Belajarlah Berkata Jujur
Pada suatu hari Dr. Arun Gandhi cucu dari mendiang Mahatma Gandhi pernah menceritakan satu kisah dalam hidupnya yang sungguh mengesankan.Pagi itu setelah kami tiba ditempat konferensi; ayah berkata kepada saya; ” Arun, jemput ayah di sini ya, nanti jam 5 sore. Dan kita akan pulang bersama-sama.” Baik ayah, saya akan berada di sini tepat jam 5 sore. Jawab saya dengan penuh keyakinan.
Setelah itu saya segera meluncur untuk menyelesaikan tugas yang dititipkan ayah dan ibu kepada saya satu persatu. Sampai akhirnya hanya tinggal satu pekerjaan yang tersisa yakni menunggu mobil selesai dari bengkel. Sambil menunggu mobil diperbaiki tidak ada salahnya untuk mengisi waktu senggang dengan pergi ke bioskop untuk menonton film. Saking asyiknya nonton ternyata saat saya melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam, sementara saya janji menjemput ayah pukul 5 sore. Segera saja saya melompat dan buru-buru menuju bengkel untuk mengambil mobil, dan segera menjemput ayah yang sudah hampir satu jam menunggu. Saat saya tiba sudah hampir pukul 6 sore.
Dengan gelisah ayah bertanya pada saya: "Arun! kenapa kamu terlambat menjemput ayah? Saat itu saya merasa bersalah dan sangat malu untuk mengakui bahwa saya tadi keasyikan nonton film, sehingga saya terpaksa berbohong dengan mengatakan: ” Maaf ayah, tadi mobilnya belum selesai diperbaiki sehingga Arun harus menunggu.”
Ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah sudah terlebih dahulu menelpon bengkel mobil tersebut, sehingga ayah tahu jika saya berbohong; Lalu wajah ayah tertunduk sedih; sambil menatap mata saya, ayah berkata; ”Arun sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah, dalam mendidik dan membesarkan kamu”; ”sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah." Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki, sambil merenungkan di mana letak kesalahannya."
Lalu dengan tetap masih berpakaian lengkap ayah mulai berjalan kaki menuju jalan pulang ke rumah. Padahal hari sudah mulai gelap dan jalanan semakin tidak rata. Saya tidak sampai hati meninggalkan ayah sendirian seperti itu, meskipun ayah telah ditawari naik, beliau tetap berkeras untuk terus berjalan kaki, akhirnya saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, dan tak terasa air mata saya menitik melihat penderitaan yang dialami beliau hanya karena kebohongan bodoh yang telah saya lakukan. Sungguh saya begitu menyesali perbuatan saya tersebut.
Sejak saat itu seumur hidup, saya selalu berkata jujur pada siapapun. Sering sekali saya mengenang kejadian itu dan merasa begitu terkesan. “Seandainya saja saat itu ayah menghukum saya sebagai mana pada umumnya orang tua menghukum anaknya yang berbuat salah; kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu; dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya. Tapi dengan satu tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan ayah; meskipun tanpa kekerasan justru telah memiliki kekuatan yang luar biasa untuk bisa mengubah diri saya sepenuhnya. Saya selalu mengingat kejadian itu seolah-olah seperti baru terjadi kemarin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar