19 Agustus 2009

Nilai Sebuah Apresiasi

Dalam sebuah buku berjudul “Seni Mendidik Anak” karya Syaikh Muhammad Said Mursi, ada hal yang sangat menarik tentang Apresiasi untuk anak. Berikut kutipannya:

Anak haruslah merasa bahwa dirinya merupakan kebanggaan orangtua, keluarga, guru, dan orang lain.


Dia harus diperlakukan sebagai seorang yang berharga, serta keberadaaan dan usahanya harus dianggap diperlukan oleh orang lain. Untuk membangkitkan perasaan tersebut dapat dilakukan dengan melibatkannya dalam memberikan bantuan yang sederhana kepada orang lain yang ada di sekelilingnya, dilibatkan dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah sesuai kemampuannya. Seperti menyapu, menghilangkan debu, membuang sampah, membawakan sesuatu untuk ibu dan ayahnya, membawa sesuatu untuk tamu dan kerabat ketika ada kunjungan keluarga dan sebagainya.


Tidak dibenarkan bila seorang bapak berkata kepada anaknya, ‘Pergilah kamu, karena kamu masih kecil, jangan banyak bicara’. Atau melarangnya untuk bermain besama kakaknya, seraya dikatakan kepadanya, “Kalau kamu sudah seumur dengan saya, kamu baru boleh bermain dengan saya. Nanti kalau sudah besar baru boleh bermain dengan saya”. Jangan salahkan apabila ia sering pergi bersama anak perempuan tetangga yang suka menghargainya, atau ia pergi ke lingkungan yang rusak, karena di sana ia merasa dihargai, atau lebih mencintai gurunya karena ia suka memujinya ketika ia menjawab pertanyaan, atau bermain dengannya pada mata pelajaran olah raga. Sehingga gurunya menjadi panutan yang utama dan bukan bapak atau saudaranya


Saya jadi teringat suatu ketika dalam sebuah forum reuni, di sana kami saling curhat. Salah seorang teman menceritakan tentang masa lalunya. Allah menakdirkan kakinya tidak “sempurna”. Ada perasaan minder pada dirinya, beliau melihat dirinya berbeda, dirinya tidak “sempurna”. Tapi ternyata, itu tidak membuatnya putus asa. Beliau lakukan berbagai hal untuk membuat dirinya berarti dan membuat orang tuanya bangga. Alhamdulillah, di sekolahnya, beliau masuk 10 besar. Tentunya beliau senang. Guru dan temannya memberikan selamat kepadanya. Namun, ketika menyampaikan pada ayahnya, ternyata jauh dari harapan. Tak ada ucapan selamat. Dingin. Kering. Kecewa ? sudah pasti.


Namanya kehidupan, tentu ada pasang surutnya. Suatu ketika, ternyata prestasi beliau tidak seperti biasanya. Beliau tidak masuk 10 besar di kala itu. Dan ayahnya marah luar biasa. Kata demi kata bertubi-tubi menghujani dirinya. Padahal, baru sekali tidak masuk 10 besar. Dan beliau pun masih di rangking belasan, bukan di papan bawah. Tapi seolah itu adalah kesalahan fatal yang tak termaafkan. Beliau menangis. Hatinya hancur. Pikirannya kalut. Di benaknya berseliweran pikiran-pikiran buruk. Beliau berpikir, di saat mendapat prestasi, tak ada sedikitpun penghargaan. Padahal itu dicapai dengan perjuangan luar biasa. Tapi, ketika sedikit saja ‘kesalahan’, luapan kemarahan seakan tak terbendung. Dan itu dilakukan oleh ayahnya sendiri.

Kemudian beliau melanjutkan ceritanya “Dan tahukah apa yang gue lakuin?Gue pergi ke loteng rumah. Ya, ke loteng rumah gue yang tinggi. Di situlah kemudian gue loncat. Gue loncat.. Gue bunuh diri!!”, kemudian pecahlah tangisnya. Tangis seorang anak yang begitu rindu ucapan sayang orang tuanya. Rindu akan kata “Anakku, subhanallah, kau hebat!”. Anak yang butuh pengakuan bahwa dirinya berarti, walaupun Allah menakdirkan ‘ketidaksempurnaan’ pada fisiknya. Dan beliau ingin bahwa pengakuan itu muncul dari orang tuany, orang tua yang membesarkannya.

Tapi ternyata, Allah SWT punya lain rencana. Beliau tidak meninggal. Allah masih memberikan kehidupan. Hal itu terjadi berulang-ulang, katanya. Bahkan lolosnya beliau di UMPTN dan masuk perguruan tinggi paling ternama di Indonesia, tidak membuat sang ayah mengahargainya. Di akhir curhatnya, beliau berkata “Kenapa gue bilang ini ke kalian semua dan enggak ke orang lain, karena kalian mau nerima gue. Kalian mau nerima gue apa adanya. Walaupun gue cacat. “ isak tangisnya kembali pecah.

“Gue pengen kejadian itu enggak terjadi ke kalian semua. Cukup gue aja. Cukup gue aja… Entah juga kenapa Allah masih memberi gue hidup. Padahal gue udah coba bunuh diri 3 kali!…”, Tangisnya semakin keras, tubuhnya berguncang, beliau menangis sejadi-jadinya. Kemudian seorang teman kami segera memeluknya

Bapak, Ibu, Dads, Moms, Abi dan ummi, semoga kisah ini bisa jadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa begitu besar pengaruh sebuah penghargaan bagi seorang anak. Walaupun hanya sebuah senyuman, sebuah kata penyemangat atau hadiah sebatang coklat, itu cukup membuat mereka merasa berarti di hadapan kita orang tunya. Dan semoga harapan teman saya ini bisa terwujud. Bukankah indah jika harapannya terwujud?

Priyanto Hidayatullah
http://parentingislami.wordpress.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar