01 Desember 2009

Sisi Gelap Gerilya Padri

Negeri ini punya banyak pahlawan nasional. Kebanyakan pahlawan lahir dari kancah perang gerilya, termasuk yang dikobarkan gerakan Padri di Minangkabau, Sumatera Barat.

Sudah tertanam sejak sekolah dasar, gerakan Padri adalah gerakan antikolonial. Dua tokohnya, Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, adalah pahlawan nasional.

Era informasi ini membuat banyak peristiwa terpendam muncul ke permukaan. Satu dampak yang tak perlu dirisaukan, kalangan terdidik ramai menafsirkan kembali kriteria pahlawan. Di Bali, beberapa sejarawan melihat Puputan, yang dipimpin I Gusti Ngurah Made Agung, bukanlah perang rakyat Bali, melainkan hanya keluarga Puri Badung. Di Makassar, ada sejarawan yang melihat bukan Hasanuddin, melainkan Arung Palaka, yang membuat Sulawesi Selatan tak bisa sepenuhnya ditundukkan VOC.

Orang juga mempersoalkan Imam Bonjol. Sebuah petisi online yang dipublikasikan luas di Internet meminta pemerintah mencabut gelar pahlawan yang diberikan pada 1973.

Alasan yang dikemukakan mengagetkan, sekaligus ironis. Imam Bonjol bertanggung jawab atas pembantaian lokal. Gerakan Padri diketahui sebagai gerakan anti-Belanda, tapi tujuan utamanya memurnikan syariat Islam. Kelompok Padri berpaham Wahabi itu ingin Islam di Sumatera Barat bersih dari unsur kultural. Sayangnya, pemurnian memakan korban besar. Keluarga Istana Pagaruyung dijagal, di Tanah Batak terjadi pembunuhan massal. Dalam tragedi itu disebutkan banyak perempuan dirampas, diperjualbelikan.

Tuanku Imam Bonjol dan Tambusai dianggap mengetahui segala kekerasan itu tapi tidak mencegahnya. Mereka yang berusaha memahami kedua tokoh itu beranggapan adab lokal yang melegalkan perbudakan membuat keduanya memaklumi penjualan gadis. Penyerbuan ke Pagaruyung dan Tanah Batak, di mata yang pro, seakan dibenarkan sebab dua daerah itu memihak kolonial. Pendapat yang antikekerasan belum pernah terdengar.

Bahkan belum ada risalah yang seimbang tentang kontroversi Padri. Polemik baru muncul pada 1964. Mangaradja Onggang Parlindungan menerbitkan buku Tuanku Rao. Parlindungan adalah pejuang dan ikut mendirikan PT Pindad Bandung. Ia bukan sejarawan profesional. Meski isi bukunya menantang, secara metodologis ia memang amatir.

Pada Juni 1969, Parlindungan dan ulama terkenal Hamka bertemu dalam diskusi di Padang. Parlindungan tidak bisa menjawab banyak kritik Hamka. Buku Parlindungan ditarik, tapi Hamka tidak berhenti. Pada 1974, pemuka agama itu mengeluarkan buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.

Polemik Padri tidak lantas mati. Penyebab terpenting, Hamka tidak membahas pokok soal: pembantaian Pagaruyung dan Batak. Buku Hamka kritis, tapi ia menghindar menulis tragedi berdarah tadi. Dan kini Tuanku Rao diterbitkan kembali. Bahkan sebuah buku baru kekejaman Tuanku Tambusai, karangan seorang ahli sejarah Mandailing, juga muncul.

Tak perlu cemas menyikapi pengungkapan fakta baru sejarah ini. Sangat tak beralasan menyulut konflik Minang dan Batak karena ada yang mendedahkan tarikh baru. Polemik Parlindungan dan Hamka sebenarnya contoh baik. Debat tidak melahirkan permusuhan etnis atau pembakaran buku histori. Keduanya bersahabat, Parlindungan selalu menjemput Hamka untuk salat Jumat bersama.

Nama Imam Bonjol biarlah tetap menghiasi buku sejarah, juga menjadi nama jalan di berbagai kota. Hanya perlu informasi tambahan tentang kekerasan Padri, tanpa bumbu sensasi, dalam rumusan yang disepakati bersama. Data baru itu penting untuk menambah kedalaman buku sejarah kita. ***

Sumber: tempointeraktif.com, Senin, 15 Oktober 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar