27 April 2011

Ciri-Ciri NII KW 9, Dahulu dan Sekarang


Saya pernah dua kali mengikuti pengajian NII. Pertama di daerah Pisangan Barat, Jakarta, kedua di daerah Jalan Baru, Bogor. Tujuan utama saya adalah memuaskan rasa keingitahuan dan membebaskan seorang teman yang terlanjur “dibaiat” NII.

Dibaiat adalah seseorang mengucapkan ikrar untuk hijrah, pindah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke Negara Islam Indonesia (NII).

Saya gagal, teman saya terlanjur cinta NII, lucunya mereka mengkafirkan orang tua, ibu atau ayah yang melahirkan dan membesarkan mereka tetapi menghalalkan uangnya. Waduh!

Pertemuan pertama saya dengan NII adalah berkat “kerja paksa” seorang teman. Sebut saja namanya Rahmat. Ini terjadi tahun 1996, ketika itu saya baru kuliah di semester dua, Universitas Gunadarma Depok.

Kantong NII saat itu berada di Pisangan Barat, mereka bermarkas di sebuah rumah kontrakan petak-petak. Mereka mendata saya beberapa pertanyaan: menanyakan nama, alamat rumah, no. telp, dan ada nggak anggota keluarga yang jadi ABRI? Pengajian pertama pun dimulai.

Di ruangan itu saya diajak diskusi oleh seorang ustad tentang sebuah Negara baru yaitu Negara Islam Indonesia. Ruangan itu terdiri dari sebuah meja yang berisi tumpukan buku-buku agama, Al-Quran, dan sebagainya. Serta beberapa kursi kosong.

Sang Ustad memperkenalkan diri kemudian membagi sebuah whiteboard. Bagian kiri untuk NKRI sedangkan yang kanan adalah NII.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Dasar Negara : Pancasila

Undang-Undang : KUHP dan UUD’45
Sistem : Sekuler
Kepala Negara : Presiden
Kondisi Negara : Massa Mekkah

Negara Islam Indonesia (NII)

Dasar Negara : Perjanjian Madinah
Undang-Undang : Al-Quran dan Hadist
Sistem : Syariat Islam
Kepala Negara : Kekhalifahan
Kondisi Negara : Massa Madinah

Mereka memengal ayat-ayat Al-Quran seenak-enaknya. Menyatakan bahwa saya dan teman-teman lain yang hidup di NKRI kotor (kafir) dan harus disucikan. Ilustrasi mereka :
Sebuah apel yang merah manis jika berada di tempat sampah itu namanya sampah. Lalu saya balas : Sebutir berlian yang tercebur ke comberan atau diselimuti tai kerbau tetap saja berlian!
Mereka kesal dengan analogi tandingan saya.


Mereka lalu membahas Pancasila, KUHP , UUD 1945 dan membandingkannya dengan Perjanjian Madinah, Al-Qur’an dan Hadis. Mereka memimpikan berdirinya Negara Madinah yang diwakili dengan NII. Penjelasan mereka sangat aneh. Pancasila, KUHP, UUD 1945 itu sampah.

Singkat cerita, kalau Anda mau berubah menjadi lebih baik, Anda harus pindah dari NKRI ke NII. Saya lalu dihitung umur, sudah berapa lama hidup di NKRI. Bandrol yang harus saya bayar untuk sebuah pencucian dosa : Rp 350.000, wah itu seharga uang semester saya untuk 6 bulan. Karena dari awal saya “tidak setuju” dengan NII ini, saya tawar Rp 350.000 jadi 2.000, (ilmu menawar ini saya peroleh dari ibu saya yang suka belanja di pasar, kalau mau dua rebu ambil, kalau nggak mau; kabur..hehehe).

Supaya tidak ada orang-orang yang terjebak lagi oleh NII, berikut ciri-ciri kelompok yang mengatasnamakan NII adalah :

• Dalam menda'wahi calonnya, mata sang calon ditutup rapat. Dan penutup itu baru akan dibuka ketika mereka sampai ke tempat tujuan.

• Para calon yang akan mereka da'wahi rata-rata memiliki ilmu keagamaan yang relatif rendah bahkan boleh dibilang tidak memiliki ilmu agama. Sehingga para calon dengan mudah dijejali omongan-omongan yang menurut mereka adalah omongan tentang dinul Islam. Padahal kebanyakan akal merekalah yang berbicara dan bukan diinul Islam yang mereka ungkapkan.

• Calon utama mereka adalah mereka-mereka yang memiliki harta yang berlebihan, atau yang orang tuanya berharta lebih, anak-anak orang kaya yang jauh dari keagamaan, sehingga yang terjadi adalah penyedotan uang para calon dengan dalih islam. Islam hanya sebagai alat penyedot uang.

• Pola Da'wah yang relatif singkat, hanya kurang lebih 3 kali pertemuan, sang calon dimasukkan kedalam anggota mereka. Sehingga yang terkesan adalah pemaksaan ideologi, bukan lagi keikhlasan. Dan rata-rata, para calon memiliki kadar keagamaan yang sangat rendah sekali. Selama hari terakhir penda'wahan, sang calon dipaksa dengan dijejali ayat-ayat yang mereka terjemahkan seenak lidah mereka hingga sang calon mengatakan siap di bai'at...

• Ketika sang calon akan dibai'at, dia harus menyerahkan uang yang mereka namakan dengan uang penyucian jiwa. Jika sang calon tidak mampu saat itu, maka infaq itu menjadi hutang sang calon yang wajib dibayar.

• Tidak mewajibkan menutup aurat bagi anggota wanitanya. Dengan alasan Kahfi.

• Tidak mewajibkan sholat 5 waktu bagi para anggotanya dengan alasan belum futuh. Padahal, mereka mengaku telah berada dalam madinah. Seandainya mereka tahu bahwa selama di madinah lah justru Rasul benar-benar menerapkan syri'at Islam. Dan justru Rasul wafat beberapa waktu setelah futuh mekkah.

• Sholat 5 waktu mereka ibaratkan dengan do'a dan da'wah. Sehingga jika mereka sedang berda'wah maka saat itu mereka sedang sholat.

• Sholat Jum'at diibaratkan dengan rapat / syuro. Sehingga pada saat mereka rapat, maka saat itu pula mereka namakan sholat jum'at.

• Atau untuk pemula, mereka dibolehkan sholat yang dilaksanakan dalam satu waktu untuk 5 waktu sholat.

• Infaq yang dipaksakan perperiode ( per bulan), sehingga menjadi hutang yang wajib dibayar bagi yang tidak mampu berinfaq.

• Adanya Qiradh (uang yang dikeluarkan untuk dijadikan modal usaha) yang diwajibkan walaupun tak punya uang, bila perlu berhutang kepada kelompoknya. Pembagian bagi hasil dari Qiradh yang mereka janjikan tak akan pernah kunjung datang. Jika diminta tentang pembagian hasil bagi itu, mereka menjawabnya dengan ayat Qur'an sedemikian rupa sehingga upaya meminta hasil bagi itu menjadi hilang.

• Zakat yang tidak sesuai dengan syari'at Islam. Takaran yang terlalu melebihi dari yang semestinya. Mereka mensejajarkan sang calon dengan sahabat Abu Bakar dengan menafi'kan syari'at yang sesungguhnya.

• Tidak adanya mustahik di kalangan mereka, sehingga bagi mereka yang tak mampu makan sekalipun, wajib membayar zakat/infaq yang besarnya sebetulnya sebanding dengan dana untuk makan sebulan. Bahkan mereka masih saja memaksa pengikutnya untuk mengeluarkan 'infaq' padahal pengikutnya itu dalam keadaan kelaparan (saking kelaparannya, dia melakukan shaum Daud. Bukan karena sunnah tapi memang enggak ada barang yang mesti dimakan)

• Belum berlakunya syari'at Islam dikalangan mereka sehingga perbuatan apapun tidak mendapatkan hukuman apapun.

• Mengkafirkan orang yang diluar kelompoknya bahkan menganggap halal berzina dengan orang diluar kelompoknya.

• Dihalalkannya mencuri / mengambil barang milik orang lain (mencuri).

• Menghalalkan segala cara demi tercapai tujuan spt menipu / berbohong meskipun kepada orang tuanya sendiri.

Semoga kepingan cerita ini ada manfaatnya buat teman-teman sekalian. Selamat membuat hari ini menjadi indah.



14 komentar:

  1. wah, kelewatan ya? teman aku ada yang pernah mau ditarik ikutan Om. hmmm...

    Terimakasih sharingnya. Tulisan yang fress dan bermanfaat ini. trimakasih om Bob.

    BalasHapus
  2. is that true???? you experienced that???

    BalasHapus
  3. Ghe Julia : Begitulah Ghea. Sama-sama Ghea, senang bisa berbagi cerita.

    BalasHapus
  4. Clifford : Bener Nyo. Serius, jadi cerita tentang anak-anak mahasiswa yang hilang itu seperi mengulang cerita gw tahun 1996-an. Zaman gw masih perjaka tingting...:D

    BalasHapus
  5. Assalamualaikum wr wb......wah serem banget ya klau pengetahuan agamanya kurang apalgi NII nyari org" berduit....bolehkah aku izin copas utk nambah pengetahuan teman"ku..seblmnya terima ksh..

    BalasHapus
  6. I've been there before. It's exactly the same. I won't forget 1995...it's terrible.

    Yang menyadarkan saya... Saya selalu tanya, kapan sih mau "futuh" Makkah-nya? Mereka selalu tidak pernah bisa menjawab. Memang perlu waktu bagi saya utk akhirnya menyadari kalau "aliran" (boleh khan saya bilang kalau NII itu aliran) ini gak bener. Alhamdulilah saya bisa keluar.

    BalasHapus
  7. Anonim : Alhamdulilah senang mendengarnya. :D

    BalasHapus
  8. Sri Mulyati : Silahkan Sri, dengan senang hati...

    BalasHapus
  9. terlalu berlebihan semuanya..

    BalasHapus
  10. Anonim : Di mana letak terlalu berlebihannya? Semua yang saya tulis itu nyata. Hasil pengalaman pribadi. Anda dan NII punya hak jawab. Bahkan Panji Gumilang alias Abu Toto lebih memilih diam daripada menjelaskan kepada masyarakat Indonesia apa itu NII? Sebuah cita-cita untuk mendirikan negara Islam di NKRI atau cuma perampok ulung atas nama agama? Amati pengakuan pejabat NII yang sudah insyaf. saya berharap Anda kembali ke jalan yang benar, selagi sempat. Salam.

    BalasHapus
  11. wah edan bener nih NII.. kenapa pemerintah kita ndak menindak tegas mereka yah..

    BalasHapus
  12. Sebagian dari cerita itu memang betul...
    aku sendiri pernah ikut di dakwahi dan pernah ikut di baiat juga. tapi Alhamdulillah... Allah sayang padaku. aku berontak saat harus mengkafirkan kedua orangtuaku. karena aku bukan keluar dari batu. Ayah dan ibuku tetap orangtuaku yang amat aku sayangi....

    BalasHapus
  13. Anonim : Dear anonim, itu fakta yang terjadi. Kisah nyata ketika saya mengikuti pengajian NII. Iris kuping saja jika itu dusta!

    Di Koran Tempo, Sabtu 30 April 2011, A.S Panji Gumilang bilang NII sudah mati sejak tahun 1962.
    Mereka mengelola pesantren Al-Zaytun seluas 1.200 hektar dari hasil patungan para anggota NII yang dibaiat. Cuma orang tolol yang percaya celoteh Panji Gumilang.

    BalasHapus
  14. All : Panji Gumilang bilang Al-Zaytun berdiri atas dana pengemukan sapi, pertanian, dan donatur tidak tetap. Pesantren seluas 1.200 hektar yang terluas di Asia Tenggara cuma dari hasil tersebut? Sulit dipercaya...

    BalasHapus