Pemalas berjodoh dgn kebodohan dan kemiskinan |
Kiki adalah anak perempuan yang
malas. Selain malas belajar, ia juga malas membantu ibunya mengerjakan
pekerjaan rumah. Kegiatannya sepulang sekolah hanya main saja.
“Kiki, bisakah kamu membantu Ibu
membersihkan rumah? Ibu sedang memasak untuk makan malam,” kata ibunya saat
Kiki pulang ke rumah setelah bermain dengan teman-temannya.
“Tidak mau ah, Kiki capek!” ujar
Kiki dengan wajah cemberut.
“Kerjamu cuma main saja, mana
pernah kamu mau membantu ibu, padahal ibu sedang repot sekali,” ibunya jadi
kesal.
Tapi Kiki tidak mau tahu, ia
hanya duduk diam sambil cemberut, tidak peduli betapa repotnya ibunya waktu
itu. Memang dasar Kiki anak pemalas, ia lebih suka duduk berpangku tangan di
teras daripada membantu ibunya.
“Benarkah kamu yang bernama
Kiki?” tanyanya.
“I…iya,” jawab Kiki gugup karena
baru pertama kali bertemu.
“Aku Kakak Penunjuk, aku datang
kemari untuk mengajakmu pergi ke suatu tempat dan menunjukkan sesuatu
kepadamu.”
“Tapi Kakak mau bawa aku ke
mana?”
“Nanti kamu juga tahu sendiri,”
kata gadis cantik itu sambil tersenyum.
Kakak Penunjuk kelihatannya baik
hati, wajahnya pun tampak ramah dan berseri-seri, jadi Kiki mau-mau saja
diajaknya pergi.
Setelah Kakak Penunjuk menekan
sebuah tombol pada gelang emasnya, ia dan Kiki kemudian menghilang entah ke
mana.
Dalam, sekejap mata, mereka
berada di depan sebuah rumah. Dari depan, rumah itu tampak kacau. Memang benar,
rumah itu kelihatan tak terurus, ilalang dan rumputnya panjang-panjang seperti
tak pernah dipangkas. Ayam-ayam berkeliaran sembarangan dan kotorannya tercecer
di mana-mana, sampai-sampai Kiki menutup hidung karena tak tahan bau kotoran
ayam.
“Selain berantakan, rumah ini
juga bau, hiiy….,” batin Kiki.
Kakak Penunjuk membawa Kiki masuk
ke dalam rumah dan tampaklah seorang ibu yang penampilannya sangat jorok.
Rambutnya berantakan, pakaiannya kotor dan baunya tidak sedap.
Setiap ibu itu mencuci piring,
ada saja piring yang pecah. Menyapu pun juga tidak bisa bersih. Lalu tampaklah
seorang anak kecil ingusan yang mendatangi ibu itu.
“Ibu, aku mau makan… aku
lapar….,” rengeknya.
“Ibu belum masak, sekarang ibu
sedang repot mencuci baju. Bagaimana kalau kau memasak sendiri untuk makan.
Kamu bisa menggoreng telur sendiri kan/?”
“Tidak mau! Aku capek, lapar
sekali rasanya sepulang bermain. Mana aku punya tenaga untuk membantu ibu?”
gerutu si anak.
Pekerjaan mencuci baju belum
selesai, sang ibu harus memasak karena anaknya sudah kelaparan. Waktu memasak,
ia lupa mematikan keran air tempat mencuci baju hingga tempat cucinya banjir.
Airnya mengalir ke mana-mana karena saluran airnya tersumbat.
“Oh, apa yang terjadi?” ibu itu
terkejut saat melihat air mengalir ke dapur. Ia cepat-cepat mematikan keran air
yang lupa dimatikannya tadi. Kemudian sibuk memindahkan air banjir ke dalam
ember untuk dibuang ke got.
“Oh, telurku!” teriak ibu itu
saat mencium bau gosong dari arah dapur. Agaknya karena terlalu sibuk
memindahkan air, ia lupa kalau sedang menggoreng telur, jadi telurnya gosong.
Akhirnya ibu itu menangis
tersedu-sedu di sebuah kursi karena kelelahan. Semua hasil kerjanya sia-sia,
padahal tampaknya ia sudah berusaha keras. Lalu ia melihat ke arah Kiki dan
Kakak Penunjuk. Tampaknya ibu itu baru menyadari kehadiran mereka berdua karena
sejak tadi ia sibuk sendiri.
“Mengapa ibu menangis?” Tanya
Kiki pada ibu yang berantakan itu.
“Ini semua salahku. Saat aku
masih kecil, aku adalah anak pemalas. Aku tidak pernah mau membantu Ibu, jadi
aku tidak tahu cara mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik,” jawab sang ibu
penuh penyesalan.
“Setelah menikah pun aku tetap
tak bisa mengurus rumah. Hingga suamiku pergi meninggalkanku karena tak betah
tinggal di rumah. Selain itu aku juga memiliki anak yang pemalas seperti aku
sewaktu kecil. Ini adalah balasan untukku, karena tidak pernah mau membantu Ibu
dan selalu membuatnya susah sendirian,” tambahnya sambil menangis.
Kiki mendengar kata-kata ibu itu
dengan perasaan sedih. Kakak Penunjuk lalu membawa Kiki keluar dari rumah itu.
“Tahukah kau, ibu yang menangis
tadi adalah kamu di masa depan, Kiki,” ujar Kakak Penunjuk yang membuat Kiki
terkejut.
“Aku tidak mau jadi seperti itu,
aku tidak mau, tidak mau!!!” teriak Kiki, ia menangis tersedu-sedu.
“Bukankah kau yang sekarang tak
ubahnya dengan ibu itu semasa kecil? Bukankah kau anak pemalas yang tak pernah
mau membantu ibumu dan tak suka belajar mengerjakan pekerjaan rumah, Kiki?”
ujar Kakak Penunjuk dengan raut muka serius. Membuat Kiki menangis semakin
keras.
“Iya, itu memang benar. Tapi aku
tidak mau bernasib sama dengan ibu tadi di masa depan,” ujar Kiki terisak-isak.
“Kau benar-benar tak ingin
menjadi seperti ibu yang malang
tadi?”
“Iya Kak… iya….”
“Bisa saja, asal kau mau mengubah
dirimu mulai dari sekarang. Kau harus mau membantu ibumu dan belajar
mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, merapikan ruangan, cuci
piring dan masih banyak lagi. Nah, apakah kau mau melakukannya, Kiki?”
“Iya, aku mau,” jawab Kiki tanpa
ragu.
“Bagus. Aku jamin, jika kamu mau
menuruti apa kataku, kamu tidak akan bernasib sama dengan ibu tadi,” ujar Kakak
Penunjuk lembut.
Kakak Penunjuk lalu menekan
tombol pada gelang emasnya dan dalam sekejap mata. Sampailah mereka kembali di
depan rumah Kiki.
“Jangan ceritakan pertemuanmu
denganku dan kejadian-kejadian yang kutunjukkan padamu tadi kepada siapapun,
Kiki. Itu adalah rahasia, hanya kita berdua saja yang boleh tahu,” kata Kakak
Penunjuk.
“Iya, aku tidak akan cerita ke
siapa-siapa Kak.” Setelah melambaikan tangan dan tersenyum manis pada Kiki,
gadis cantik itu menghilang entah kemana. Kemudian Kiki masuk ke dalam rumah.
“Dari mana saja kau Nak? Kami
dari tadi menunggumu untuk makan bersama,” tanya ibu Kiki. Namun Kiki hanya
tersenyum karena tahu bahwa ia tak boleh menceritakan apa saja yang baru saja
ia alami kepada siapapun. Ia pun makan bersama dengan keluarganya dengan hati
riang.
“Bu, bolehkah aku membantumu
mencuci piring?” pinta Kiki seusai makan bersama.
“Tentu saja nak. Astaga! Kamu
berubah sekarang. Ibu senang sekali karena kamu mau membantu ibu,” Ibu Kiki
hampir tak percaya apa yang baru saja didengarnya, namun ia tersenyum bahagia
melihat perubahan Kiki yang sudah lama ia harapkan. Lantas ia memeluk Kiki
dengan penuh kasih sayang.
Sejak saat itu, Kiki menjadi anak
yang rajin. Kalau Kiki terus begitu, tentu ia tidak akan jadi ibu yang
kesulitan mengurus rumah seperti yang diperlihatkan Kakak Penunjuk. Dan rahasia
pertemuannya dengan Kakak Penunjuk terus disimpannya dalam hati. (Candra
Dewi)
Sumber : Blog dongeng anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar