Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit.
Ayahnya senang sekali menggendongnya
Menyebrangi sungai, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat api unggun,
Berdialog, menemani malam, menjaring sepi.
Ia sangat girang melihat kunang-kunang yang berpedaran.
“Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?
“Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang.”
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya
sedang mengajarinya bermain kata.
Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan.
Ayahnya menelentangkannya di atas amben tua,
lalu menaruh seekor kunang-kunang di atas keningnya.
Saat ia pamit pergi mengembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
“Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini
Saat kau sedang gelap atau mati kata;
maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya.”
Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
“Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang.
Bisakah kau mengantarku ke sana ?”
Malam-malam ia menggendong ayahnya
Menyusuri jalan setapak menuju bukit
“Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?”
tanyanya sambil terengah-engah.
“Masih. Kadang ia menanyakan kau;
dan kukatakan saja : "Oh, dia sudah jadi pemain kata.”
“Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari kita bikin api unggun.”
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
“Tunggu, Yah, kunang-kunang sebentar lagi datang.”
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tidak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
Seribu kunang-kunang bertaburan di atas tubuhnya.
“Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli.
Joko Pinurbo
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar