25 Januari 2011

Menulis Waktu

Mungkin ada beberapa yang masih sulit percaya, ketika saya mengetik duduk memakai celana pendek di sofa dengan laptop atau melamun memandang keluar jendela, saya sedang bekerja. Dengan sangat serius. Ya, saya penulis. Jadi menulis adalah pekerjaan profesional saya.

Karena mungkin suasananya tidak pernah formal, banyak juga yang membayangkan jam kerja penulis juga tidak formal. Kalau formal dalam aturan terikat aturan baku, memang tidak. Tapi ketika tidak formal lantas bergeser jadi tidak pasti, ini jelas tidak.

Menulis adalah kerja yang penuh kedisiplinan tingkat tinggi. Karena yang mengatur dan diatur adalah kemauan diri sendiri. Tiap penulis punya caranya masing-masing. Untuk mematahkan atau menjinakkan deadline. Memancing inspirasi, dan lainnya. Tentu tidak pernah ada ukuran bakunya. Tapi penulis yang berhasil, punya cara yang berhasil. Ada metoda yang dia susun sendiri.

Belakangan ada penulis atau buku yang coba membagikan tips-tips atau rahasia menulis dengan efektif. Saya juga ingin berbagi. Sekedar untuk mengingatkan diri sendiri dan semoga juga bisa berguna buat yang lain yang membaca tulisan ini nanti.

Kata pertama adalah waktu. Ini tantangan besar dari pekerja kreatif. Dan tentu saja adalah penulis. Apalagi buat para penulis yang masih memiliki pekerjaan lainnya. Masih moonlighting alias menulis posisinya masih menjadi sidejob. Saya tahu rasanya. Saya pernah ada di sana.

Dua orang panutan saya adalah Arswendo Atmowiloto dan Putu Wijaya penulis super produktif dengan profesi multi. Saya sering garuk kepala melihat bagaimana mereka masih bisa menghasilkan karya yang banyak tapi tetap bagus.

Lalu saya pernah punya kesempatan mewawancarai mereka. Mau tahu apa jawaban rahasia mereka? “Waktu sehari itu 24 jam. Dan 24 jam itu banyak sekali.” Itu kata mereka. Saya terdiam. Benar juga. Kuncinya ada pada efektifitas ternyata.

Sebuah buku Write Faster, Write Better karangan David Fryxell kurang lebih juga menyodorkan pemikiran yang sama. Secara simpel coba lakukan ini: "Bangun dua jam lebih awal dari kebiasaan kita. Manfaatkan waktu itu. Atau, coba hitung berapa lama waktu yang terbuang untuk sekedar browsing plus mengecek status facebook teman di pagi hari saat menyalakan komputer."

Intinya kenali dulu bagaimana kita, menghabiskan waktu. Tiap hari. Dari sana pasti akan terbuka celah bahwa dalam 24 jam itu ada titik-titik yang belum efektif terpakai. Dari sana juga bakal terkenali, apakah kita penulis malam, siang, subuh atau di antara jam makan malam saat menunggu masakan disiapkan.

Jangan tertawa dengan ungkapan terakhir. Putu Wijaya menulis saat dia menunggu narasumber waktu dia masih jadi wartawan. Seorang penulis novel produktif Eropa abad pertengahan memanfaatkan waktu 15 menit saat istrinya bersiap menuju meja untuk makan malam. Kenali cara kita mengkonsumsi waktu, lalu efektifkan.

Di awal karir, saya adalah wartawan. Baru sejak 2008 nyemplung total ke dalam penulisan. Sepanjang menuju tahun itu, saya hidup di antara dua deadline. Di antara kejaran deadline bermata dua itu, saya bisa selamat dengan lecet-lecet yang tidak terlalu banyak. Sebabnya ya, karena saya menelaah secara kongkrit waktu saya. Ibaratnya sebelum menulis, saya sudah ‘menuliskan’ dulu waktu saya untuk menulis.

Saya juga justru survive dengan deadline. Tenggat waktu itulah yang membuat saya bisa bekerja secara multiple. Karena dengan adanya deadline pekerjaan sudah terpilah sedari awal. Ada batas-batas yang jelas. Saya jadi tahu mana yang harus didahulukan. Dan karena kerja jurnalis deadline-nya lebih teratur, saya mengukur semuanya dari sana.

Setelah itu, saya berusaha mencoba mempunyai metoda dalam menulis. Bukan untuk mengurung kreatifitas atau membuat menulis menjadi fabrikasi. Ini murni alat bantu. Sebab bekerja dengan metoda tertentu justru untuk mengefektifkan waktu dan dengan sendirinya, ruang untuk menggali kreatifitas jadi tambah lebar. Sebisa mungkin saya membuat pola menulis saya bisa diganggu di tengah jalan. Oleh apa pun.

Dengan begini saya tidak pernah merasa harus selalu mengulang dari awal setiap pekerjaan yang diselak kerjaan kantor misalnya. Karena saya menulis dalam tahapan-tahapan. Saya memecah cara menulis saya menjadi bagian-bagian yang sangat mudah dikenali.

Misalkan, saya menulis dengan formula sekuens. Lalu pada saat sedang menulis sekuens tertentu, ada deadline lain menyerbu, saya tidak panik. Saya bisa berhenti dulu dari sekuens tersebut dan mengerjakan yang lain. Sekuens-sekuens itu sudah saya tandai posisi dan fungsinya. Jadi pada saat kembali, saya tahu persis dimana saya akan memulai lagi.

Saya juga menganut paham, yang namanya menulis bukan pada saat membuka laptop lalu mengetik. Tapi pada saat memikirkan cerita di tengah kemacetan. Membuat catatan kecil di notebook moleskin atau di HP. Ketika mengetikkannya di laptop bisa dibilang itu tinggal kerja ‘teknis’-nya saja. Dengan ini waktu menulis saya pun jadi kian terkontrol dan efektif.

Jadi meski sekarang saya tidak lagi ‘mendua’, dengan memahami konsumsi waktu, merancang deadline dan metoda, saya pun ‘menulis’ waktu saya untuk menulis dengan efektif. Hingga bisa bekerja dengan beberapa proyek sekaligus. Dan masih tetap sempat diajak karaoke tiap malam oleh Biru Langit, anak perempuan saya.


Penulis: Salman Aristo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar