengan rimba liarnya, tebing terjal, udara dingin,kencangnya angin yang membuat tulang ngilu, malam yang gelap dan kabut yang
pekat bukanlah habitat manusia modern. Bahaya yang dikandung alam itu akan menjadi semakin besar bila pendaki gunung tidak membekali diri dengan peralatan, kekuatan fisik, pengetahuan tentang alam, dan navigasi yang baik.
Tanpa persiapan yang baik, naik gunung tidak bermakna apa-apa. Secara umum, ada dua faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya pendakian gunung. Pertama, faktor ekstern atau faktor yang berasal dari luar diri
pendaki. Cuaca, kondisi alam, gas beracun yang dikandung gunung dan sebagainya yang merupakan sifat dan bagian alam. Karena itu, bahaya yang mungkin timbul seperti angin badai, pohon tumbang, letusan gunung atau
meruapnya gas beracun dikategorikan sebagai bahaya objektif (objective danger). Seringkali faktor itu berubah dengan cepat di luar dugaan manusia.
Tidak ada seorang pendaki pun yang dapat mengatur bahaya objektif itu. Namun dia dapat menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan itu. Diri pendaki,
segala persiapan, dan kemampuannya itulah yang menjadi faktor intern, faktor kedua yang berpengaruh pada sukses atau gagalnya mendaki gunung.
Bila pendaki tidak mempersiapkan pendakian, maka dia hanya memperbesar bahaya subyektif. Misalnya, bahaya kedinginan karena pendaki tidak membawa jaket tebal atau tenda untuk melawan dinginnya udara dan kencangnya angin.
Tidak bisa ditawar, mendaki gunung adalah kegiatan fisik berat. Karena itu, kebugaran fisik adalah hal mutlak. Untuk berjalan dan menarik badan dari
rintangan dahan atau batu, otot tungkai dan tangan harus kuat. Untuk menahan beban ransel, otot bahu harus kuat. Daya tahan (endurance) amat diperlukan
karena dibutuhkan perjalanan berjam-jam hingga hitungan hari untuk bisa tiba di puncak.
Bila tidak biasa berolahraga, calon pendaki sebaiknya melakukan jogging dua atau tiga kali seminggu, dilakukan dua hingga tiga minggu sebelum pendakian.
Mulailah jogging tanpa memaksa diri, misalnya cukup 30 menit dengan lari-lari santai.
Tingkatkan waktu dan kecepatan jogging secara bertahap pada kesempatan berikutnya. Bila kegiatan itu terasa membosankan, dapat diselingi dengan berenang. Dua olahraga itu sangat bermanfaat meningkatkan endurance dan kapasitas maksimum paru-paru menyedot oksigen (Volume O2 maximum/VO2 max).
Latihan push up, sit up, pull up sebaiknya juga dilakukan untuk memperkuat otot-otot.
Saking semangatnya, pendaki muda kerap kali ingin segera mencapai puncak,apalagi bila kegiatan itu dilakukan berkelompok. Persaingan untuk berjalan
paling cepat, paling depan, dan menjadi orang pertama memijak puncak,sebaiknya ditinggalkan.
Mendaki gunung yang baik justru melangkah perlahan dalam langkah-langkah kecil dan dalam irama tetap. Dengan berjalan seperti itu , pendaki dapat
mengatur napas, dan menggunakan tenaga seefisien mungkin. Bagaimanapun mendaki merupakan pekerjaan melelahkan. Selain itu, keindahan alam dan
kebersamaan dalam rombongan, sering menggoda pendaki untuk banyak berhenti dan beristirahat di tengah jalan. Bila dituruti terus, bukan tidak mungkin
pendakian malah gagal mencapai puncak. Karena itu, cobalah membuat target pendakian. Misalnya, harus berjalan nonstop selama satu jam, lalu istirahat
10 menit, kembali mendaki selama satu jam dan seterusnya. Lakukan hal ini hingga mencapai puncak atau hari telah sore untuk berkemah. Pada medan perjalanan yang landai, target waktu seperti itu dapat diganti dengan target tempat. Caranya, tentukanlah titik-titik target di peta sebagai titik beristirahat.
Buatlah jadwal rencana kegiatan sehingga waktu yang tersedia digunakan seefektif mungkin dalam bergiat di alam. Jadwal itu memungkinkan pendaki menghitung berapa banyak makanan, pakaian, peralatan harus dibawa, dan dana yang harus disiapkan. Jadwal itu antara lain mencakup keberangkatan, jadwal dan rute pendakian, kapan tiba di puncak, jadwal dan rute pulang, dan
seterusnya. Jadwal pendakian perhari dapat lebih dirinci dengan berapa jam jatah pendakian, pukul berapa dimulai dan kapan berhenti serta seterusnya.
Untuk menghindari beban bawaan terlalu berat, hindari membawa barang-barang yang tidak perlu. Misalnya, cukup membawa baju dan celana tiga atau empat stel meski pendakian memerlukan waktu cukup lama. Satu stel pakaian dikenakan saat berangkat dari rumah hingga kaki gunung dan saat pulang. Satu stel sebagai baju lapangan saat mendaki. Satu stel yang lain sebagai baju
kering yang digunakan saat berkemah. Rain coat dan payung dapat dicoret dari barang bawaan bila telah membawa ponco. Bila telah membawa lilin, cukup
membawa batu batere seperlunya untuk menyalakan senter dalam keadaan darurat. Piring dapat ditinggal di rumah karena wadah makanan dapat menggunakan rantang memasak atau cangkir.
Bila barang perlengkapan telah terkumpul, masukkan semua ke dalam ransel. Jangan biarkan ada sejumlah barang seperti cangkir atau sandal diikat di lua
ransel. Selain tidak sedap dipandang, risiko hilang selama pendakian, amat besar. Meski demikian, ada beberapa barang yang ditolerir bila ditaruh di
luar ransel dan diikat dengan tali webbing ransel. Misalnya, matras karet dan tiang tenda. Namun, yakinkan, semua telah diikat dengan kencang.
Menaruh barang di dalam ransel amat berbeda dengan cara memasukkan buku-buku pelajaran dalam daypack (ransel kecil yang biasa digunakan ke sekolah).
Buku pelajaran, baju praktikum, kalkulator dapat kita cemplungkan begitu saja ke dalam daypack. Sebaliknya, barang-barang pendakian harus dimasukkan dalam ransel dengan aturan tertentu sehingga mengurangi rasa sakit saat memanggul dan menghindari ruang kosong dalam ransel.
Prinsip pengepakan barang dalam ransel.
1. Letakkan barang ringan di bagian bawah dan barang berat di bagian atas.
2. Barang-barang yang diperlukan paling akhir (misalnya peralatan kemping dan tidur), ditaruh di bagian bawah dan barang yang sering dikeluar-masukkan(seperti jaket, jas hujan, botol air) di bagian atas.
3. Jangan biarkan ada ruang kosong dalam ransel. Contoh, manfaatkan bagian dalam panci sebagai tempat menyimpan beras.
Untuk itu, langkah pertama mengepak perlengkapan pendakian adalah mengelompokkan barang menurut jenis,
seperti:
a. pakaian dan kantung tidur,
b. alat memasak,
c. tenda,
d. makanan.
Bungkus kelompok-kelompok barang itu dalam kantong-kantong plastik agar mudah dicari.
Sebagian besar pendaki menganggap, mengepak barang merupakan seni tersendiri dan kerap mengasyikkan.
Sumber: http://kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar