29 Mei 2009

Khitan pada Anak Perempuan

Nabi saw. pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi sebagai bidan untuk mengkhitan wanita ini, sabdanya: "Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami."


Khusus terkait dengan khitan bagi perempuan banyak kalangan yang menyatakan bahwa hal tersebut bisa melanggar hak asasi manusia, karena bisa berdampak negatif bagi si perempuan tersebut dan dapat menghalangi reaksi seksual bagi perempuan yang dikhitan.






Sebenarnya persangkaan seperti itu muncul karena ketidak fahaman terhadap ajaran Islam. Agama Islam mengajarkan kepada kita untuk berperilaku proporsional. Salah satunya adalah bagaimana bisa mengendalikan diri, termasuk mengendalikan hawa nafsu. Khitan bagi perempuan diharapkan bisa menjadi rem bagi perempuan untuk mengontrol hawa nafsunya. Karena menurut riwayat yang shahih, hawa nafsu perempuan berlipat lebih besar daripada laki-laki, walaupun hal tersebut bisa ditutupi oleh perasaan malunya yang juga lebih besar daripada laki-laki. Seandainya rasa malu sudah menjadi suatu hal yang dianggap tidak penting bagi perempuan, maka bisa dibayangkan akan seperti apa jadinya tatanan sosial yang ada, karena pada dasarnya laki-laki adalah makhluk yang rapuh sekali dalam menghadapi rayuan perempuan. Maka sekarang hasilnya sudah mulai terlihat, di mana seks bebas telah menggejala di hampir semua negara, terutama di kota-kota besar.

Di sisi lain, yang harus digaris bawahi, khitan bagi perempuan yang diajarkan oleh syariat Islam bukanlah sebagaimana dipersepsikan orang yang menentangnya. Khitan bagi perempuan menurut ajaran Islam cukup dilakukan dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris, dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi).


Praktik sunat pada perempuan (SP) sudah ada sejak jaman sebelum masehi. Penelitian anthropologi mendapatkan praktek tersebut pada mummi mesir yang justru ditemukan pada kalangan kaya dan berkuasa, bukan oleh rakyat jelata. Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk mencegah masuknya roh jahat melalui vagina.

Survei epidemiologi WHO menemukan beberapa alasan melakukan SP seperti identitas kesukuan, tahapan menuju wanita dewasa, pra-syarat sebelum menikah juga pemahaman seperti klitoris merupakan organ kotor, mengeluarkan sekret berbau, mencegah kesuburan atau menimbulkan impotensi bagi pasangannya. Banyak hal medis terkait dengan alasan FGM ini kemudian terbukti salah.

praktek SP bukan monopoli mereka yang “terbelakang”. Saat ini tidak sedikit keluarga muda, sarjana, bekerja dan hidup di perkotaan, justru bersemangat melakukannya terhadap anaknya, bahkan meski mereka sendiri di masa kecilnya tidak mengalaminya. Semangat menjalankan agama nampaknya berpengaruh dalam hal ini.

Menurut berita tersebut, medikalisasi harus dilarang meskipun filosofinya adalah mengurangi risiko kesehatan daripada dilakukan oleh bukan tenaga medis. Langkah ini dianggap berbahaya karena menggunakan peralatan seperti pisau, jarum dan gunting.

Memang, sekilas gambaran medikalisasi SP menakutkan karena penggunaan-penggunaan alat-alat seperti itu. Tetapi yang saya ketahui dan pernah baca di media, yang dilakukan adalah membuat perlukaan kecil pada daerah klitoris. Bahkan, banyak yang hanya mempraktikkan “sunat psikologis” dimana sekedar ditoreh sedikit dengan ujung jarum, keluar setetes darah, dan orang tua pasien sudah puas. Bahkan kadang, hanya di”sandiwara”kan dengan meneteskan cairan antiseptik sewarna darah, yang sekaligus diteruskan dengan pembersihan daerah sekitar klitoris.

Perlu disadari, dalam hal ini kita berhadapan dengan orangtua yang merasa memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan tersebut terhadap anaknya. Ketika ini sudah berkaitan dengan soal keyakinan agama, maka persoalannya tidak lagi sederhana, yang berujung pada perilaku kesehatan. Rasanya kita semua mengerti bahwa menghadapi masalah perilaku, tidak sekedar soal larang-melarang.

Yang menarik, sebenarnya tuntunan agama dalam hal ini pun menyebutkan "Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami". Bukankah berarti menjadi cocok dengan pilihan para petugas medis yang hanya "menorehkan" sedikit luka tersebut? Dan bukankah berarti praktik yang sampai beberapa tipe tersebut sebenarnya tidak dilandasi pemahaman agama yang tepat?

Soal kesehatan reproduksi wanita ditonjolkan oleh kelompok “penentang” SP, tetapi bagaimana dengan makin maraknya body-piercing bahkan terhadap alat kelamin di kalangan wanita? Kalau soal hak menentukan pilihan sendiri yang berikutnya ditonjolkan, bukankah sunat perempuan pun merupakan pilihan sendiri sesuai keyakinannya? Bagaimana juga kalau dipertanyakan kewajiban negara untuk melindungi kebebasan warganya menjalankan keyakinan agamanya sebagai bagian dari hak asasi manusia?

WHO sendiri memang juga berpendapat tidak boleh ada praktek FGM oleh tenaga kesehatan. Tetapi European Journal of Obstetrics and Gynecology bulan Oktober 2004 lalu menganalisa bahwa usaha terbaik untuk mengatasi praktek sunat perempuan harus berupa pendekatan yang non-direktif, sesuai dengan kultur lokal dan dari banyak sisi (multi-factes).

Wujudnya berfokus pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam mensikapi praktek FGM, dengan muaranya adalah munculnya keputusan mandiri, bukan atas program dari luar.

Pengalaman di beberapa negara, pendekatan legal-formal secara direktif justru menimbulkan resistensi. Bisa dibayangkan kalau tenaga medis benar-benar dilarang “melayani” sunat perempuan, bukankah justru membuka lebih lebar peluang praktek secara “tradisional”.

Pengalaman di Kenya menunjukkan, justru melalui medikalisasi secara perlahan bisa dicapai pemahaman masyarakat yang lebih proporsional soal SP. Sebagian masyarakat memang tetap menganggapnya sebagai kewajiban, tetapi kepedulian terhadap risiko kesehatan membuat mereka lebih berhati-hati. Wujudnya dengan memilih tipe FGM yang berisiko minimal (tipe paling ringan atau sekedar sunat-psikologis), bahkan masih ditambah meminta injeksi anti-tetanus sebagai tindakan pencegahan.

Penggunaan jarum, pisau atau gunting oleh tenaga medis di samping prosedur tindakan yang memenuhi prinsip aseptik dan anti-septik, tidak bisa dibantah akan meminimalkan risiko kesehatan. Bukankah ini juga yang dikehendaki bersama?

Yang harus diatur, justru tidak boleh ada praktek sunat perempuan bukan oleh tenaga yang tersertifikasi. Selanjutnya kepada tenaga medis diterbitkan aturan standar praktik sunat perempuan, dengan mengacu pada risiko minimal. Bukankah alasan ini pula yang mendasari sikap Depkes soal pengaturan tindakan aborsi?

Muara dari langkah tersebut, pada akhirnya masyarakat akan mampu membuat keputusan sendiri soal sunat perempuan. Dalam proses menuju kesana, tindakan seperti melarang tenaga medis melayani sunat perempuan, hanya akan menjadikan batu sandungan. Alih-alih mampu menghentikan, bukan tidak mungkin justru menjadi bumerang. Anak perempuan saya Queency, juga dikhitan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar