Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang kurban. Wajah bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan perintah Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.”
Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, menyembelih anak sendiri yang tak
bersalah, sanggupkah engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin itu
titah Tuhan, agar itulah yang harus dikerjakannya. Ia sedang diuji, sedekat
manakah dirinya dengan Tuhan yang harus ditaati. Ia berangkat.
Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya akan menolak.
Dengan takzim dan takut. Saya akan katakan, biarlah saya masuk neraka. Biarlah
saya dikutuk, asal anak itu selamat. Belas kasihan pada bocah yang tak berdaya
itu lebih mengguncang diri saya ketimbang Kehendak Yang Maha Kuasa.
Tapi saya bukan Ibrahim. Saya bukan tokoh Kitab Suci. Dalam Frygt og Beaven
(Gentar dan Gementar) yang terbit tahun 1843, Kierkegaard, pemikir Denmark itu,
menggambarkan iman Ibrahim sebagai sesuatu yang mengatasi nilai “kebaikan” yang
universal, yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapan saja.
Ibrahim
bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri. Tindakannya di Bukit Muria
itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hukum apa pun. Tindakan itu hanya bisa
dilakukan karena Ibrahim menaruh kepercayaan kepada “kekuatan dari sesuatu yang
absurd”. Kierkegaard menyebutnya sebagai tokoh tragis. Ibrahim bukan seperti
Kaisar Brutus yang dengan sedih harus membunuh anaknya demi hukum Romawi yang
harus ditegakkannya—hukum untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim,
bagi Kierkegaard, seorang “ksatria iman”.
Tapi tetap saja tak mudah membayangkan seorang “ksatria iman” harus memotong
leher anaknya sendiri. Mungkinkan ia sampai hati benar?
Agaknya sebab itu Quran menggambarkan Ibrahim
meletakkan anaknya dengan muka yang menelungkup. Dalam tafsir Al-Tabari
disebutkan bahwa si bocah (Qur’an tak menyebutkan namanya, Ismail atau Ishak)
berkata kepada ayahnya: “Bila ayah baringkan aku untuk jadi kurban,
telungkupkan wajahku, jangan ayah letakkan miring ke samping, sebab aku
khawatir, bila ayah melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan
ayah akan batal melaksanakan perintah Allah.”
Ada sebuah lukisan Rembrandt,
perupa Belanda yang termasyhur itu, yang bertahun 1635. Judulnya ”Pengurbanan
Ishak”. Saya pernah melihatnya di Museum Hermitage di St. Petersburg. Saya
masih ingat: di kanvas itu tampak Ibrahim menutup wajah anaknya seraya ia
menghunus pisaunya. Ia tak akan tega melihat mata si bocah dalam kesakitan.
Tapi yang menarik, Rembrandt tak melukiskan rasa gentar dan gementar Ibrahim
sebagaimana diuraikan Kierkegaard. Dalam mengutip kisah Kitab Suci itu, sang
pemikir Kristen Denmark itu lebih memilih fokus pada perintah Tuhan yang
pertama: Ibrahim, atau Abraham, harus menyembelih anaknya. Kierkegaard tak
melanjutkan bacaannya ke perintah Tuhan yang kedua. Rembrandt, sebaliknya,
justru menangkap momen itu. Sebagaimana ditulis dalam Kitab Kejadian:
22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.
22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: ”Abraham, Abraham.” Sahutnya: ”Ya, Tuhan.”
22:12 Lalu Ia berfirman: ”Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia.”
Dalam kanvas itu, tampak tangan kanan Ibrahim dipegangi dan dicegah oleh
tangan malaikat. Pisau itu terjatuh. Tangan kirinya masih menutupi wajah si
bocah. Matanya menatap ke arah sang malaikat yang lembut: biji matanya yang
hitam itu tampak sebagai bagian dari senyum yang belum merekah.
Menurut catatan, Rembrandt melukis adegan itu ketika ia, dalam usia 29, baru
saja kematian anaknya yang masih bayi. Agaknya ini membuat lukisannya lebih
peka kepada kepedihan atas hilangnya nyawa seorang anak yang direnggutkan tanpa
dosa, tanpa sebab. Ibrahim-nya bukan yang sedang mematuhi titah pertama Tuhan.
Rembrandt mungkin akan lebih suka membaca tafsir Emmanuel Lévinas. Filosof
Prancis yang erat dengan tradisi Yahudi itu mengkritik pengutaraan Kierkegaard
tentang Ibrahim. Dalam esainya, ”A propos Kierkegaard Vivant”, ia menulis,
”bahwa Abraham mematuhi suara yang pertama—itu menakjubkan: bahwa ia punya
cukup jarak dengan kepatuhan itu hingga bisa mendengar suara kedua—itu
esensial”.
Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang kurban. Wajah
bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa jadi obyek.
Wajah yang menyebabkan perintah Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.”
Dan bagi Lévinas, sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah mengetuk diri
kita. Kita pun memberi respons, bertanggung jawab, tak mudah sewenang-wenang.
Kita ingat Ibrahim di saat itu. Ia jadi berarti karena itu.
Goenawan Mohamad
Majalah Tempo Edisi Senin, 22
November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar