04 Agustus 2009

Tak Ada Salah Anak, Yang Ada Salah Didik!

5 Agustus 2009

Memang tidak ada sekolah menjadi orangtua. Karena itu kadang kita tanpa sadar telah menjerumuskan anak-anak pada ranjau-ranjau mental, yang membuat mereka tumbuh sebagai pribadi yang tidak sehat. Seperti penuh keraguan, merasa tidak berharga kalau tak berprestasi, tidak bisa mengekspresikan emosi, dan lain-lain.

Wajar bahwa setiap orangtua mengharapkan anak-anak tumbuh secara sehat dan memiliki bekal yang baik untuk hidup. Lebih-lebih di tengah persaingan yang semakin ketat akhir-akhir ini.
Namun, karena ketidaktahuannya, seringkali tanpa sadar orangtua telah menerapkan pendidikan yang bukannya membuat anak jadi bertumbuh sehat dan optimal, malah memble. Misalnya, orangtua sangat memaksakan hal-hal yang di luar minat dan kemampuan anak.

Orangtua menerapkan apa yang dulu dilakukan orangtua mereka terhadap anak-anak. Orangtua menumpahkan segala harapan yang dulu ingin diraihnya tetapi gagal, ke pundak anak-anak. Orangtua mengharapkan anaknya bisa meraih segala sesuatu lebih sempurna dibanding mereka sendiri.

Dan karena segala pemaksaan keinginan dan harapan itu adalah milik orangtua tetapi tidak sesuai bagi anak-anak, mereka bahkan bisa bertumbuh menjadi pribadi yang tidak diharapkan. Bukan hanya orangtua yang akhirnya kecewa, anak-anak pun merasakan hal yang sama. Mereka bisa tertekan dan merasa bersalah kalau bukan memendam kemarahan, karena merasa tidak dapat memenuhi harapan orangtua dan memvonis diri gagal.

Lima Ranjau
Seorang psikolog bernama Kevin Steede, Ph.D, memberikan lima contoh “ranjau” yang tanpa sadar sering ditebarkan oleh orangtua bagi anak-anaknya: 1) Saya harus baik dalam segala hal, 2) Diri saya adalah prestasi-prestasi saya, 3) Emosi-emosi negatif adalah buruk, 4) Semua orang harus menyukai saya, 5) Melakukan kesalahan atau minta pertolongan adalah salah.

“Menjadi” yang terbaik dengan “melakukan” yang terbaik adalah dua hal yang sangat berbeda. Pada umumnya orangtua menuntut anaknya untuk menjadi yang terbaik, sehingga anak merasa stres, malu, kecewa jika tidak mampu menjadi yang terbaik. Harga diri anak mengalami kemerosotan. Padahal, tidak mungkin menjadi yang terbaik dalam segala hal.

Yang lebih tepat dan penting adalah memberi penghargaan kepada anak atas usaha mereka, bukan hasil yang telah dicapai. Karena melakukan yang terbaik jauh lebih sehat dan berharga bagi kesehatan mental anak.

Anak-anak juga tidak selalu mudah meyakini bahwa ayah dan ibu menyayangi atau mencintai mereka. Karena itu orangtua diharapkan dapat menunjukkan perbedaan antara “siapa mereka” dengan “apa yang mereka lakukan”.

Kita bisa setuju atau tidak setuju dengan perilaku atau perbuatan mereka. Namun, rasa cinta atau sayang tidak pernah berubah dalam cinta tanpa syarat yang seharusnya terjalin antara orangtua dan anak.

Misalnya, Anda bisa mengatakan, “Ayah dan Ibu tidak setuju kamu membeli mainan jenis ini. Tetapi, karena kamu bersikeras dan membeli dengan uang tabunganmu sendiri, ya kami menghargai keputusanmu.” Dengan cara ini anak akan belajar membedakan mana cinta dan mana perbuatan yang tidak patut didukung.

Hindari menyatakan rasa sayang kepada anak-anak saat mereka sedang menunjukkan perbuatan atau prestasi istimewa. Karena mereka disayangi dan dicintai bukan karena berprestasi atau berbuat baik (pakai syarat).

Kesedihan, ketakutan, kemarahan, dan berbagai emosi negatif lain adalah perasaan yang normal untuk dialami, dan setiap anak (laki-laki maupun perempuan) berhak untuk mengalaminya. Bahwa ada cara mengekspresikan yang tepat atau tidak tepat, itu soal lain.

Itu sebabnya kita sebagai orangtua perlu berhati-hati ketika menerapkan suatu nilai. Jangan sampai anak mendapatkan kesan bahwa mengungkapkan perasaan pertanda kelemahan. Seperti sering terdengar orang berucap, “Anak laki-laki nggak boleh menangis.” Padahal, menangis itu wajar bagi siapa pun.

Anak juga perlu tahu bahwa hidup juga tidak harus selalu menyenangkan orang lain. Perbedaan pendapat dan konflik akan selalu ada. Mendengarkan pendapat guru, orangtua, dan orang lain itu penting. Namun, anak perlu punya pendapat sendiri yang diyakininya.

Dengan mengerti bahwa mereka tidak harus selalu menyenangkan orang lain, anak tidak akan berusaha mengandalkan orang lain untuk bisa merasa baik dan nyaman dengan dirinya sendiri. Mereka akan lebih yakin pada diri sendiri. Anak yang merasa harus selalu menyenangkan orang lain akan tumbuh sebagai pribadi yang penuh keraguan. Memang tidak mudah menjadi orangtua.
Widya Saraswati


Tidak ada komentar:

Posting Komentar