Apakah Anda akrab dengan nama Bill Thompson? Jason Kaufman? Atau, barangkali, Max Perkins? Oh, kenapa hanya nama asing yang saya tanyakan! Baiklah, Suhindrati A. Sinta?
Rata-rata orang yang saya tanya menggelengkan kepala (seperti Anda?) ketika saya menyebutkan nama-nama itu. Tapi hasilnya berbeda begitu saya menyebutkan Stephen King, John Grisham, Dan Brown, Ernest Hemingway, Scott F.Fitzgeraldz, dan Andrea Hirata. Mereka penulis hebat. Kemungkinan besar Anda pun pernah membaca buku mereka atau minimal pernah mendengar nama dan judul karya mereka.
Nama-nama di awal adalah para editor penulis-penulis hebat itu, yang bekerja keras sehingga buku-buku itu bisa secara mulus menggugah dan mencerahkan Anda. Jarang kita dengar orang mengatakan di belakang penulis hebat ada seorang editor yang sama –bahkan boleh jadi lebih –hebat. Beberapa kritikus menilai karya-karya Hemingway mengalami penurunan setelah tak lagi diedit oleh Max Perkins, yang meninggal pada 1947, meskipun The Old Man and The Sea (1952) tetap dikenang sebagai karya legendarisnya. Perkins pun berperan besar untuk karya-karya Fitzgerald, termasuk The Great Gatsby (1925).
Peran editor baik di penerbitan ataupun media massa biasanya memang jarang disebut-sebut. Jika sebuah buku/artikel bagus, penulislah yang melambung namanya. Kalau ternyata buruk, ya, pasti juga akan berpengaruh terhadap pamor penulis. Tapi biasanya tak cukup sampai di situ, editornya pun terbawa-bawa (minimal ada pertanyaan siapa sih editornya?) Karena, bagaimana mungkin naskah seburuk ini bisa lolos?
Saya tahu rasanya berada di posisi penulis dan editor lepas serta memiliki banyak teman berprofesi penulis, editor tetap/lepas, atau melakukan keduanya. Sejujurnya, jika Anda memiliki cita-cita ingin terkenal –seperti saya –editor memang bukan profesi cocok untuk kita. (Saya melakukannya semata demi hobi dan, tentu saja, uang.)
Di Indonesia, penghargaan terhadap profesi editor relatif masih minim, baik dari pembaca maupun penulis sendiri. Jangankan menghargai, memahami pun kadang kurang. Saya pernah kesulitan menjelaskan fungsi editor kepada seorang mahasiswa yang berminat pada dunia penulisan. Dia keukeuh berpikir bahwa posisi editor itu lebih “rendah” atau setidaknya lebih “mudah” dibandingkan co-writer.
Di sisi penulis malah kerap ada sikap anti-edit. Suatu hari seorang editor penerbit dengan pertumbuhan terpesat saat ini menceritakan pengalamannya. Kebetulan penulisnya terkenal dengan ratusan naskah yang sudah lahir dari tangannya. Sementara si editor jauh lebih muda, masih berseragam merah putih saat si penulis sudah menanjak namanya.
Sang editor mengkritik naskah lalu menyampaikan beberapa masukan. Yang ada, penulis terkenal itu membalas dengan e-mail bernada ketus. “Bukannya editor itu tidak berhak ya mengutak-atik isi? Tugasnya kan hanya memperbaiki tanda baca atau kata yang salah eja.” Tak lama kemudian ia serta-merta menarik naskahnya dan mencari penerbit lain.
Ada lagi kisah seorang penulis sangat berbakat saat pertama kali menerbitkan naskahnya. Ceritanya unik dan kaya detail hingga tak heran penerbit besar sempat tertarik mengambilnya. Syaratnya, naskah itu harus dihilangkan beberapa bagian. Si penulis berbakat menolak dan memilih mencari penerbit lain.
Tak sulit baginya menemukan penerbit lain, meski tak sebesar penerbit pertama. Buku itu cukup laris, saya termasuk pembacanya. Dengan hormat, bagaimanapun saya mesti mengakui ada banyak hal yang harusnya bisa diedit. Bukan karena tak menarik, tapi karena kurang relevan dan mendukung alur secara keseluruhan. Aliran kisah menjadi berlarat-larat karena diberati pengetahuan yang tak signifikan dan potensial membuat pembaca lelah sebelum waktunya.
Ada pula kisah seorang penulis yang memenangi Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Jaminan mutu? Melihat jajaran jurinya, seharusnya begitu. Pastinya, mudah saja bagi si pemenang DKJ mendapatkan penerbit berkualitas. Tapi, sedari awal, ia menetapkan syarat: mencari penerbit yang tidak akan mengedit naskahnya. Alasannya, “Ya nggak mau saja. Biarkan sebagaimana aslinya.”
Ketika membaca novelnya, lagi-lagi dengan hormat saya bisa mengatakan gagasannya yang baru dan sangat menarik kemudian terkubur oleh diksi kurang efektif, alur memusingkan, lantas berakhir seperti anak panah meleset dari sasaran. Andai ditangani seorang editor andal, novel itu akan luar biasa.
Saya percaya, secara teoritis semua penulis memahami fungsi editor. Tapi ketika tiba giliran naskahnya hendak diedit, ternyata, persoalannya jadi berbeda. Apa yang terjadi sehingga ada resistensi dari penulis kepada editor? Mengapa sikap anti-edit ini kerap muncul?
Bisa jadi, bagi sebagian penulis, mengakomodasi peran editor seperti “mereduksi kapasitas alaminya”. Mungkin ada kecemasan pada penulis bahwa naskahnya akan kehilangan ciri dan identitas pribadinya. Seperti ada ketakutan bahwa naskah jadi “tak seindah aslinya”. Apalagi jika jam terbang si editor berada di bawahnya.
Kerap seorang penulis harus berkepala dan berhati dingin untuk memotong naskahnya sendiri. Jika ia tak mampu atau tak tega, itulah gunanya seorang editor. Kesetiaan utama editor memang haruslah kepada pembaca. Karenanya, ia bisa mengkritik dan mendorong si penulis habis-habisan untuk memperdalam, memotong, merombak ulang naskah, atau kadang melakukannya sendiri jika tak punya pilihan lain. (Editor yang baik pasti membangun dialog dengan penulisnya.)
Ketika Bill Thompson (editor buku-buku Stephen King) menemukan John Grisham, ia bisa dibilang manusia langka. Grisham sudah menerima penolakan dari 40-50 penerbit. Insting Thomson yang terasah jam terbang tinggi meyakini potensi naskah Grisham, A Time to Kill. Akan tetapi naskah setebal 900 halaman itu harus dipangkas habis-habisan.
Grisham bisa saja menolak, ngotot, atau bahkan mencari penerbit lain. Dia toh sudah mengalami dicampakkan berkali-kali, apa bedanya satu penolakan lagi? Akan tetapi ia cukup rendah hati untuk melakukannya, memangkas lemak-lemak naskah yang ditulisnya selama tiga tahun, bahkan membuang hingga 300 halaman (!)
Penulis Prima Rusdi menulis di blognya bagaimana editor memiliki peranan besar dalam kariernya. “Tugas mereka bukan memuja-muji tulisan saya tapi justru membantai habis bila perlu. Salah satu editor saya pernah dengan sukses membuat saya menulis ulang sebuah cerita pendek dari nol! Perdebatan sebelum proses penulisan ulang ini boleh dibilang gila-gilaan, tapi hasilnya melegakan.” tulisnya.
Grisham dan Prima menyadari betul bahwa dalam konteks naskah, “asli” sangat mungkin belum mencapai “indah”.
Sehebat apa pun seorang penulis, ia membutuhkan orang lain yang berjarak tertentu terhadap naskah sehingga sudut pandangnya pun lebih luas. Setelah bergulat dengan naskah, penulis menjadi terlalu dekat dengannya. Ibarat dahinya melekat pada lukisan yang dibuatnya, hingga tak banyak yang bisa dilihat. Butuh orang lain untuk melihat warna apa yang masih belum merata? Apakah prinsip keseimbangan dan keselarasan sudah terpenuhi? Atau bahkan apakah ia sudah berhasil melukis bidadari atau justru setan?
Karena saya pun kerap berada di posisi penulis, saya pastinya pernah juga terhinggapi penyakit anti-edit(or). Rasanya hampir selalu deg-degan ketika saya mengirim naskah ke editor dan menunggu feed back, apalagi jika mesti bertemu langsung. Pergi ke dokter gigi mungkin masih lebih baik. Meskipun saya tahu feed back editor adalah serum bagi naskah, tetap saja saya masih belajar menerima komentar, kritik, keharusan revisi, bahkan bongkar total (terlebih jika sang editor kebetulan bermulut tajam). Saya tahu kadang rasanya bisa menyakitkan. Apa daya, darah itu merah, Jenderal!
Editor seperti seorang coach bagi penulis. Tak hanya bersikap kritis terhadap gagasan dan isi naskah, ia pun mesti menantang si penulis agar bisa mengeluarkan sisi terbaiknya. Itulah perujudan dari cinta yang keras (tough love). Bukankah lebih baik dibantai editor dibanding publik dan kritikus yang bersuara lebih keras dan kerap lebih pedas?
Semoga saat tulisan ini menghampiri Anda, ia sudah tersentuh tangan dingin editor. Meskipun tentunya nama saya yang akan terpampang keren di bawahnya.
Feby Indirani, Penulis dan editor lepas
* Dinukil dari Ruang Baca Harian Koran Tempo Edisi 26 Juli 2009
Rata-rata orang yang saya tanya menggelengkan kepala (seperti Anda?) ketika saya menyebutkan nama-nama itu. Tapi hasilnya berbeda begitu saya menyebutkan Stephen King, John Grisham, Dan Brown, Ernest Hemingway, Scott F.Fitzgeraldz, dan Andrea Hirata. Mereka penulis hebat. Kemungkinan besar Anda pun pernah membaca buku mereka atau minimal pernah mendengar nama dan judul karya mereka.
Nama-nama di awal adalah para editor penulis-penulis hebat itu, yang bekerja keras sehingga buku-buku itu bisa secara mulus menggugah dan mencerahkan Anda. Jarang kita dengar orang mengatakan di belakang penulis hebat ada seorang editor yang sama –bahkan boleh jadi lebih –hebat. Beberapa kritikus menilai karya-karya Hemingway mengalami penurunan setelah tak lagi diedit oleh Max Perkins, yang meninggal pada 1947, meskipun The Old Man and The Sea (1952) tetap dikenang sebagai karya legendarisnya. Perkins pun berperan besar untuk karya-karya Fitzgerald, termasuk The Great Gatsby (1925).
Peran editor baik di penerbitan ataupun media massa biasanya memang jarang disebut-sebut. Jika sebuah buku/artikel bagus, penulislah yang melambung namanya. Kalau ternyata buruk, ya, pasti juga akan berpengaruh terhadap pamor penulis. Tapi biasanya tak cukup sampai di situ, editornya pun terbawa-bawa (minimal ada pertanyaan siapa sih editornya?) Karena, bagaimana mungkin naskah seburuk ini bisa lolos?
Saya tahu rasanya berada di posisi penulis dan editor lepas serta memiliki banyak teman berprofesi penulis, editor tetap/lepas, atau melakukan keduanya. Sejujurnya, jika Anda memiliki cita-cita ingin terkenal –seperti saya –editor memang bukan profesi cocok untuk kita. (Saya melakukannya semata demi hobi dan, tentu saja, uang.)
Di Indonesia, penghargaan terhadap profesi editor relatif masih minim, baik dari pembaca maupun penulis sendiri. Jangankan menghargai, memahami pun kadang kurang. Saya pernah kesulitan menjelaskan fungsi editor kepada seorang mahasiswa yang berminat pada dunia penulisan. Dia keukeuh berpikir bahwa posisi editor itu lebih “rendah” atau setidaknya lebih “mudah” dibandingkan co-writer.
Di sisi penulis malah kerap ada sikap anti-edit. Suatu hari seorang editor penerbit dengan pertumbuhan terpesat saat ini menceritakan pengalamannya. Kebetulan penulisnya terkenal dengan ratusan naskah yang sudah lahir dari tangannya. Sementara si editor jauh lebih muda, masih berseragam merah putih saat si penulis sudah menanjak namanya.
Sang editor mengkritik naskah lalu menyampaikan beberapa masukan. Yang ada, penulis terkenal itu membalas dengan e-mail bernada ketus. “Bukannya editor itu tidak berhak ya mengutak-atik isi? Tugasnya kan hanya memperbaiki tanda baca atau kata yang salah eja.” Tak lama kemudian ia serta-merta menarik naskahnya dan mencari penerbit lain.
Ada lagi kisah seorang penulis sangat berbakat saat pertama kali menerbitkan naskahnya. Ceritanya unik dan kaya detail hingga tak heran penerbit besar sempat tertarik mengambilnya. Syaratnya, naskah itu harus dihilangkan beberapa bagian. Si penulis berbakat menolak dan memilih mencari penerbit lain.
Tak sulit baginya menemukan penerbit lain, meski tak sebesar penerbit pertama. Buku itu cukup laris, saya termasuk pembacanya. Dengan hormat, bagaimanapun saya mesti mengakui ada banyak hal yang harusnya bisa diedit. Bukan karena tak menarik, tapi karena kurang relevan dan mendukung alur secara keseluruhan. Aliran kisah menjadi berlarat-larat karena diberati pengetahuan yang tak signifikan dan potensial membuat pembaca lelah sebelum waktunya.
Ada pula kisah seorang penulis yang memenangi Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Jaminan mutu? Melihat jajaran jurinya, seharusnya begitu. Pastinya, mudah saja bagi si pemenang DKJ mendapatkan penerbit berkualitas. Tapi, sedari awal, ia menetapkan syarat: mencari penerbit yang tidak akan mengedit naskahnya. Alasannya, “Ya nggak mau saja. Biarkan sebagaimana aslinya.”
Ketika membaca novelnya, lagi-lagi dengan hormat saya bisa mengatakan gagasannya yang baru dan sangat menarik kemudian terkubur oleh diksi kurang efektif, alur memusingkan, lantas berakhir seperti anak panah meleset dari sasaran. Andai ditangani seorang editor andal, novel itu akan luar biasa.
Saya percaya, secara teoritis semua penulis memahami fungsi editor. Tapi ketika tiba giliran naskahnya hendak diedit, ternyata, persoalannya jadi berbeda. Apa yang terjadi sehingga ada resistensi dari penulis kepada editor? Mengapa sikap anti-edit ini kerap muncul?
Bisa jadi, bagi sebagian penulis, mengakomodasi peran editor seperti “mereduksi kapasitas alaminya”. Mungkin ada kecemasan pada penulis bahwa naskahnya akan kehilangan ciri dan identitas pribadinya. Seperti ada ketakutan bahwa naskah jadi “tak seindah aslinya”. Apalagi jika jam terbang si editor berada di bawahnya.
Kerap seorang penulis harus berkepala dan berhati dingin untuk memotong naskahnya sendiri. Jika ia tak mampu atau tak tega, itulah gunanya seorang editor. Kesetiaan utama editor memang haruslah kepada pembaca. Karenanya, ia bisa mengkritik dan mendorong si penulis habis-habisan untuk memperdalam, memotong, merombak ulang naskah, atau kadang melakukannya sendiri jika tak punya pilihan lain. (Editor yang baik pasti membangun dialog dengan penulisnya.)
Ketika Bill Thompson (editor buku-buku Stephen King) menemukan John Grisham, ia bisa dibilang manusia langka. Grisham sudah menerima penolakan dari 40-50 penerbit. Insting Thomson yang terasah jam terbang tinggi meyakini potensi naskah Grisham, A Time to Kill. Akan tetapi naskah setebal 900 halaman itu harus dipangkas habis-habisan.
Grisham bisa saja menolak, ngotot, atau bahkan mencari penerbit lain. Dia toh sudah mengalami dicampakkan berkali-kali, apa bedanya satu penolakan lagi? Akan tetapi ia cukup rendah hati untuk melakukannya, memangkas lemak-lemak naskah yang ditulisnya selama tiga tahun, bahkan membuang hingga 300 halaman (!)
Penulis Prima Rusdi menulis di blognya bagaimana editor memiliki peranan besar dalam kariernya. “Tugas mereka bukan memuja-muji tulisan saya tapi justru membantai habis bila perlu. Salah satu editor saya pernah dengan sukses membuat saya menulis ulang sebuah cerita pendek dari nol! Perdebatan sebelum proses penulisan ulang ini boleh dibilang gila-gilaan, tapi hasilnya melegakan.” tulisnya.
Grisham dan Prima menyadari betul bahwa dalam konteks naskah, “asli” sangat mungkin belum mencapai “indah”.
Sehebat apa pun seorang penulis, ia membutuhkan orang lain yang berjarak tertentu terhadap naskah sehingga sudut pandangnya pun lebih luas. Setelah bergulat dengan naskah, penulis menjadi terlalu dekat dengannya. Ibarat dahinya melekat pada lukisan yang dibuatnya, hingga tak banyak yang bisa dilihat. Butuh orang lain untuk melihat warna apa yang masih belum merata? Apakah prinsip keseimbangan dan keselarasan sudah terpenuhi? Atau bahkan apakah ia sudah berhasil melukis bidadari atau justru setan?
Karena saya pun kerap berada di posisi penulis, saya pastinya pernah juga terhinggapi penyakit anti-edit(or). Rasanya hampir selalu deg-degan ketika saya mengirim naskah ke editor dan menunggu feed back, apalagi jika mesti bertemu langsung. Pergi ke dokter gigi mungkin masih lebih baik. Meskipun saya tahu feed back editor adalah serum bagi naskah, tetap saja saya masih belajar menerima komentar, kritik, keharusan revisi, bahkan bongkar total (terlebih jika sang editor kebetulan bermulut tajam). Saya tahu kadang rasanya bisa menyakitkan. Apa daya, darah itu merah, Jenderal!
Editor seperti seorang coach bagi penulis. Tak hanya bersikap kritis terhadap gagasan dan isi naskah, ia pun mesti menantang si penulis agar bisa mengeluarkan sisi terbaiknya. Itulah perujudan dari cinta yang keras (tough love). Bukankah lebih baik dibantai editor dibanding publik dan kritikus yang bersuara lebih keras dan kerap lebih pedas?
Semoga saat tulisan ini menghampiri Anda, ia sudah tersentuh tangan dingin editor. Meskipun tentunya nama saya yang akan terpampang keren di bawahnya.
Feby Indirani, Penulis dan editor lepas
* Dinukil dari Ruang Baca Harian Koran Tempo Edisi 26 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar