24 Januari 2013

Kiki si Pemalas

Pemalas berjodoh dgn kebodohan dan kemiskinan
Kiki adalah anak perempuan yang malas. Selain malas belajar, ia juga malas membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Kegiatannya sepulang sekolah hanya main saja.

“Kiki, bisakah kamu membantu Ibu membersihkan rumah? Ibu sedang memasak untuk makan malam,” kata ibunya saat Kiki pulang ke rumah setelah bermain dengan teman-temannya.


“Tidak mau ah, Kiki capek!” ujar Kiki dengan wajah cemberut.

“Kerjamu cuma main saja, mana pernah kamu mau membantu ibu, padahal ibu sedang repot sekali,” ibunya jadi kesal.

Tapi Kiki tidak mau tahu, ia hanya duduk diam sambil cemberut, tidak peduli betapa repotnya ibunya waktu itu. Memang dasar Kiki anak pemalas, ia lebih suka duduk berpangku tangan di teras daripada membantu ibunya.

Tiba-tiba datanglah seorang gadis cantik bergaun putih menghampiri Kiki yang tengah asyik melamun.


“Benarkah kamu yang bernama Kiki?” tanyanya.

“I…iya,” jawab Kiki gugup karena baru pertama kali bertemu.

“Aku Kakak Penunjuk, aku datang kemari untuk mengajakmu pergi ke suatu tempat dan menunjukkan sesuatu kepadamu.”

“Tapi Kakak mau bawa aku ke mana?”

“Nanti kamu juga tahu sendiri,” kata gadis cantik itu sambil tersenyum.

Kakak Penunjuk kelihatannya baik hati, wajahnya pun tampak ramah dan berseri-seri, jadi Kiki mau-mau saja diajaknya pergi.

Setelah Kakak Penunjuk menekan sebuah tombol pada gelang emasnya, ia dan Kiki kemudian menghilang entah ke mana.

Dalam, sekejap mata, mereka berada di depan sebuah rumah. Dari depan, rumah itu tampak kacau. Memang benar, rumah itu kelihatan tak terurus, ilalang dan rumputnya panjang-panjang seperti tak pernah dipangkas. Ayam-ayam berkeliaran sembarangan dan kotorannya tercecer di mana-mana, sampai-sampai Kiki menutup hidung karena tak tahan bau kotoran ayam.

“Selain berantakan, rumah ini juga bau, hiiy….,” batin Kiki.

Kakak Penunjuk membawa Kiki masuk ke dalam rumah dan tampaklah seorang ibu yang penampilannya sangat jorok. Rambutnya berantakan, pakaiannya kotor dan baunya tidak sedap.

Setiap ibu itu mencuci piring, ada saja piring yang pecah. Menyapu pun juga tidak bisa bersih. Lalu tampaklah seorang anak kecil ingusan yang mendatangi ibu itu.

“Ibu, aku mau makan… aku lapar….,” rengeknya.

“Ibu belum masak, sekarang ibu sedang repot mencuci baju. Bagaimana kalau kau memasak sendiri untuk makan. Kamu bisa menggoreng telur sendiri kan/?”

“Tidak mau! Aku capek, lapar sekali rasanya sepulang bermain. Mana aku punya tenaga untuk membantu ibu?” gerutu si anak.

Pekerjaan mencuci baju belum selesai, sang ibu harus memasak karena anaknya sudah kelaparan. Waktu memasak, ia lupa mematikan keran air tempat mencuci baju hingga tempat cucinya banjir. Airnya mengalir ke mana-mana karena saluran airnya tersumbat.

“Oh, apa yang terjadi?” ibu itu terkejut saat melihat air mengalir ke dapur. Ia cepat-cepat mematikan keran air yang lupa dimatikannya tadi. Kemudian sibuk memindahkan air banjir ke dalam ember untuk dibuang ke got.

“Oh, telurku!” teriak ibu itu saat mencium bau gosong dari arah dapur. Agaknya karena terlalu sibuk memindahkan air, ia lupa kalau sedang menggoreng telur, jadi telurnya gosong.

Akhirnya ibu itu menangis tersedu-sedu di sebuah kursi karena kelelahan. Semua hasil kerjanya sia-sia, padahal tampaknya ia sudah berusaha keras. Lalu ia melihat ke arah Kiki dan Kakak Penunjuk. Tampaknya ibu itu baru menyadari kehadiran mereka berdua karena sejak tadi ia sibuk sendiri.

“Mengapa ibu menangis?” Tanya Kiki pada ibu yang berantakan itu.

“Ini semua salahku. Saat aku masih kecil, aku adalah anak pemalas. Aku tidak pernah mau membantu Ibu, jadi aku tidak tahu cara mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik,” jawab sang ibu penuh penyesalan.

“Setelah menikah pun aku tetap tak bisa mengurus rumah. Hingga suamiku pergi meninggalkanku karena tak betah tinggal di rumah. Selain itu aku juga memiliki anak yang pemalas seperti aku sewaktu kecil. Ini adalah balasan untukku, karena tidak pernah mau membantu Ibu dan selalu membuatnya susah sendirian,” tambahnya sambil menangis.

Kiki mendengar kata-kata ibu itu dengan perasaan sedih. Kakak Penunjuk lalu membawa Kiki keluar dari rumah itu.

“Tahukah kau, ibu yang menangis tadi adalah kamu di masa depan, Kiki,” ujar Kakak Penunjuk yang membuat Kiki terkejut.

“Aku tidak mau jadi seperti itu, aku tidak mau, tidak mau!!!” teriak Kiki, ia menangis tersedu-sedu.

“Bukankah kau yang sekarang tak ubahnya dengan ibu itu semasa kecil? Bukankah kau anak pemalas yang tak pernah mau membantu ibumu dan tak suka belajar mengerjakan pekerjaan rumah, Kiki?” ujar Kakak Penunjuk dengan raut muka serius. Membuat Kiki menangis semakin keras.

“Iya, itu memang benar. Tapi aku tidak mau bernasib sama dengan ibu tadi di masa depan,” ujar Kiki terisak-isak.

“Kau benar-benar tak ingin menjadi seperti ibu yang malang tadi?”

“Iya Kak… iya….”

“Bisa saja, asal kau mau mengubah dirimu mulai dari sekarang. Kau harus mau membantu ibumu dan belajar mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, merapikan ruangan, cuci piring dan masih banyak lagi. Nah, apakah kau mau melakukannya, Kiki?”

“Iya, aku mau,” jawab Kiki tanpa ragu.

“Bagus. Aku jamin, jika kamu mau menuruti apa kataku, kamu tidak akan bernasib sama dengan ibu tadi,” ujar Kakak Penunjuk lembut.

Kakak Penunjuk lalu menekan tombol pada gelang emasnya dan dalam sekejap mata. Sampailah mereka kembali di depan rumah Kiki.

“Jangan ceritakan pertemuanmu denganku dan kejadian-kejadian yang kutunjukkan padamu tadi kepada siapapun, Kiki. Itu adalah rahasia, hanya kita berdua saja yang boleh tahu,” kata Kakak Penunjuk.

“Iya, aku tidak akan cerita ke siapa-siapa Kak.” Setelah melambaikan tangan dan tersenyum manis pada Kiki, gadis cantik itu menghilang entah kemana. Kemudian Kiki masuk ke dalam rumah.

“Dari mana saja kau Nak? Kami dari tadi menunggumu untuk makan bersama,” tanya ibu Kiki. Namun Kiki hanya tersenyum karena tahu bahwa ia tak boleh menceritakan apa saja yang baru saja ia alami kepada siapapun. Ia pun makan bersama dengan keluarganya dengan hati riang.

“Bu, bolehkah aku membantumu mencuci piring?” pinta Kiki seusai makan bersama.

“Tentu saja nak. Astaga! Kamu berubah sekarang. Ibu senang sekali karena kamu mau membantu ibu,” Ibu Kiki hampir tak percaya apa yang baru saja didengarnya, namun ia tersenyum bahagia melihat perubahan Kiki yang sudah lama ia harapkan. Lantas ia memeluk Kiki dengan penuh kasih sayang.

Sejak saat itu, Kiki menjadi anak yang rajin. Kalau Kiki terus begitu, tentu ia tidak akan jadi ibu yang kesulitan mengurus rumah seperti yang diperlihatkan Kakak Penunjuk. Dan rahasia pertemuannya dengan Kakak Penunjuk terus disimpannya dalam hati. (Candra Dewi)

Sumber :  Blog dongeng anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar