24 Februari 2009

The Rape of Nanking

25 Feb 2009
The Rape of Nanking

Nanjing Massacre alias Pembantaian Nanjing. Peristiwa pahit yang terjadi selama enam minggu sejak 13 Desember 1937 itu masih dikenang warga Nanjing dan warga China sebagai peristiwa pembantaian oleh serdadu Jepang saat Negeri Matahari Terbit itu menduduki China.

Pemerintah China mengklaim 300.000 warga tewas dalam pembantaian tersebut. Untuk mengenang para korban akibat kekejaman serdadu Jepang itu, Pemerintah China membangun monumen kenangan di Kota Nanjing, Memorial Hall of Nanjing Massacre.

Sudah hampir 71 tahun peristiwa itu berlalu, tetapi warga Nanjing belum sepenuhnya dapat melupakan kejadian tersebut. Dan memang, Pembantaian Nanjing bukan untuk dilupakan. Anak-anak sekolah di China sejak dini diajak ke monumen Pembantaian Nanjing agar mereka sejak kecil sudah diingatkan akan peristiwa ini. Ketika Kompas mengunjungi Memorial Hall of Nanjing Massacre, awal November lalu, museum itu ramai dikunjungi warga China. Di sana, semua data dan deskripsi peristiwa ini tergambar dengan sangat jelas. Bahkan, ada contoh bagaimana korban-korban tewas di dalam rumahnya.

Pembantaian Nanjing adalah bukti nyata kebrutalan serdadu Jepang selama masa Perang Dunia II. Ribuan warga sipil tak bersenjata dan tentara China yang terluka, yang ditangkap, ditembak dengan senjata mesin dan dibunuh dengan bayonet. Mayat-mayat bergelimpangan di tepi Sungai Qinhuai dan Sungai Yantze yang membelah Kota Nanjing. Kota Nanjing berubah menjadi kota penuh darah dan ketakutan. Tak ada tempat bagi warga kota untuk berlindung. Bukan itu saja. Yang mengerikan adalah ribuan perempuan China menjadi korban pemerkosaan oleh tentara Jepang.

Peristiwa ini memberi inspirasi bagi Iris Chang, perempuan Amerika keturunan China, untuk menulis buku berjudul The Rape of Nanking-The Forgotten Holocaust of World War II. Data-data yang terungkap dalam buku itu, termasuk data tentang neneknya yang menjadi korban, mengejutkan dunia Barat. Namun, Iris Chang setelah itu mendapat ancaman dan teror dari kaum sayap kanan Jepang, yang menolak peristiwa Nanjing. Tidak tahan dengan teror dan ancaman itu, Iris Chang akhirnya ditemukan tewas, diduga akibat mengalami depresi. Namun, bukunya, The Rape of Nanking, mengalami cetak ulang dan menjadi best seller.
Salah satu korban pembantaian Nanjing, Li Xiuling, seperti dikutip Newsweek (20/7/1998), mengungkapkan kemarahannya kepada Jepang. ”Saya benci Jepang begitu dalam,” kata Liu Xiuling, yang saat peristiwa terjadi sedang hamil tujuh bulan. Tiga serdadu Jepang menikamnya 37 kali saat itu. Bayi yang dikandungnya tewas, tetapi Li selamat.

Komentar generasi muda

Bagaimana hubungan China dan Jepang sekarang setelah 71 tahun berlalu? Untuk generasi China yang lebih muda seperti Wan Xilin (42), editor surat kabar Shanghai Daily, peristiwa Nanjing masih diingat untuk generasi yang lebih muda berusia 20-an, peristiwa itu mungkin mulai terlupakan. ”Saat ini banyak generasi muda China lebih peduli pada kebudayaan pop, tetapi belum melupakan peristiwa itu,” kata Wan Xilin kepada Kompas.

Takeshi Kokubu, editor The Nishinippon Shimbun, surat kabar berbahasa Jepang terbesar di Pulau Kyushu, mengakui peristiwa itu, tetapi agak ragu dengan jumlah 300.000 korban tewas. Namun, Toshi Noda, Direktur UN HABITAT Kawasan Asia Pasifik yang berkantor di Fukuoka, Jepang, mengatakan, sebagai orang Jepang, dia mengakui peristiwa itu benar adanya. ”Peristiwa itu tidak akan terulang lagi karena militer Jepang diawasi kaum sipil,” kata Noda yang ditemui di Nanjing.

Adapun Mariko Toyofoku (30), perempuan Jepang yang bekerja di Nanjing, mengaku tidak terlalu paham dengan peristiwa itu. ”Saya hanya tahu samar-samar. Saya belum pernah datang ke monumen Pembantaian Nanjing,” kata Mariko.

Bagi sebagian masyarakat Nanjing, terutama generasi tua, Pembantaian Nanjing adalah peristiwa pahit yang tak mungkin bisa dilupakan begitu saja. Namun justru di Nanjing investor Jepang menanamkan investasinya, setidaknya dalam mal gaya hidup, Nanjing Aqua City yang merupakan kembaran Fukuoka Canal City. Investor Jepang juga bermitra dengan pengusaha Nanjing, membangun kembali Hotel Holiday Inn.
Pembantaian Nanjing telah 71 tahun berlalu. Sejarah masa lalu yang kelam itu sempat membuat hubungan Jepang dan China terganggu. Namun melalui monumen Pembantaian Nanjing yang menonjolkan angka 300.000 korban tewas, Pemerintah China ingin mengingatkan bahwa perang hanya menyisakan kesedihan mendalam.

Peristiwa itu memberi hikmah: agar tidak ditindas bangsa lain, seperti saat ditindas Jepang pada masa lalu, China harus menjadi bangsa yang kuat. China bertekad mengalahkan Jepang dalam perdagangan barang-barang elektronika dan menguasai pasar ekonomi dunia. Dengan cara seperti itulah, China memulihkan dan mengangkat harga diri bangsa.

Sumber: http://kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar