28 Oktober 2012

Ibrahim


Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang kurban. Wajah bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan perintah Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.”

Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, menyembelih anak sendiri yang tak bersalah, sanggupkah engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin itu titah Tuhan, agar itulah yang harus dikerjakannya. Ia sedang diuji, sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang harus ditaati. Ia berangkat.

Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya akan menolak. Dengan takzim dan takut. Saya akan katakan, biarlah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu selamat. Belas kasihan pada bocah yang tak berdaya itu lebih mengguncang diri saya ketimbang Kehendak Yang Maha Kuasa.


Tapi saya bukan Ibrahim. Saya bukan tokoh Kitab Suci. Dalam Frygt og Beaven (Gentar dan Gementar) yang terbit tahun 1843, Kierkegaard, pemikir Denmark itu, menggambarkan iman Ibrahim sebagai sesuatu yang mengatasi nilai “kebaikan” yang universal, yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapan saja. 

Ibrahim bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri. Tindakannya di Bukit Muria itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hukum apa pun. Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibrahim menaruh kepercayaan kepada “kekuatan dari sesuatu yang absurd”. Kierkegaard menyebutnya sebagai tokoh tragis. Ibrahim bukan seperti Kaisar Brutus yang dengan sedih harus membunuh anaknya demi hukum Romawi yang harus ditegakkannya—hukum untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim, bagi Kierkegaard, seorang “ksatria iman”.

Tapi tetap saja tak mudah membayangkan seorang “ksatria iman” harus memotong leher anaknya sendiri. Mungkinkan ia sampai hati benar?

Agaknya sebab itu Quran menggambarkan Ibrahim meletakkan anaknya dengan muka yang menelungkup. Dalam tafsir Al-Tabari disebutkan bahwa si bocah (Qur’an tak menyebutkan namanya, Ismail atau Ishak) berkata kepada ayahnya: “Bila ayah baringkan aku untuk jadi kurban, telungkupkan wajahku, jangan ayah letakkan miring ke samping, sebab aku khawatir, bila ayah melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan ayah akan batal melaksanakan perintah Allah.”

Ada sebuah lukisan Rembrandt, perupa Belanda yang termasyhur itu, yang bertahun 1635. Judulnya ”Pengurbanan Ishak”. Saya pernah melihatnya di Museum Hermitage di St. Petersburg. Saya masih ingat: di kanvas itu tampak Ibrahim menutup wajah anaknya seraya ia menghunus pisaunya. Ia tak akan tega melihat mata si bocah dalam kesakitan.

Tapi yang menarik, Rembrandt tak melukiskan rasa gentar dan gementar Ibrahim sebagaimana diuraikan Kierkegaard. Dalam mengutip kisah Kitab Suci itu, sang pemikir Kristen Denmark itu lebih memilih fokus pada perintah Tuhan yang pertama: Ibrahim, atau Abraham, harus menyembelih anaknya. Kierkegaard tak melanjutkan bacaannya ke perintah Tuhan yang kedua. Rembrandt, sebaliknya, justru menangkap momen itu. Sebagaimana ditulis dalam Kitab Kejadian:

22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.

22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: ”Abraham, Abraham.” Sahutnya: ”Ya, Tuhan.”

22:12 Lalu Ia berfirman: ”Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia.”

Dalam kanvas itu, tampak tangan kanan Ibrahim dipegangi dan dicegah oleh tangan malaikat. Pisau itu terjatuh. Tangan kirinya masih menutupi wajah si bocah. Matanya menatap ke arah sang malaikat yang lembut: biji matanya yang hitam itu tampak sebagai bagian dari senyum yang belum merekah.

Menurut catatan, Rembrandt melukis adegan itu ketika ia, dalam usia 29, baru saja kematian anaknya yang masih bayi. Agaknya ini membuat lukisannya lebih peka kepada kepedihan atas hilangnya nyawa seorang anak yang direnggutkan tanpa dosa, tanpa sebab. Ibrahim-nya bukan yang sedang mematuhi titah pertama Tuhan.

Rembrandt mungkin akan lebih suka membaca tafsir Emmanuel Lévinas. Filosof Prancis yang erat dengan tradisi Yahudi itu mengkritik pengutaraan Kierkegaard tentang Ibrahim. Dalam esainya, ”A propos Kierkegaard Vivant”, ia menulis, ”bahwa Abraham mematuhi suara yang pertama—itu menakjubkan: bahwa ia punya cukup jarak dengan kepatuhan itu hingga bisa mendengar suara kedua—itu esensial”.

Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang kurban. Wajah bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan perintah Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.”

Dan bagi Lévinas, sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah mengetuk diri kita. Kita pun memberi respons, bertanggung jawab, tak mudah sewenang-wenang. Kita ingat Ibrahim di saat itu. Ia jadi berarti karena itu.

Goenawan Mohamad
Majalah Tempo Edisi Senin, 22 November 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar