“Sekolah adalah
tempat di mana ketidakbahagiaan anak-anak disembuhkan, dan anak-anak diasuh
serta dididik dalam pola kebahagiaan bukan dalam pola kekuasaan dan
keseragaman.
Dengan mengetahui
gambaran masa depan maka anak-anak didik akan termotivasi belajar, mencetak
prestasi dan lulus tepat waktu. Selain mempunyai motivasi belajar anak-anak
didik juga memerlukan keseimbangan kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual.
Seseorang yang memiliki kecerdasan
intelektual tinggi, tidak selalu memiliki kecerdasan emosi dan kecerdasan
spiritual tinggi. Misalnya: bagaimana ia menyesuaikan diri dengan lingkungan
baru di tempat tinggalnya, bagaimana ia menjalin hubungan baik dengan
orang-orang terdekatnya, yang mungkin dianggap hal remeh bagi orang lain.
Salah satu jalan
penting yang harus kita tempuh demi hidup yang sesuai dengan martabat manusia,
yang membedakan kita secara sadar dengan hewan adalah dengan jalan membaca,
menulis dan belajar. Sedangkan membaca, menulis dan belajar adalah intisari
dari usaha manusia yang lazimnya disebut pendidikan.
Tugas utama
pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membebaskan manusia dari
kebodohan. Keluarga adalah lembaga pendidikan yang tertua, pertama, dan utama.
Pendidikan yang dilaksanakan di sekolah, masyarakat, dan pemerintahan hanya
bersifat melengkapi atau mengembangkan, tidak menyaingi dan mengantikan
pendidikan dalam keluarga. Pendidikan perlu dirancang agar tidak membiasakan anak berpikir sempit, tak nalar, dan lemah berargumentasi.
Abraham Lincoln,
Bob Sadino, Charlie Chaplin, dan Thomas Alva Edison, bukanlah anak kandung
pendidikan formal (baca : sekolah). Sebagai contoh, Thomas Alva Edison berhenti
sekolah pada usia 12 tahun. Lebih tepatnya ia dikeluarkan dari sekolah karena
dianggap terlalu bodoh!
Seandainya ia
terus bersekolah, ia akan berhenti bertanya, dan bereksperimen. Lantas mengisi
otaknya dengan pengetahuan umum, menghapal nama-nama pahlawan, menghapal
nama-nama ibu kota negara-negara di dunia. Dan kita pasti masih menggunakan
lampu petromak atau cahaya lilin sebagai sumber utama penerangan di malam hari.
Menurut saya, yang dipelajari di sekolah itu tidak masuk nalar, misalnya : disuruh hafal pasal-pasal, hafal Undang-Undang 1945. Buat apa hafal tapi tidak mengerti esensinya? Dengan kata lain : "Menuh-menuhin kepale gue aje." Dan anak-anak didik itu, terkadang bahagia kalau gurunya tidak datang untuk mengajar.
Menurut saya, yang dipelajari di sekolah itu tidak masuk nalar, misalnya : disuruh hafal pasal-pasal, hafal Undang-Undang 1945. Buat apa hafal tapi tidak mengerti esensinya? Dengan kata lain : "Menuh-menuhin kepale gue aje." Dan anak-anak didik itu, terkadang bahagia kalau gurunya tidak datang untuk mengajar.
Di ruang kelas
sekolah-sekolah di Indonesia. Terjadi ketidakadilan yang luar biasa. Guru
menguasai satu mata pelajaran tetapi anak didik harus menguasai seluruh mata
pelajaran dengan penguasaan penuh. Sementara guru sejarah, tidak menguasai
matematika, tidak mahir fisika, kimia, biologi, geografi. Ia pandai hanya di
bidang studi sejarah. Dan metode paling popoler di sekolah : apapun
pelajarannya cara penyampaiannya ceramah.
Anak didik
dinyatakan berhasil menguasai sebuah bidang studi lewat test tertulis. Bentuk
soalnya pilihan ganda bukan essay, soal yang menuntut sebuah perjuangan yang memeras otak. Kreativitas kita tidak akan muncul jika kita hanya punya "satu jawaban benar" Ini
membuat tidak terlatihnya urat kreatif anak didik. Dangkal dalam pemahaman
serta bingung dalam penerapan. Yang penting nilai bagus dan lulus ujian.
Selesai.
Anak yang hebat
di bidang akademis belum tentu sukses dalam hidup. Ya, mereka hebat karena jago
menghafal. Misalnya anak yang nilai ekonominya 9,9 menghapal mati prinsip
ekonomi tapi bingung menerapkan cara praktik : dengan pengorbanan
sekecil-kecilnya, mengharapkan laba sebesar-besarnya terjemahan bebasnya
berjualan.
Aristotel
Onassis, di sekolah ia bodoh, sering diusir dari beberapa sekolah, langganan
rangking pertama dari urutan belakang di kelasnya (juru kunci). Ia
menerjemahkan prinsip ekonomi dengan sangat cemerlang. Simak cerita berikut
ini. Pada suatu hari,
kebakaran terjadi di gudang sekolahnya. Onnasis membeli seonggok pensil bekas
kebakaran itu dengan harga murah. Ia menanamkan sedikit modal dengan membeli
dua rautan pensil. Ia berdua dengan temannya mulai membersihkan bagian-bagian
pensil yang hangus. Kemudian ia menjual pensil-pensil itu kembali kepada
teman-teman di sekolah dengan harga sangat murah, namun tetap dapat untuk cukup
besar. Itulah penerapan prinsip ekoomi yang kreatif.
Sebuah sekolah
ideal dalam pandangan saya adalah pertama, sekolah yang berisi guru-guru
kreatif dalam mengajar dan mendidik. Mereka harus selalu tertarik dengan apa
yang diajarkan, bukan sekedar memenuhi kewajiban mengajar semata. Tidak
membebani anak didik menghafal semua bidang studi. Rumus matematika dihafal,
tahun-tahun penting dalam sejarah sejarah dihafal, unsur kimia dihafal juga.
Perlu ada seleksi ketat dalam meloloskan seseorang berhak menjadi guru atau
tidak, nyata berdasarkan kemampuan menularkan ilmu pengetahuan dan ketertarikan
minat berbagi ilmu dan berbagi semangat kepada anak-anak didik.
Kedua, kurikulum
dirancang untuk menjadikan anak didik menjadi seorang spesialis. Bukan tahu
banyak mata pelajaran sedikit-sedikit tetapi dangkal dan gagap dalam bekerja di
dunia nyata. Sebab seseorang hanya pandai di satu bidang saja. Valentino Rossi
jago balap motor, tetapi ia tidak piawai matematika dan jago fisika sekaligus.
Dan itu tidak memudarkan kehebatannya.
Ketiga, sekolah
harus mempunyai infrastruktur yang baik dalam pengertian dilengkapi
laboratorium yang memadai untuk mendukung hebatnya minat anak didik dalam
pembelajaran. Seperti laboratorium biologi, fisika, kimia, bahasa, dan
laboratorium komputer dengan jaringan internet yang terkoneksi.
Biaya pendidikan
haruslah ditopang dari subsidi pemerintah seperti slogannya “sekolah gratis”
atau didapat dari subsidi silang antara anak orang berada dan anak yang kurang
mampu. Sehingga semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Akhir kata, saya
meminjam kisah Tetsuko Kobayasi, diakhir novel Toto Chan, ia menuliskan begini
:
“Aku yakin di mana-mana, di dunia ini ada banyak pendidik yang baik, yang bermimpi bisa mendirikan sekolah yang ideal. Sayangnya aku tahu betapa sulitnya mewujudkan impian itu.
semoga menang dalam kontesnya Pak :)
BalasHapusMakasih Rudi..:)
BalasHapus