Duarr…!
Vonis dokter berupa ribuan kilogram TNT
menyebakan sebuah ledakan yang menghancurkan seluruh tubuhku.
Aku masih bisa melihat serpihan otak menempel pada dedaunan, bahkan beberapa jemari tanganku mengusik ketenangan ’si joy’ seekor kucing tetangga.
Berhari hari, berminggu minggu bahkan bertahun tahun istriku mengais sisa-sisa tubuhku di pelataran rumahku sendiri, beradu cepat dengan sekawanan semut yang mulai menggerogoti darah yang mengering pada tembok pagar, atau ribuan lalat yang berpesta layaknya menyambut panen raya.
Tanpa menggunakan masker, istri dan kedua anakku terus bekerja,
mengumpulkan seluruh potongan tubuhku yang tercerai berai,
dan menyatukan kembali di teras muka depan rumah,
di bawah tatapan ribuan wajah yang mengenakan topeng.
Ya…
Ribuan wajah yang mengenakan topeng.
Dan ludah-ludah mereka yang sama baunya dengan nafas pemabuk jalanan,
tumpah membanjiri rumah kami sebatas dada, hingga nafas kami sesak
dan harus berlindung di bawah ketiak-ketiak busuk mereka.
Lampu lampu kilat sesekali berkelebat, membutakan mata kedua anakku
yang tak lagi berair mata, hingga tidak mampu menghitung
berapa jumlah topeng yang merubungi kami.
Sorot lampu berkekuatan besar pun tak membuat istriku melepaskan lilin yang menyala redup di tangan kirinya, sementara jemari tangan kanannya yang tak lagi lentik, sibuk merekatkan serpihan serpihan tubuhku layaknya sebuah puzzel.
Dengan sebelah mata yang masih belum ditemukan, aku memperhatikan istri dan kedua anakku terus bekerja, tanpa sedetikpun pernah berhenti walau hanya untuk sekedar menarik nafas.
Ahh…
Cinta yang mengharu birukan hatiku
Cinta yang tak sepadan dengan apa yang pernah aku berikan kepada mereka.
Cinta yang membuat mereka berkubang di dalam lumpur kesengsaraan.
Cinta…
Ocekojiro.
http://ocekojiro.wordpress.com/2009/12/06/cinta-anak-dan-istri-penderita-leukemia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar