Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

26 April 2011

Celana Ibu

Jopkpin atau Joko Pinurbo:

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawa celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus mencobanya

"Paskah? tanya Maria
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,

Yesus naik ke surga.

Jubah Ayah

(sebagai jawaban untuk puisi Celana Ibu, karya Jokpin)


Sebelum naik ke surga, setelah bangkit dari kuburnya
dengan mengenakan celana bikinan Jokpin*)
Yesus diam-diam mengadu kepada ayahNya

"Bapa, celana saya ternyata kegedean."
AyahNya terharu dan prihatin

Pada hari berikutnya, di depan murid-muridNya
Yesus sudah memakai jubah kebesaran ayahNya
Dari sana Ia baru naik ke surga

2010

(Dari buku SOLILOQUI, Kurniawan Junaedhie)

Selamat Hari Paskah...

25 April 2011

Catatan Bajingan

Prima Marsudi

Kubisikkan kata-kata cinta di telingamu
Kuulang-ulang bagai mantra
Lalu kau pun terhanyut
Kedua tanganku pun menari-nari di licinnya lapisan tubuhmu

Dalam pelukanku kau mengerang
Lalu aku pun selesai
Perasaan cintaku padamu pun selesai
Selesai bersama datangnya kepuasan semu dalam pikiranku
Jadi, berhentilah berharap karena cintaku memang hanya sebatas kata
Tak pernah lebih dan tak akan pernah lebih


20 April 2011

Kutitip Bintang di Hatimu

Buat : Queency

Nak, malam ini langit bertabur bintang
dari loteng kamar oma
kupetik sebuah bintang
yang paling benderang
dan kuselipkan di relung hatimu

Agar kau tak tersesat dan salah arah
dalam menapaki jalan hidupmu
meskipun kau dikepung gulita kegelapan

mimpi indah ya nak...



13 April 2011

Apa yang Tak Mungkin Diwujudkan

Sajak Edgar A Guest

MEREKA bilang itu tak mungkin diwujudkan
Tapi engkau dengan menyimpan tawa akan menjawab
bahwa "mungkin itu memang tak mungkin," tapi engkau
tak akan mengatakan itu sampai engkau mencoba.
Maka engkau hadapi dengan segaris senyuman di wajahmu.
Engkau ragu dan cemas untuk mewujudkan itu.
Tapi, engkau mulai bernyanyi dan engkau datangi yang
tak mungkin itu, lalu engkau mulai bekerja.

Mereka mengejek: "Oh, kau tak akan pernah bisa;
Terbukti sudah, tak ada yang pernah bisa";
Tapi engkau buka jaketmu, dan engkau gantung topimu,
Dan lihatlah, engkau mulai mengerjakannya,
Dengan tengadah dagu, dan sedikit seringai,
Tanpa keraguan, tak hirau pada cemoohan
Tapi engkau mulai bernyanyi dan engkau datangi
yang tak mungkin itu, lalu engkau kerjakan.

Ribuan orang bilang itu tak mungkin dilakukan,
Ribuan orang meramalkan kegagalan;
Ribuan orang - satu per satu - mengatakan padamu
Bahaya yang menghadang untuk menggagalkan engkau.
Tapi hadapi saja dengan segaris senyuman,
Gantung jaketmu dan hadapi tantangan itu;
Mulai bernyanyilah, raih apa yang "tak mungkin itu",
dan engkau yang akan mewujudkannya.



12 April 2011

Meniru Bulan

Untuk Queency : Sang Pecinta Bulan Purnama

Nak, jika kamu punya sayap, terbanglah setinggi-tingginya
menyelinaplah di antara kerumunan bintang
meniru bulan
tak punya cahaya
tapi dipuja-puja

Peluang

Berton Braley

OLEH ragu dan cemas engkau terhantam
Kau kira tak ada kesempatan lagi, Anakku?
Bukankah buku terbaik belum lagi dituliskan
Lintasan terbaik belum lagi ditempuhi
Nilai terbaik belum lagi dibukukan
Lagu terbaik belum dinyanyikan
Nada terbaik belum lagi dimainkan
Bersoraklah, untuk dunia yang muda!

Tak ada kesempatan? Kenapa dunia yakin
sekali, menunggu sesuatu engkau ciptakan
Lumbung kesejahteraannya baru sedikit terisi
Ia meminta kerja besar dan berterusan
Ia rindu pada kekuatan dan keindahan
Lebih banyak tawa, kasih, dan kisah cinta,
Lebih banyak kesetiaan, kerja, dan tugas ditunaikan,
Tak ada, karena semua adalah kesempatan

Syair terbaik belum lagi digubah,
Rumah terbaik belum lagi dirancang,
Puncak tertinggi belum terdaki,
Sungai terderas belum tertaklukkan,
Jangan takut, cemas, jangan kecil nyali,
Kesempatan baru saja mulai terbuka,
Kerja terbaik belum lagi dimulakan
Karya terbaik belum lagi diciptakan.


09 April 2011

Sajak # 2

Buat malaikat kecilku : Queenara Charity Prabawa

Dia pernah minta aku mencuri bulan
buat menghias malamnya

dia juga pernah minta aku mengikat waktu
agar hari tetap pagi

dan sekarang dia ingin aku mencuri matahari
buat menghias dadanya



07 April 2011

Pesan Kesepian

-Ready Sutanto-

kesepian yang kau bisikkan pada angin
terkabarkan juga pada daun
terdengar pula oleh embun

dan ketika kutatap kaca jendela pagi-pagi
ia pun sampai pula padaku

maka kukirim rasa sayang
menumpang udara pagi yang tenang
agar tak lagi kau ungkap rahasia sepimu
pada angin yang janjinya tak bisa kau pegang

05 April 2011

Malaikat Kecil yang Kusam

Gerimis menyapa senja yang mulai gelap. Kaki kalian tetap berjalan menyusuri jalan di lorong pertokoan. Beberapa anak terlihat riang di dalam gerai Mc Donald’s sambil mengunyah burger yang tak muat di mulut mereka.

Rasa kenyang sedikit terobati dengan pemandangan itu, kalian bersyukur. Bersyukur telah melewati jalan ini. Lapar sedikit menghilang. Kaki kalian kembali melangkah berlomba dengan senja yang beringsut-ingsut larut.

Hujan deras memayungi tubuh kalian yang ringkih.

Sambil tertawa kalian bercanda dengan hujan yang semakin menderas. Berkatalah kalian kepada hujan : "Terima kasih hujan, tubuh kami telah bersih dari debu, terbasuh olehmu."

Kalian kembali ceria dengan penuh rasa syukur. Hujan tersenyum, lalu berhenti dan mengucapkan perpisahan karena malu dengan kalian yang tak pernah berhenti bersyukur.

Dua anak kecil dekil, berumur lima tahunan; berjuang keras menahan dingin.
Pulang ke rumah kardus membawa kepingan uang receh usai mengamen seharian.


Untuk bertemu ibu mereka yang setia menunggu tapi tak pernah bisa bangun (lagi).

Ibu, kami pulang membawa sedikit rejeki dari Tuhan.
Yang diberikan melalui tangan dan jari lentik dari orang-orang dengan seribu wajah.
Ibu, jangan menangis lagi, tidak usah bersedih hari ini.
Ada yang kami bawa untuk diri ini.
Tetap tidur ibu, di kuburanmu yang indah bersama Tuhan.

Sumber : review

04 April 2011

Tanpa Judul

-Bei Yan-

Setiap kelahiran seorang bayi
Selalu ada sebuah
Batu nisan
Yang tersenyum dingin
Menanti diukir
Nama ibu

Hanya suara tangis bayi
Yang dapat membangunkan ibu
Menyunggingkan senyum yang manis

11 Maret 2011

Di Manakah Letak Dunia Pendidikanku?

Karya: Ady Azzumar

Setiap waktuku
adalah zaman yang tak banyak orang butuh

Setiap nafasku
adalah pendidikan tak bermutu

Aku bodoh
hidup tak sekolah
terbebani karena biaya

Aku lelah
hidup tak pernah sejahtera
ekonomi begitu lemah


Aku ingin pendidikanku maju
hanya asa dalam pasrah;
jangankan wajib sembilan tahun
TK pun aku tak sempat mencicipi

Aku adalah…
gadis mungil bermangkuk kecil
mengharap receh dari uluran tangan
saat peluh menetes di dahi
mentari kian menyengat
seakan tak mau lagi bersahabat

Ayahku telah wafat
ketika aku masih dalam rahim

Ayahku telah wafat!
bukan harta, tapi kemelaratan yang ia wariskan
di manakah letak dunia pendidikanku?

22 Maret 2008, dimuat diharian berita pagi
(Guru, Penulis, dan Creator Group FB Rumah Puisi)


22 Februari 2011

Dia Bertanya Tuhan di Mana?

Ning,
Biar ku ceritakan padamu tentang seorang kawanku
yang tiba-tiba datang bermuka masam. Bermuram durja.

Dia mengeluh; apalah hidup, katanya
Segala upaya sia-sia. Segala harapan hanya menggantung di kepala
menjadi mimpi atas mimpi. Tak kunjung pasti.
Aku sudah lelah berdoa.
Tuhan di mana? Tanyanya ; jangan-jangan Dia memang tak pernah ada.

Aku tersenyum. Lantas kulihat bungkusan nasi di tangannya.
Bila kau ingin tahu di mana Tuhan bertahta? Biar ku beritahu di mana.

Kurangkul pundaknya lalu kami sama-sama menatap ke ujung jalan
Tampaklah di mata, seorang perempuan tua dengan kaleng sumbangan di tangan

Datanglah padanya, kataku; bukalah bungkusan nasimu lalu makanlah bersamanya dari cawan yang sama.
Dia ragu. Aku tahu hanya nasi itu yang dia punya. Lama dia menimbang, lalu diputuskannya juga untuk menemui perempuan tua itu. Dari tempatku duduk aku melihat mereka saling menyapa, bercakap-cakap lalu makan bersama dari cawan yang sama.

Tak lama, sayang, kawanku itu kembalilah. Dia tersenyum-senyum simpul seraya menganggukkan kepalanya.
Aku bertanya, bagaimana? Dia menjawab, kau benar Tuhan ada di sana.

Ning,
Kukatakan padanya;
kawan, ketika kau membantu saudaramu keluar dari kesulitannya,
kau akan bertemu Tuhanmu.

Ketika kau memberi makan para fakir miskin, kau akan bertemu Tuhanmu.
Ketika kau rawat dan pelihara anak-anak yatim di rumahmu, Kau akan bertemu Tuhanmu. Ketika kau mengangkat derajat perempuan-perempuan yang melacurkan diri dari lembah kenistaan, kau akan bertemu Tuhanmu.

Ketika kau mengajarkan ilmu yang kau punya tanpa memilah siapa, kau akan bertemu Tuhanmu.

Ketika kau merasa cukup, ikhlas dan bersyukur atas karunia yang kau terima sekecil apapun, kau akan bertemu Tuhanmu.



Katakan padaku, tanyaku masihkah kau anggap Tuhan itu jauh?

Tidak, katanya Tuhan lebih dekat dari urat nadi kita.
Aku tersenyum. Kurangkul pundaknya lalu kuajak dia makan
Jawabnya; terima kasih, kawan aku sudah kenyang.


Muhammad Perdana
Banten


10 Februari 2011

Sajak PSK Tua untuk Tuhannya

Tuhan, doa-doaku memang belum terjawab. Dan komat-kamit ini bukan inginku untuk bertanya mengapa, meratapi atau mengesah. Aku hanya mau berbagi duka.

Suamiku gila, dia mati, kemudian aku tertatih sendiri mencari rejeki. Empat anakku begitu malang nasibnya. Yang sulung diperkosa, putri kedua putus sekolah, ketiga mati muda, putra bungsuku baru saja masuk penjara jadi pengedar narkoba.

Kemarin, aku dikejar petugas, pukulan pentungan mereka membentur tulang bokongku. Aku masih dapat menghitung tiga kali datang ke pelatihan, di sana aku ditertawai, lalu aku pulang, dan mengeraskan hati kembali ke pilihan ini. Sebab jika tidak begitu, mesti kemanakah aku membawa hidupku...?

Kalau gelap datang aku berdandan seadanya. Menebahkan tubuhku di gang remang-remang ini . Berharap ada pelanggan datang, dan kami mulai menawar harga.

Sering aku kalah dan memang aku mesti mengalah Aku tahu ini hanya untuk sementara.
Semua sirna setelah aku kembali mengubur semua yang fana.

Tetapi aku tidak mau mati dengan dosa. Maka malam ini, ditengah menanti tubuhku laku terjamah. Dalam hati aku masih menggumam nama-Mu Bersua dengan-Mu dalam rupa angin, kecamuk hati, penolakan dan penyesalan.


Aku berdosa Tuhan, tetapi lebih berdosa jika aku harus mencuri, lebih berdosa bila mencekik mati orang, dan menjarah hartanya, lebih berdosa bila aku memaki-maki ,bahwa Kau tidak adil , lebih berdosa jika karena beban ini ,lalu aku menjual iman, bertukar keyakinan dan mengabaikan kerahiman-Mu, lebih berdosa jika karena aib-aibku orang lain ikut berdosa .Paling berdosa jika aku harus mengakhiri hidupku, mati dengan bunuh diri.

Aku berdosa Tuhan, tetapi jika aku kaya aku akan menilai dunia dengan angkuh. Jika aku berpangkat aku akan menjaga wibawa. Kemudian aku lupa, Kau yang memberi dengan cuma-cuma akan datang waktu, semua terambil lenyap. Hanya sebentar, hanya Kau yang mengerti arti murni pertobatan, tetapi penghabisan tidak akan menyadarkan kami semua sama adanya.

Kasihanilah anak-anakku Tuhan, ampunilah kami, pegang jiwa mereka dengan erat, aku sudah tua, sudah letih bersiur syur menjilat malam hingga pekik ayam membatasi geliat .Tetapi sampai mati, mungkin aku tidak akan berhenti... sebab jika tidak begitu, kemanakah lagi aku membawa hidup ini...?

Willy Maribata
JOGJA, 2007


09 Februari 2011

Jendela

Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka mengayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr…..

Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuurr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”

Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang
dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.

Joko Pinurbo, 2010


23 Januari 2011

Kunang-Kunang

Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit.
Ayahnya senang sekali menggendongnya
Menyebrangi sungai, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok dan menanjak.

Sampai di puncak, mereka membuat api unggun,
Berdialog, menemani malam, menjaring sepi.
Ia sangat girang melihat kunang-kunang yang berpedaran.


“Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?
“Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang.”
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya
sedang mengajarinya bermain kata.

Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan.

Ayahnya menelentangkannya di atas amben tua,
lalu menaruh seekor kunang-kunang di atas keningnya.

Saat ia pamit pergi mengembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
“Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini
Saat kau sedang gelap atau mati kata;
maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya.”

Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
“Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang.
Bisakah kau mengantarku ke sana ?”

Malam-malam ia menggendong ayahnya
Menyusuri jalan setapak menuju bukit
“Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?”
tanyanya sambil terengah-engah.
“Masih. Kadang ia menanyakan kau;
dan kukatakan saja : "Oh, dia sudah jadi pemain kata.”
“Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari kita bikin api unggun.”
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
“Tunggu, Yah, kunang-kunang sebentar lagi datang.”
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tidak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
Seribu kunang-kunang bertaburan di atas tubuhnya.
“Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli.

Joko Pinurbo
2010

25 November 2010

01 Oktober 2010

Surat untuk Bulan

--3 tahun peringatan lumpur Lapindo--

Dulu, ketika desa-desa masih ada,
kami bermain di bawah bulan.

Kami bernyanyi dan berpegang tangan,
berkejaran dengan bayang-bayang.

Kini, setelah semua tenggelam, semua diam,
semua hilang, semua terbenam.

Kami menulis surat kepada bulan
barangkali ia mendengar
teringat tarian dan dolanan
di bawah purnamanya

-Anonim-


30 September 2010

Mata Kecil # 6

kadang sendirian
di tepi jalan
kadang ramai-ramai
kadang menangis
kadang meringis
tapi nangis

kadang kita beri
kadang kita maki
kadang kita biasa saja
dengan mereka
karena kita lupa punya mata
atau pura-pura
kadang

2010
Eko Triono





Mata Kecil # 1

Eko Triono

mata kecil tumbuh subur di jalan-jalan
mata anak-anak angin
yang telah menatap matamu
di balik jendela mobil dan kaca helm
“pelit.”

mata kecil bernanah di dekat lampu
menangisi hujan seharian
air matanya dalam debu
kau halau dengan masker
tapi mata kecil
telah menatap matamu
sampai ke meja makan siang
dalam mimpi dan menggelayut
di belakang kepala

2010




22 September 2010

Puisi Hujan # 1


Ini payung untukmu, kau diam dan berucap :"Biarkan aku basah dalam ingatanmu."