Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka mengayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.
Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr…..
Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuurr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.
Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.
“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”
Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang
dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.
Joko Pinurbo, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar