Orang yang tidak bisa membuat pertanyaan malunya seumur hidup, orang yang bisa membuat pertanyaan bodohnya cuma lima menit!
Ketika seorang guru mengajar di depan kelas, murid-murid diharapkan duduk tenang, mata menatap ke guru yang sedang berbicara di depan. Jika ada anak murid yang mengantuk (bahkan tidur di kelas), ngobrol dengan teman sebangku, atau ngobrol dengan teman sebrang bangku....niscaya akan dilempar penghapus kayu. Para guru menolak mengintrospeksi diri: apakah cara ia menyampaikan materi bikin ngantuk, membosankan, garing, dan sebagainya.
Belajar selalu diartikan membuka buku pelajaran, mengarisbawahi, membuat ringkasan. Setelah berhasil lulus ujian, semuanya jadi kedaluarsa dan kabur dalam ingatan.
Akses informasi yang membuat guru belajar terkadang lebih sedikit dibandingkan dengan muridnya. Guru membicarakan sesuatu yang tidak mereka pahami. (tidak jauh seperti dukun).
Akses belajar murid meliputi buku, koran, majalah, internet, dan sebagainya sedangkan guru hanya berpedoman pada satu buku saja...dan meresa paling benar. Ini terjadi karena keterbatasan waktu dan keterbatasan anggaran belanja buku, koran atau majalah.
Apapun pelajarannya, metodenya tetap sama: ceramah! Apa yang guru miliki itulah yang akan diberikan kepada murid-muridnya. Terlepas itu benar atau salah, baru atau basi.
Sedangkan anak-anak lebih suka belajar yang nyata di depan hidung. Seperti main hujan, main air, memelototi semut, dan sebagainya. “...Sesuatu yang nyata yang akan dihadapi sepanjang perjalanan hidupnya.” Itulah ironi yang bernama belajar.
Ironisnya..aku adalah seorang siswa,yang belum pernah menjadi guru bagi murid-muridku,,,sehingga aku juga belum pernah berhadapat dengan siswa yang heterogen,dengan ribuan watak dan latarbelakang....kuharap..aku bukan hanya menjadi mantan siswa...tetapi juga dapat menjadi guru.Agar aku dapat ber"Empati" setidaknya bagi diriku si mantan siswa dan guru....
BalasHapus