02 Maret 2011

Tentang Teman-Teman Saya di Padang Masyar Nanti

Dalam perjalanan pulang dengan rute Danau Singkarak-Solok- Padang, kira-kira 75 kilometer jaraknya, saya singgah sebentar di SPBU di Kubung untuk mengisi bensin dan shalat. Kubung adalah daerah batas kota Solok menuju Padang. Menjelang Kubung, hujan sudah mulai turun, jadi selain shalat, saya duduk sebentar di teras. Mantel tertinggal di Padang.

Tadi sebelum masuk ke mushalla, di bawah hujan yang menderas itu, saya melihat sepasang manusia yang nampaknya pengemis melintas dari pom bensin ke arah ruko yang berada satu pagar dengan pom itu juga. Yang laki-laki dituntun oleh yang perempuan. Saya sudah terbiasa melihat pengemis buta yang dituntun, tetapi pasangan ini menarik perhatian saya dari jauh. Keduanya berbadan kecil meskipun tidak cebol. Kemudian mereka tidak tampak lagi.

Hujan masih turun sebentar setelah saya shalat, tapi kemudian reda. Saya kemudian memutuskan sesegera mungkin meneruskan perjalanan ke Padang sebelum terjebak hujan lagi. Ketika saya melewati samping ruko, saya melihat pasangan pengemis tadi ternyata masih berdiri di sana dan nampak akan pergi. Masih di atas sepeda motor, saya kemudian memanggil, “Mak, sabanta Mak” (Ibu, sebentar, ibu). Ibu ini meninggalkan putranya yang buta dan berjalan 3-4 langkah menuju saya.

Entah sejak berapa lama, saya sudah tidak pernah lagi memberi uang pada para pengemis. Aqidah yang saya yakini mengatakan Keadilan adalah sifat yang paling utama dari Tuhan selain dari Kasih Sayang. Hanya dengan Keadilanlah kemudian maaf dan ampun dapat hadir. Saya tidak lagi memberi uang kepada pengemis, yang menghidupi dirinya yang sanggup bekerja hanya dengan meminta uang, karena merasa bila melakukan itu, saya tidak adil terhadap mereka yang miskin tapi bekerja keras.

Apakah inti memberi itu? Bagi saya, memberi itu adalah menghormati. Saya ingin orang-orang yang menerima sesuatu bukan karena mereka merasa lebih rendah dari yang memberi. Mestinya pemberian ditujukan untuk membuat yang menerima merasa berharga, merasa apa yang dikerjakannya bermanfaat bagi orang lain, dan seterusnya.

Dalam bukunya, The Selfish Gene (1976, diulangi dalam edisi ulang tahun ke tiga puluh buku ini, tahun 2006), Richard Dawkins, ilmuwan atheis itu mengutip ilmuwan lain yang mengatakan bahwa :“Kebaikan” itu bukan motif manusia, kalaupun mereka memberi pada orang lain, itu hanya karena ingin menunjukkan bahwa dia lebih mampu dari orang yang ditolongnya, memberi sekadar untuk menunjukkan kekuatannya, untuk pamer."


Saya menghindari dari memberi seperti ini, itulah yang menyebabkan saya memberi untuk menghargai para pekerja keras yang mendapatkan tidak seberapa dari keringatnya, atau yang masih harus bekerja setelah orang lain beristirahat. Kadang saya membayar lebih supir angkot yang malam hari masih mencari penumpang, membayar lebih penjual kerupuk dengan sepeda bobrok ketika kerupuknya masih banyak padahal hari sudah maghrib, membayar lebih penjual jagung rebus yang masih meneriakkan dagangannya jam 10 malam dengan berjalan kaki. Membayar lebih yang saya maksud berarti saya membayar satu keranjang dagangannya hari itu, tetapi hanya membawa pulang segenggam tangan saja.


Setelah dekat, saya dapat melihat dengan jelas betapa tubuh mereka memang lebih kecil dari manusia normal (dengan fisik seperti ini, saya langsung membayangkan betapa sakit bagi ibu ini melahirkan anaknya dulu). Ketika saya kemudian berdiri di dekat ibu itu, wajahnya seperti berusia 60 tahun, tingginya nampaknya kurang dari 140 cm. Semuanya kecil, tangannya, wajahnya, kakinya. Ketika saya bertanya dimana tinggalnya, beliau menjawab, “di tanah Aji Ali..lai tau anak Aji Ali?” (di tanah Aji Ali…Anak tau Aji Ali?”). Dari jawabannya ini saya tau betapa ibu ini hidup hanya sejauh kaki berjalan membawanya. Bahkan sesudah saya mengatakan saya tidak tahu dan tinggal di Padang, beliau nampak masih bingung.

Setelah menerima uang dari saya, beliau kemudian mengatakan, “Tarimo kasih Nak, samugo pintu rasaki Anak tabukak di tampek-tampek lain, samugo pintu rasaki Anak aluih tabukonya” (Terima kasih, Nak, semoga pintu rezeki Anak terbuka di tempat-tempat lain, semoga pintu rezeki anak halus terbukanya).

Setelah turun dengan segera dari sepeda motor, saya mencium jarinya yang kecil itu dua atau tiga kali sambil mengucapkan terima kasih. Mata saya basah mendengar doa ini. Terbayang lagi oleh saya perjalanan kira-kira 75 kilometer yang saya tempuh hari ini untuk bertemu hanya 15 menit dengan user kami, dan pulang menempuh jarak yang sama dengan penjadwalan ulang pembayaran. Terbayang lagi bagaimana ketika berangkat tadi dua kali saya hampir ditabrak mobil yang menyalip ugal-ugalan di tikungan.


Saya tidak mengerti apa maksud doanya yang terakhir, apakah ada bedanya pintu rezeki yang terbuka dengan halus dan yang terbuka dengan kasar? Apakah yang dimaksudnya dengan kasar berarti kekayaan, sedang yang dimaksud dengan halus adalah berkah? Apakah yang dimaksud dengan kasar berarti saya mengorbankan orang lain sedangkan halus berarti menumbuhkan orang lain? Saya tidak tahu sama sekali ke mana arahnya.

Sesaat kemudian saya melihat putranya yang nampak sudah dewasa ini meraba-raba mencari suara ibunya. Dalam kondisi yang lebih siap, saya cepat mendekati laki-laki yang sama tinggi, yang semua fisiknya juga sama ukurannya dengan ibunya ini. Memeluknya sepenuh hati saya, kemudian mencium tangannya. Saya mengucapkan terima kasih, “Alhamdulillah, ambo basuo jo uda” (Alhamdulillah, saya bertemu dengan Abang). Ketika saya cium tangannya, sambil tangan kirinya berusaha mencari-cari pundak saya laki-laki ini mengatakan, “Samugo Allah mangganti a nan lah uda ikhlaskan.” (Semoga Allah mengganti apa yang sudah Abang ikhlaskan).

Saya pribadi sebetulnya tidak ada keluhan sedikitpun terhadap apa yang saya alami hari ini. Ada banyak hal-hal tak-terulang-lagi yang saya alami hari ini dan sangat saya syukuri, yang dapat saya tuliskan menjadi sebuah note yang lain. Saya juga tahu bahwa doa ini bukan tentang uang yang sudah saya serahkan. Doa kadang-kadang tentang harapan, tetapi tidak jarang isinya adalah peringatan. Karena itu, saya mengerti, doa itu mengingatkan saya kepada apa-apa yang masih saja saya tahan di dalam hati, padahal telah saya serahkan kepada orang lain. Saya juga mengerti bahwa di mata Tuhan mudah sulitnya transisi dari satu penggantian kepada penggantian yang lain tergantung pada keikhlasan saya.


Saya kemudian pamit, menurunkan visor helm, kemudian melanjutkan perjalanan ke Padang, kira-kira 50 kilometer lagi. Saya seperti terbang karena merasa tersentuh. Sampai ke Padang, tidak sedikitpun hujan turun lagi.

Saya belum tahu bagaimana makna utuh kejadian ini. Tetapi, sebagaimana pernah saya tuliskan di catatan saya yang lain, saya sangat ingin dibangkitkan di akhirat bersisi-sisian dengan manusia-manusia seperti ini. Yang nanti timbangannya cepat dan sederhana serta tidak banyak menjawab pertanyaan yang sulit dari Tuhan. Ini bukan tentang sedekah, ini bukan tentang menolong orang lain yang lebih lemah, ini tentang memeluk, mencium tangan, dan didoakan oleh orang-orang yang saya harapkan menjadi teman saya di Padang Mahsyar kelak. Saya bahagia menjalani pengalaman ini dan bahagia merenungkannya kembali.

Sumber : Nash Azfa Manik




Tidak ada komentar:

Posting Komentar