SAAT banyak tokoh atau karakter bisa dijadikan panutan oleh anak, orangtua diharapkan bisa menjadi panutan paling arif. Sudah pantaskah kita menjadi panutan anak?
Kalau dihitung dengan jari, rasanya 20 jari kita tidak cukup untuk menyebutkan harapan kita terhadap masa depan anak, sebut saja pintar, sehat, sholeh, berbakti, sukses, baik hati, percaya diri, dan sebagainya.
Sebanyak apa orangtua ingin membangun masa depan anak, maka sebesar itu pula orangtua harus menjadikan dirinya demikian.
"Kita mau jadi orangtua yang seperti apa? Si kecil akan jadi anak yang seperti apa? Tuntutan pada anak sesuai dengan seperti apa seharusnya orangtua," tutur psikolog Tika Bisono pada gathering Sahabat Ristra di House of Ristra, Radio Dalam, Jakarta Selatan, Jumat (24/12/2010).
Sebelum pantas dijadikan idola, Tika menegaskan, orangtua harus menjadikan buah hatinya idola terlebih dahulu.
"Kalau belum bisa, kita belum layak jadi idola untuk mereka," tukasnya.
Sayang, pengharapan orangtua terlalu tinggi hingga tidak bisa menjadikan anak sebagai idola.
"Saat marah, orangtua menjadi tidak rasional. Pengharapan orangtua terlalu besar sehingga lupa menerima anak apa adanya. Kita terjebak dengan harapan-harapan yang tidak rasional terhadap anak," kata penulis My Teens My Inspiration ini.
Bagaimana cara menjadikan anak sebagai idola? Tika menjawab dengan pujian.
"Bentuk mengidolakan sama dengan memberi pujian. Kapan kita ingat untuk mengidolakan anak? Orangtua kalau ngomong pakai (nada) do tinggi terus, jadi lupa mengidolakan mereka. Kita tak bisa melihat kebaikan mereka," ujar Tika.
Untuk bisa memberi pujian pada anak, Tika menegaskan, orangtua harus belajar untuk menjadi pribadi asertif. Berbeda dengan kepribadian narsistik sebagai bentuk kelainan pemujaan sendiri, asertif adalah orang yang sangat tahu kelebihan, memahami talenta, dan berani mengutarakannya secara rendah hati, justru untuk dibagikan kelebihannya.
"Masalahnya, pola asuh kita jarang membiasakan kita menjadi asertif, tapi untuk rendah diri. Kita dilarang kelihatan berbeda, enggak boleh menyombongkan diri. Karena tidak bisa memuji diri sendiri, kita pun tidak cerdas memuji orang lain," tukasnya.
Tika mencontohkan, saat kita ingin memuji wajah teman yang makin bersih jerawat, alih-alih memakai kalimat, "Mukamu makin cerah, sekarang makin cantik“, kita lebih senang pakai kalimat "Tumben enggak jerawatan, pakai produk baru ya?" dengan wajah agak sinis. Dalam hati mengagumi, tapi sulit untuk bisa memuji.
"Self recognition sangat baik untuk perkembangan kepribadian. Saat orangtua tidak bisa mengapresiasi prestasi anak, di bidang apa pun, jangan harap kita bisa diidolakan anak. Mencontohkan dulu, baru menuntut ke anak," ujar Tika.
Kalau dihitung dengan jari, rasanya 20 jari kita tidak cukup untuk menyebutkan harapan kita terhadap masa depan anak, sebut saja pintar, sehat, sholeh, berbakti, sukses, baik hati, percaya diri, dan sebagainya.
Sebanyak apa orangtua ingin membangun masa depan anak, maka sebesar itu pula orangtua harus menjadikan dirinya demikian.
"Kita mau jadi orangtua yang seperti apa? Si kecil akan jadi anak yang seperti apa? Tuntutan pada anak sesuai dengan seperti apa seharusnya orangtua," tutur psikolog Tika Bisono pada gathering Sahabat Ristra di House of Ristra, Radio Dalam, Jakarta Selatan, Jumat (24/12/2010).
Sebelum pantas dijadikan idola, Tika menegaskan, orangtua harus menjadikan buah hatinya idola terlebih dahulu.
"Kalau belum bisa, kita belum layak jadi idola untuk mereka," tukasnya.
Sayang, pengharapan orangtua terlalu tinggi hingga tidak bisa menjadikan anak sebagai idola.
"Saat marah, orangtua menjadi tidak rasional. Pengharapan orangtua terlalu besar sehingga lupa menerima anak apa adanya. Kita terjebak dengan harapan-harapan yang tidak rasional terhadap anak," kata penulis My Teens My Inspiration ini.
Bagaimana cara menjadikan anak sebagai idola? Tika menjawab dengan pujian.
"Bentuk mengidolakan sama dengan memberi pujian. Kapan kita ingat untuk mengidolakan anak? Orangtua kalau ngomong pakai (nada) do tinggi terus, jadi lupa mengidolakan mereka. Kita tak bisa melihat kebaikan mereka," ujar Tika.
Untuk bisa memberi pujian pada anak, Tika menegaskan, orangtua harus belajar untuk menjadi pribadi asertif. Berbeda dengan kepribadian narsistik sebagai bentuk kelainan pemujaan sendiri, asertif adalah orang yang sangat tahu kelebihan, memahami talenta, dan berani mengutarakannya secara rendah hati, justru untuk dibagikan kelebihannya.
"Masalahnya, pola asuh kita jarang membiasakan kita menjadi asertif, tapi untuk rendah diri. Kita dilarang kelihatan berbeda, enggak boleh menyombongkan diri. Karena tidak bisa memuji diri sendiri, kita pun tidak cerdas memuji orang lain," tukasnya.
Tika mencontohkan, saat kita ingin memuji wajah teman yang makin bersih jerawat, alih-alih memakai kalimat, "Mukamu makin cerah, sekarang makin cantik“, kita lebih senang pakai kalimat "Tumben enggak jerawatan, pakai produk baru ya?" dengan wajah agak sinis. Dalam hati mengagumi, tapi sulit untuk bisa memuji.
"Self recognition sangat baik untuk perkembangan kepribadian. Saat orangtua tidak bisa mengapresiasi prestasi anak, di bidang apa pun, jangan harap kita bisa diidolakan anak. Mencontohkan dulu, baru menuntut ke anak," ujar Tika.
Sumber : okezone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar