Pencarian bertahun-tahun Kesih van Der Berg van De Jong terhadap ibu kandungnya, akhirnya membuahkan hasil. Kesih memang hanya mendapati pusara ibunya, karena Juli tahun lalu sang ibu, Martiningtias Condro Kesih, sudah meninggal.
Meski demikian, keingintahuan sudah terobati, setelah selama 28 tahun Kesih terpisah sejak dia dilahirkan Martiningtias, dan tak lama kemudian Kesih yang masih bayi diadopsi oleh seorang warga Belanda.
Mirip kisah dalam acara Termehek-mehek di televisi, tangis haru seketika pecah saat Kesih bertemu bibinya Ernawati (32) di salah satu ruangan di kantor pengacara Markus Sajogo di Surabaya, Kamis (18/6). Ernawati tidak menyangka bisa bertemu keponakannya, yang selama ini hanya diketahuinya dari cerita-cerita simpang siur di lingkungan keluarga dan kerabatnya.
Ernawati adalah adik kandung Martiningtias, ibunda Kesih. Selisih usia Kesih dengan bibinya hanya 4 tahun. Sebab, usia Martiningtias (yang bernama asli Tumi) dengan Ernawati terpaut 11 tahun.
Waktu melahirkan Kesih pada 9 Juli 1981, usia Tumi baru 16 tahun. Kesih adalah hasil hubungan antara Tumi dengan lelaki hidung belang tatkala Tumi masih menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) di kawasan lokalisasi Kremil, Surabaya.
Kesih telah mulai berkeinganan menelusuri asal-usulnya 6 tahun lalu. Pasangan Petrus Johannes Maria Van Den Berg dan Ardina Elisabet Wilhelmina Ermers yang mengadopsi Kesih, memang sangat terbuka dalam mendidik. Semua informasi soal latar belakang Kesih sudah dijelaskan sejak anak itu masih kecil.
“Keluarga mereka memang sangat terbuka. Bahkan, sejak kecil Kesih sudah diberitahu apa itu adopsi dan diberi buku-buku soal adopsi,” jelas pengacara Markus Sajogo. Markus adalah pengacara yang mendampingi pasangan Petrus-Ardina saat keduanya mengadopsi Kesih 28 tahun lalu melalui Yayasan Anak Sejahtera yang berkantor di Jl Ngagel Jaya Selatan, Surabaya.
Untuk mempertemukan dua pihak yang sudah terpisah 28 tahun itu, Markus menugaskan stafnya Gregorius Yhofid (Goris) guna menelusuri keberadaan Tumi. Bak kisah detektif swasta di film-film Hollywood, Goris menyaru sebagai tamu, bertanya sana-sini dan mencatat kisah dari para saksi sampai akhirnya menemukan lokasi keluarga Tumi di sebuah kampung di Desa Kalipare, Kabupaten Malang (dekat kawasan Bendungan Karangkates) pada Februari 2009.
“Kami harus mencari-cari karena alamat Tumi yang kami ketahui sebelumnya hanyalah di lokalisasi Kremil Surabaya,” ucap Markus.
Markus lantas menceritakan bagaimana suasana saat Tumi memutuskan menitipkan Kesih yang baru dilahirkannya ke Yayasan Anak Sejahtera tahun 1981. Kala itu, cerita Markus, sulit bagi Tumi untuk dapat terus bekerja di lingkungan lokalisasi jika di saat bersamaan mengasuh bayi. Oleh sebab itu, Kesih dititipkan di yayasan yang bersedia menampung bayinya sebelum akhirnya sang bayi diadopsi oleh pasangan Petrus-Ardina yang tak dikaruniai anak.
Saat ditemui wartawan kemarin, Kesih mengaku tak pernah mempersoalkan latar belakang pekerjaan ibu kandungnya. Meski pada Agustus 2008 dia mendapat informasi bahwa sang ibu telah tiada, Kesih bersama suaminya tetap bertekad ke Indonesia.
Selain mengunjungi makam sang ibu, Kesih ingin sekali bertemu dengan keluarga besar ibunya yang masih ada di Kalipare, Kabupaten Malang.
”Sebenarnya sejak kecil saya sudah diberitahu oleh kedua orangtua saya bahwa saya adalah anak angkat. Namun, keinginan untuk mencari ibu kandung baru terbersit 6 tahun lalu, saat saya melahirkan putra pertama saya,” kata Kesih.
Sejak itu, sambung Kesih, dirinya bersama sang suami mengumpulkan uang untuk biaya pencarian sang ibu ke Indonesia. Dia pun makin intens berhubungan dengan kantor pengacara Markus Sajogo and Associates demi niatan berkunjung ke Surabaya. Ia mendapat informasi tentang kantor pengacara ini dari internet tahun lalu.
“Sebelumnya, saya sudah baca dokumen-dokumen adopsi diri saya yang dibawa orangtua angkat saya ke Belanda,” jelas Kesih dalam bahasa Inggris.
Kesih memang tidak bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia karena sejak bayi (1,5 bulan) sudah diboyong ke Belanda dan kini menjadi warga negeri Kincir Angin itu. Kesih mengatakan, ia pernah mendapatkan semacam pertanda bahwa orangtua kandungnya meninggal tatkala dirinya berlibur ke Turki tahun lalu. Saat bertemu seorang pegawai hotel (tempatnya menginap) yang memiliki kemampuan supranatural, si pegawai menuturkan bahwa orangtuanya sedang sekarat.
“Tapi waktu itu saya cuma berpikir bahwa orangtua (angkat) saya sehat-sehat saja,” ucap Kesih.
Sementara itu Ernawati yang ditemani suaminya, Yunianto beserta kedua putra-putrinya, Agus Salim (10) dan Sintawati (2) tidak kuasa menahan air mata saat melihat keponakannya untuk pertama kali.
Dengan suara terbata-bata, Ernawati mencoba mengenang Tumi. Disebutkan bahwa Tumi jarang bercerita tentang anaknya. Namun bagi sebagian besar warga kampung yang tinggal di Kalipare, kisah soal Tumi yang memiliki anak di Belanda sudah jadi rahasia umum.
“Kami tahu dari tetangga kalau anak mbak Tumi sudah dibawa orang Belanda,” kata Ernawati dengan berderai airmata. Dalam sebuah kesempatan sebelum meninggal 22 Juli 2008 lalu, Tumi pernah curhat ke Ernawati. “Aku ingin melihat anakku, mungkin sekarang dia sudah menikah dan aku punya menantu,” kata Ernawati menirukan ucapan Tumi saat itu.
Sebelum dipertemukan dengan keluarganya usai tiba di Surabaya pada Rabu (17/6) lalu, Kesih yang datang bersama suaminya Glen van De Jong, sempat berkunjung ke Pulau Madura. Dalam perjalanan, dia melihat anak-anak kecil terlantar di jalanan.
Dia merasa sangat beruntung dengan kondisinya saat ini berkat adopsi dari keluarga Belanda. “Bisa jadi, jika dulu tidak diadopsi, saya adalah salah-satu dari anak-anak yang ada di jalanan itu,” kata Kesih.
Kesih beberapa kali mengungkapkan rasa syukur mendalam telah diadopsi oleh keluarga Belanda yang dengan tulus merawat dan membesarkannya. Tak hanya kebutuhan ekonominya terpenuhi, Kesih juga bisa menikmati pendidikan hingga jenjang tinggi layaknya anak-anak Belanda pada umumnya.
Kesih mendapat gelar sarjana setelah menamatkan kuliah di Inholland University mengambil jurusan ekonomi manajemen. Saat ini Kesih sudah memiliki seorang putra berusia enam tahun. Dia bekerja di sebuah perusahaan distribusi penjualan minyak di Belanda.
Meski berdarah asli Indonesia, penampilan fisik Kesih jauh dari kesan orang Indonesia kebanyakan kecuali wajah dan kulitnya. Tinggi badannya termasuk di atas rata-rata orang Indonesia, sekitar 169 cm. Badannya terlihat agak gemuk, kulitnya bersih terawat -menunjukkan tingkat kemakmuran hidupnya.
Hari ini, Jumat (19/6), Kesih bersama rombongan akan mengunjungi keluarga besar ibu kandungnya di Kalipare sekaligus ziarah ke makam Tumi. Setelah menemukan keluarga besar ibu kandungnya, Kesih memantapkan hati bakal sering berkunjung ke Indonesia.
Ketika ditanya apakah Kesih tidak ingin menelusuri pula bapak kandungnya, Markus Sajogo mengatakan hal itu hampir mustahil dilakukan. Selain ibunda Kesih sudah meninggal, sangat sulit juga untuk melacak sang bapak meskipun dengan menggunakan uji DNA (uji darah tentang keterkaitan asal-usul seseorang secara genetika). Sebab, sebagai PSK, kala itu tentu Tumi memiliki banyak pelanggan sehingga tidak mungkin untuk langsung menunjuk ke satu atau dua orang pria agar dites DNA-nya untuk dicocokkan dengan DNA Kesih.
“Lagi pula, kalau pencarian bapak kandung ini diumumkan, bisa jadi akan banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai bapaknya karena Kesih kan sudah hidup mapan di Belanda,” jelas Markus.
Sumber: Kompas, Jumat, 19 Juni 2009
Meski demikian, keingintahuan sudah terobati, setelah selama 28 tahun Kesih terpisah sejak dia dilahirkan Martiningtias, dan tak lama kemudian Kesih yang masih bayi diadopsi oleh seorang warga Belanda.
Mirip kisah dalam acara Termehek-mehek di televisi, tangis haru seketika pecah saat Kesih bertemu bibinya Ernawati (32) di salah satu ruangan di kantor pengacara Markus Sajogo di Surabaya, Kamis (18/6). Ernawati tidak menyangka bisa bertemu keponakannya, yang selama ini hanya diketahuinya dari cerita-cerita simpang siur di lingkungan keluarga dan kerabatnya.
Ernawati adalah adik kandung Martiningtias, ibunda Kesih. Selisih usia Kesih dengan bibinya hanya 4 tahun. Sebab, usia Martiningtias (yang bernama asli Tumi) dengan Ernawati terpaut 11 tahun.
Waktu melahirkan Kesih pada 9 Juli 1981, usia Tumi baru 16 tahun. Kesih adalah hasil hubungan antara Tumi dengan lelaki hidung belang tatkala Tumi masih menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) di kawasan lokalisasi Kremil, Surabaya.
Kesih telah mulai berkeinganan menelusuri asal-usulnya 6 tahun lalu. Pasangan Petrus Johannes Maria Van Den Berg dan Ardina Elisabet Wilhelmina Ermers yang mengadopsi Kesih, memang sangat terbuka dalam mendidik. Semua informasi soal latar belakang Kesih sudah dijelaskan sejak anak itu masih kecil.
“Keluarga mereka memang sangat terbuka. Bahkan, sejak kecil Kesih sudah diberitahu apa itu adopsi dan diberi buku-buku soal adopsi,” jelas pengacara Markus Sajogo. Markus adalah pengacara yang mendampingi pasangan Petrus-Ardina saat keduanya mengadopsi Kesih 28 tahun lalu melalui Yayasan Anak Sejahtera yang berkantor di Jl Ngagel Jaya Selatan, Surabaya.
Untuk mempertemukan dua pihak yang sudah terpisah 28 tahun itu, Markus menugaskan stafnya Gregorius Yhofid (Goris) guna menelusuri keberadaan Tumi. Bak kisah detektif swasta di film-film Hollywood, Goris menyaru sebagai tamu, bertanya sana-sini dan mencatat kisah dari para saksi sampai akhirnya menemukan lokasi keluarga Tumi di sebuah kampung di Desa Kalipare, Kabupaten Malang (dekat kawasan Bendungan Karangkates) pada Februari 2009.
“Kami harus mencari-cari karena alamat Tumi yang kami ketahui sebelumnya hanyalah di lokalisasi Kremil Surabaya,” ucap Markus.
Markus lantas menceritakan bagaimana suasana saat Tumi memutuskan menitipkan Kesih yang baru dilahirkannya ke Yayasan Anak Sejahtera tahun 1981. Kala itu, cerita Markus, sulit bagi Tumi untuk dapat terus bekerja di lingkungan lokalisasi jika di saat bersamaan mengasuh bayi. Oleh sebab itu, Kesih dititipkan di yayasan yang bersedia menampung bayinya sebelum akhirnya sang bayi diadopsi oleh pasangan Petrus-Ardina yang tak dikaruniai anak.
Saat ditemui wartawan kemarin, Kesih mengaku tak pernah mempersoalkan latar belakang pekerjaan ibu kandungnya. Meski pada Agustus 2008 dia mendapat informasi bahwa sang ibu telah tiada, Kesih bersama suaminya tetap bertekad ke Indonesia.
Selain mengunjungi makam sang ibu, Kesih ingin sekali bertemu dengan keluarga besar ibunya yang masih ada di Kalipare, Kabupaten Malang.
”Sebenarnya sejak kecil saya sudah diberitahu oleh kedua orangtua saya bahwa saya adalah anak angkat. Namun, keinginan untuk mencari ibu kandung baru terbersit 6 tahun lalu, saat saya melahirkan putra pertama saya,” kata Kesih.
Sejak itu, sambung Kesih, dirinya bersama sang suami mengumpulkan uang untuk biaya pencarian sang ibu ke Indonesia. Dia pun makin intens berhubungan dengan kantor pengacara Markus Sajogo and Associates demi niatan berkunjung ke Surabaya. Ia mendapat informasi tentang kantor pengacara ini dari internet tahun lalu.
“Sebelumnya, saya sudah baca dokumen-dokumen adopsi diri saya yang dibawa orangtua angkat saya ke Belanda,” jelas Kesih dalam bahasa Inggris.
Kesih memang tidak bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia karena sejak bayi (1,5 bulan) sudah diboyong ke Belanda dan kini menjadi warga negeri Kincir Angin itu. Kesih mengatakan, ia pernah mendapatkan semacam pertanda bahwa orangtua kandungnya meninggal tatkala dirinya berlibur ke Turki tahun lalu. Saat bertemu seorang pegawai hotel (tempatnya menginap) yang memiliki kemampuan supranatural, si pegawai menuturkan bahwa orangtuanya sedang sekarat.
“Tapi waktu itu saya cuma berpikir bahwa orangtua (angkat) saya sehat-sehat saja,” ucap Kesih.
Sementara itu Ernawati yang ditemani suaminya, Yunianto beserta kedua putra-putrinya, Agus Salim (10) dan Sintawati (2) tidak kuasa menahan air mata saat melihat keponakannya untuk pertama kali.
Dengan suara terbata-bata, Ernawati mencoba mengenang Tumi. Disebutkan bahwa Tumi jarang bercerita tentang anaknya. Namun bagi sebagian besar warga kampung yang tinggal di Kalipare, kisah soal Tumi yang memiliki anak di Belanda sudah jadi rahasia umum.
“Kami tahu dari tetangga kalau anak mbak Tumi sudah dibawa orang Belanda,” kata Ernawati dengan berderai airmata. Dalam sebuah kesempatan sebelum meninggal 22 Juli 2008 lalu, Tumi pernah curhat ke Ernawati. “Aku ingin melihat anakku, mungkin sekarang dia sudah menikah dan aku punya menantu,” kata Ernawati menirukan ucapan Tumi saat itu.
Sebelum dipertemukan dengan keluarganya usai tiba di Surabaya pada Rabu (17/6) lalu, Kesih yang datang bersama suaminya Glen van De Jong, sempat berkunjung ke Pulau Madura. Dalam perjalanan, dia melihat anak-anak kecil terlantar di jalanan.
Dia merasa sangat beruntung dengan kondisinya saat ini berkat adopsi dari keluarga Belanda. “Bisa jadi, jika dulu tidak diadopsi, saya adalah salah-satu dari anak-anak yang ada di jalanan itu,” kata Kesih.
Kesih beberapa kali mengungkapkan rasa syukur mendalam telah diadopsi oleh keluarga Belanda yang dengan tulus merawat dan membesarkannya. Tak hanya kebutuhan ekonominya terpenuhi, Kesih juga bisa menikmati pendidikan hingga jenjang tinggi layaknya anak-anak Belanda pada umumnya.
Kesih mendapat gelar sarjana setelah menamatkan kuliah di Inholland University mengambil jurusan ekonomi manajemen. Saat ini Kesih sudah memiliki seorang putra berusia enam tahun. Dia bekerja di sebuah perusahaan distribusi penjualan minyak di Belanda.
Meski berdarah asli Indonesia, penampilan fisik Kesih jauh dari kesan orang Indonesia kebanyakan kecuali wajah dan kulitnya. Tinggi badannya termasuk di atas rata-rata orang Indonesia, sekitar 169 cm. Badannya terlihat agak gemuk, kulitnya bersih terawat -menunjukkan tingkat kemakmuran hidupnya.
Hari ini, Jumat (19/6), Kesih bersama rombongan akan mengunjungi keluarga besar ibu kandungnya di Kalipare sekaligus ziarah ke makam Tumi. Setelah menemukan keluarga besar ibu kandungnya, Kesih memantapkan hati bakal sering berkunjung ke Indonesia.
Ketika ditanya apakah Kesih tidak ingin menelusuri pula bapak kandungnya, Markus Sajogo mengatakan hal itu hampir mustahil dilakukan. Selain ibunda Kesih sudah meninggal, sangat sulit juga untuk melacak sang bapak meskipun dengan menggunakan uji DNA (uji darah tentang keterkaitan asal-usul seseorang secara genetika). Sebab, sebagai PSK, kala itu tentu Tumi memiliki banyak pelanggan sehingga tidak mungkin untuk langsung menunjuk ke satu atau dua orang pria agar dites DNA-nya untuk dicocokkan dengan DNA Kesih.
“Lagi pula, kalau pencarian bapak kandung ini diumumkan, bisa jadi akan banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai bapaknya karena Kesih kan sudah hidup mapan di Belanda,” jelas Markus.
Sumber: Kompas, Jumat, 19 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar