Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam....”
Kemiskinan badan berjumpa kemiskinan batin, demikian seorang murid mendengar bisikan gurunya pada akhir meditasi.
Rumah sakit yang seyogianya menjadi tempat penyembuhan, tidak saja mahal, malah mengirim pasiennya ke penjara. Sekolah yang dulu menggembirakan, kini pada saat ujian dijaga polisi, Bahkan, terjadi berbagai penangkapan, menakutkan.
Sekolah yang indah
Di banyak tempat, ditemukan home schooling. Anak-anak takut ke sekolah karena dipukuli teman, guru galak, pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Ini memberi inspirasi, saatnya merekonstruksi sekolah agar indah.
Di sekolah guru boleh meniru pola pelatihan sopir itu, bisa juga mengajak anak didik ke panti asuhan, bermain bola bersama anak kampung. Intinya, menyadarkan pentingnya memberi. Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.
Tiga tangga pemberian
Pemberian terdiri tiga tangga. Pertama, semua makhluk sama dengan kita: ”mau bahagia, tidak mau menderita”. Karena itu, jangan pernah menyakiti.
Kedua, para makhluk lebih penting. Nasi, udara, pekerjaan, semua yang memungkinkan hidup berputar, dihasilkan makhluk lain. Binatang bahkan terbunuh agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah menyayangi. Dari menanam pohon, melepas burung, menyayangi keluarga, bekerja jujur, tulus, sampai memberi beasiswa anak-anak miskin.
Ketiga, karena semua makhluk lebih penting, belajarlah memberi kebahagiaan, mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo Fransiskus dari Asisi. Beri saya kesempatan menjadi budak perdamaian. Di mana ada kegelapan kemarahan, biar saya hadir membawa cahaya kasih. Di mana ada bara api kebencian, biar batin ini muncul membawakan air suci memaafkan. Mistikus sufi Kabir berkata, ”Nur terlihat hanya beberapa detik, tetapi ia mengubah seorang penyembah menjadi pelayan.”
Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, ”Semasih ada ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat ini agar ada yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”
Penggalan lagu di awal tulisan mengingatkan, dengan mencangkul yang dalam, akar-akar pohon membantu batang, daun, bunga, dan buah bertumbuh. Kehidupan manusia juga serupa. Hanya pemberian yang memungkinkan seseorang ”mencangkul hidupnya” secara mendalam. Hasilnya, bunga kehidupan mekar: kaya rasa, kaya makna. Sampai di sini, guru berbisik: bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.
Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa kelekatan yang membuat kematian menakutkan. Kematian menakutkan karena manusia belum terbiasa melepaskan.
Kedua, melalui kematian manusia melaksanakan kesempurnaan pemberian. Jangankan uang, tubuh pun diikhlaskan.
Tubuh menyatu dengan tanah, ikut menghidupi makhluk di bumi karena menghasilkan padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar makhluk tidak kehausan. Unsur api menyatu dengan api agar makhluk bisa memasak. Unsur udara bersatu dengan udara agar makhluk bisa bernapas. Unsur jiwa (ada yang menyebut kesadaran) menyatu dengan semua jiwa (kesadaran) agar semua makhluk teduh. Inilah kematian yang menawan. Melalui kematian manusia bukan kehilangan, malah memberikan.
Guru, semoga ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, biaya menemukan keadilan yang serba mahal.
Di banyak tempat, ditemukan home schooling. Anak-anak takut ke sekolah karena dipukuli teman, guru galak, pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Ini memberi inspirasi, saatnya merekonstruksi sekolah agar indah.
Di sebuah pelatihan sopir taksi, pernah dilakukan latihan memberi yang menarik. Pada hari pertama peserta diminta membawa nasi bungkus karena tidak disediakan makan siang. Peserta berlomba membawa makanan yang enak. Ketika makan, peserta diminta meletakkan nasinya di kelas sebelah untuk dimakan peserta sebelah. Sementara yang bersangkutan memakan makanan yang dibawa orang lain.
Pada hari kedua juga diminta membawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau nasi yang dibawa untuk kelas sebelah, banyak yang membawa nasi seadanya. Tidak sedikit hanya membawa nasi putih saja. Ternyata aturannya berubah, peserta harus memakan nasi yang dibawa sendiri.Yang ingin diilustrasikan di sini, menyangkut perut sendiri betapa borosnya manusia memberi, bahkan banyak yang stroke. Namun terkait perut orang, betapa sedikit yang diberikan. Tiba-tiba para sopir tersentak, betapa egoisnya hidup. Ego inilah yang menciptakan penderitaan. Maka ada guru yang berpesan: ”Memberi, memberi, memberi. Lihat bagaimana hidupmu menjadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.
Di sekolah guru boleh meniru pola pelatihan sopir itu, bisa juga mengajak anak didik ke panti asuhan, bermain bola bersama anak kampung. Intinya, menyadarkan pentingnya memberi. Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.
Tiga tangga pemberian
Pemberian terdiri tiga tangga. Pertama, semua makhluk sama dengan kita: ”mau bahagia, tidak mau menderita”. Karena itu, jangan pernah menyakiti.
Kedua, para makhluk lebih penting. Nasi, udara, pekerjaan, semua yang memungkinkan hidup berputar, dihasilkan makhluk lain. Binatang bahkan terbunuh agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah menyayangi. Dari menanam pohon, melepas burung, menyayangi keluarga, bekerja jujur, tulus, sampai memberi beasiswa anak-anak miskin.
Ketiga, karena semua makhluk lebih penting, belajarlah memberi kebahagiaan, mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo Fransiskus dari Asisi. Beri saya kesempatan menjadi budak perdamaian. Di mana ada kegelapan kemarahan, biar saya hadir membawa cahaya kasih. Di mana ada bara api kebencian, biar batin ini muncul membawakan air suci memaafkan. Mistikus sufi Kabir berkata, ”Nur terlihat hanya beberapa detik, tetapi ia mengubah seorang penyembah menjadi pelayan.”
Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, ”Semasih ada ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat ini agar ada yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”
Penggalan lagu di awal tulisan mengingatkan, dengan mencangkul yang dalam, akar-akar pohon membantu batang, daun, bunga, dan buah bertumbuh. Kehidupan manusia juga serupa. Hanya pemberian yang memungkinkan seseorang ”mencangkul hidupnya” secara mendalam. Hasilnya, bunga kehidupan mekar: kaya rasa, kaya makna. Sampai di sini, guru berbisik: bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.
Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa kelekatan yang membuat kematian menakutkan. Kematian menakutkan karena manusia belum terbiasa melepaskan.
Kedua, melalui kematian manusia melaksanakan kesempurnaan pemberian. Jangankan uang, tubuh pun diikhlaskan.
Tubuh menyatu dengan tanah, ikut menghidupi makhluk di bumi karena menghasilkan padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar makhluk tidak kehausan. Unsur api menyatu dengan api agar makhluk bisa memasak. Unsur udara bersatu dengan udara agar makhluk bisa bernapas. Unsur jiwa (ada yang menyebut kesadaran) menyatu dengan semua jiwa (kesadaran) agar semua makhluk teduh. Inilah kematian yang menawan. Melalui kematian manusia bukan kehilangan, malah memberikan.
Guru, semoga ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, biaya menemukan keadilan yang serba mahal.
Sumber : Gede Prama, Kompas Sabtu 18 Juli 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar