Tampilkan postingan dengan label Cerita Inspiratif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Inspiratif. Tampilkan semua postingan

10 Oktober 2014

Cerita Mengenai Surga dan Neraka

Zaman dahulu kala, ada seorang laki-laki muda yang telah berguru dengan semua empu hebat. Ia sudah belajar menjadi seorang ksatria, ia sudah belajar menjadi seorang pencinta, ia bisa memperbaiki apa saja, ia sudah melihat banyak negeri. 

26 Maret 2014

Kado untuk Fakir Miskin dan Anak Jalanan

Sudahkah Anda hari ini berbuat baik kepada anak jalanan?

Dekat lampu merah di samping hotel Pangrango 3 Bogor berdiri sebuah plang bercat putih. Isinya : Perda No. 8 Tahun 2009, Pasal 7 tentang Anak Jalanan. “Setiap orang dilarang memberikan uang atau barang kepada gelandangan atau pengemis di jalanan atau tempat umum.”

28 Oktober 2012

Ibrahim


Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang kurban. Wajah bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan perintah Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.”

Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, menyembelih anak sendiri yang tak bersalah, sanggupkah engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin itu titah Tuhan, agar itulah yang harus dikerjakannya. Ia sedang diuji, sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang harus ditaati. Ia berangkat.

Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya akan menolak. Dengan takzim dan takut. Saya akan katakan, biarlah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu selamat. Belas kasihan pada bocah yang tak berdaya itu lebih mengguncang diri saya ketimbang Kehendak Yang Maha Kuasa.

07 Oktober 2012

Cinta dalam Sepotong Biskuit


Negeri Cina pada masa lalu bukanlah negeri yang kaya seperti saat ini. Pada masa itu, masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sepotong biskuit bagi mereka bisa berarti sebuah nyawa. 

Siu Lan, seorang janda miskin memiliki seorang putri kecil berumur 7 tahun. Kemiskinan memaksanya untuk membuat sendiri kue-kue dan menjajakannya di pasar untuk biaya hidup mereka berdua. Hidup penuh kekurangan membuat Lie Mei tidak pernah bermanja-manja pada  ibunya, seperti anak kecil lain.

10 September 2012

Pelajaran Hemat dari Pria Terkaya di Cina


Zong Qingho, Pria terkaya di Cina
Meski menjadi pria terkaya di Cina, dan terkaya nomor 23 secara global, Zong Qinghou adalah pria yang sangat hemat dalam menggunakan uangnya.

Menurut Bloomberg News, Zong, pendiri perusahaan minuman ringan Wahaha berusia 66 tahun ini, hanya menggunakan $20 per hari (atau Rp 190 ribu) meski ia memiliki kekayaan $21,6 miliar (atau Rp 206,1 triliun). Seperti terungkap oleh Nick Rosen dari BBC musim panas lalu, Zong memiliki pengabdian seperti biksu terhadap tugas-tugasnya. Salah satu karyawan Wahaha ingat bagaimana Zong memeriksa dengan teliti tiap pengeluaran kantornya, termasuk buat pembelian sapu.

06 September 2012

Orang Sibuk Seringkali Orang yang Paling Malas


Waspadalah jika anda terlalu sibuk, karena bisa jadi anda termasuk salah satu dari kategori yang dikatakan oleh sang Motivator Tung Desem Waringin.

Mereka sibuk dan mereka tetap sibuk karena itu salah satu cara untuk menghindari sesuatu yang tidak ingin mereka hadapi. Ada orang sibuk nonton TV, sibuk memancing, bermain golf, sibuk belanja ke Mall, namun didalam hati mereka ingin menghindari sesuatu hal yang tidak ingin mereka hadapi. Ini adalah bentuk kemalasan yang paling umum. Malas dengan jalan tetap sibuk.

Ada juga orang yang sibuk bekerja keras sehingga tidak perduli dengan istri dan anaknya. Dan ada juga orang yang terlalu sibuk mengurusi kekayaan mereka dan tidak perduli dengan kesehatan mereka. Dan ada orang yang terlalu sibuk mengurusi kesehatan dan tidak perduli lagi terhadap pekerjaan. Yang menjadi ukuran malas adalah apa yang dianggap penting jauh di dalam lubuk hati mereka, tetapi mereka hindari.


 

15 Maret 2011

Tentara Sang Penyelamat


Tentara yang menyelamatkan korban gempa dan tsunami di Jepang barangkali keluarganya juga korban. Ia belum bertemu dengan anak perempuannya, istrinya, ibunya, atau ayahnya. Demi tugas ia harus menekan rasa sedih; berupaya mencari korban-korban lainnya sementara keluarganya juga belum ditemukan selamat.

















10 Maret 2011

Katak di Atas Tempurung

Beberapa hari yang lalu, seorang teman curhat. Pusing dengan rencana perusahaan untuk mem-PHK-kan karyawannya. Tidak tanggung-tanggung, 300 orang. Kenapa pusing? Yah karena perusahaan tempat dia bekerja pasti akan menghadapi masalah yang cukup rumit, sehingga jauh-jauh hari sebelum PHK dilakukan, mereka sudah mencari lawyer untuk mengurus semua proses.


Dua hari sebelumnya juga seorang teman menjerit, karena seorang karyawan di kantornya, tiba-tiba dipecat, hanya karena kesalahan yang menurut dia sepele, yaitu menitipkan kunci kantor di warung depan perkantoran. Hmm kesannya kesalahan yang sepele yah, tetapi itu memang suatu keteledoran. Kasihan yah, keluarga di Bandung, menanti kepulangannya di hari lebaran, tetapi harus membawa berita buruk.


Seorang teman yang lain bercerita, ketika sore-sore naik angkot, seorang laki-laki yang duduk di depan mengeluh pada pak supir, dia baru saja di PHK, padahal sudah dekat lebaran. Mungkin banyak sekali keadaan seperti ini di sekitar kita, atau mungkin menimpa kita sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi, kebanyakan dari kita dibentuk menjadi pekerja, sehingga selalu berharap mendapatkan pekerjaan. Sesuatu yang semakin hari semakin susah.

Lihat saja sekarang, tidak ada lagi perusahaan yang mengangkat karyawan tetap. Semua dengan dengan sistem kontrak. Walau akhirnya bekerja bertahu-tahun, tetap saja statusnya karyawan kontrak yang harus renew kontrak setiap tahun. Kalau sudah begini, mau menyalahkan siapa. Perusahaan yang tidak menerima lamaran kerja Anda, perusahaan yang memecat anda? Seharusnya kita mulai merubah cara berpikir.

Ketika berdoa, jangan berdoa untuk mendapatkan pekerjaan. Berdoalah untuk mendapat kesuksesan dalam setiap usaha kita. Mudah-mudahan, sukses datang untuk anda. PHK bukan berarti kiamat, Allah sebaik-baiknya pemberi rejeki.
Rezeki telah dihamparkan di muka bumi. Cicak yang nemplok di dinding, nyamuk yang setiap kali mencari makan terancam ditepuk sampai mati pun dijamin rejekinya oleh Allah. Gaji Anda hanya sepuluh persen dari rezeki yang digariskan, sementara 90 persen yang lain harus dicari.

Inilah sebabnya seorang pengusaha bisa lebih kaya dari seorang pegawai. Karena ia selalu mencari yang 90 persen miliknya. Banyak peluang di sekitar kita, tetapi mata kita buta untuk melihat. Yang dipikirkan hanya gedung-gedung megah perkantoran, outfit kantor yang keren, jam kerja yang teratur. Kita tidak melihat, di sekitar kita tersebar 90 persen peluang meraih rezeki.


Saya ingat, seorang adik kelas sewaktu kuliah, cerdas, gigih dan bersemangat untuk belajar. Kuliah di perguruan tinggi favorit yang terkenal dengan biaya kuliah yang cukup tinggi dan mahasiswa dari kalangan berada. Saya tidak pernah tahu kehidupannya, hingga dia mengundang saya dalam pernikahan sederhananya.
Mobil saya parkir di pinggir rel kereta api seperti petunjuk di undangannya. Melangkah kaki dengan bingung, karena memasuki wilayah pemulung di pinggiran rel. Setengah tidak percaya, tapi di situ tempat acara berlangsung. Saya temui sang pengantin yang berbahagia dengan sedikit kebingungan. Dan luar biasaaaaa, membuat mata saya terbuka,
Betapa ayahnya berawal dari pemulung hingga menjadi pengumpul limbah khusus botol kaca. Memiliki cita-cita tinggi, sehingga mampu menyekolahkan anak-anaknya di perguruan tinggi yang terkenal mahal, malah seorang kakaknya kuliah di fakultas kedokteran. Benar-benar, kita harus berkaca dengan kesuksesannya. Tidak bergelimang kemewahan, tetapi memiliki banyak harta untuk mencapai impian. Dan semua dimulai dari kepedulian terhadap lingkungan sekitar ... mengumpulkan limbah.

Jadi kalau kita masih terdaftar sebagai karyawan, persiapkan diri untuk mencari peluang menjadi mandiri. Tidak ada bos, tidak ada PHK, tidak ada tekanan. Yang ada adalah diri kita dan seberapa keras usaha kita meraih sukses. Jangan berfikir semua harus ada modal dana, karena diri kita adalah modal utama.

Sumber : kolom kita







03 Maret 2011

Syair Penjual Kacang

Al-Habib, seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senansiasa didamba malam itu mengimani shalat isya suatu jamaah yang terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat. Berbeda dengan adatnya, sesudah tahiyat akhir diakhiri dengan salam. Al-Habib langsung membalikkan tubuhnya, menghadapkan wajahnya kepada para jemaah dan menyorotkan matanya; tajam-tajam.

“Salah seorang dari kalian keluarlah sejenak dari ruang ini”, katanya, “di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok. Keluarkan sebagian dari uang kalian, belilah barang beberapa bungkus. “ Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan kembali ke ruangan beberapa saat kemudian.
“Makanlah kalian
semua” lanjut Al-Habib “Makanlah biji kacang-kacang itu, yang diciptakan oleh Allah dengan kemuliaan, yang dijual oleh kemuliaan, dan dibeli oleh kemuliaan.

Para jamaah
tak tak begitu memahami kata-kata Al-Habib, sehingga ambil menguliti dan memakan kacang, wajah mereka tampak kosong. “Setiap penerimaan dan pengeluaran uang,” kata Al-Habib, “hendaklah dipertimbangkan berdasarkan nilai kemuliaan. Bagimana mencari uang, bagaimana sifat datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan menjadi ibadah yang tertinggi derajatnya apabila diberangkatkan untuk perhitungan untuk memperoleh kemulian.”

“Tetapi ya
Habib,” seseorang bertanya, “apa hubungan antara kita beli kacang malam ini dengan kemuliaan?

”Al-Habib menjawab, “Penjual kacang itu bekerja sampai larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. Ia menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota dan kampung-kampung. Di malam hari pada umumnya orang tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin bahwa Allah membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk pun. Itu taqwa namanya.
Berbeda dari sebagian kalian yang sering tak yakin akan kemuliaan Allah, sehingga cemas dan untuk menghilangkan kecemasan hidupnya ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta bersedia melakukan doa apapun saja asal mendatangkan uang.

Suasana menjadi hening. Para jamaah menundukkan kepala dalam-dalam. Dan Habib berkata: “Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu? “Al-Habib bertanya lagi ,”Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu? Lebih rendahkah derajat penjual kacang itu itu dibanding kalian atau di mata Allah lebih tinggi maqom-nya dari kalian? Kalau demikian, kenapa di hati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa seorang penjual kacang adalah orang rendah dan orang kecil?”

Dan ketika
Al-Habib akhirnya mengatakan, “Maha Mulia Allah yang menciptakan kacang, sangat mulia si penjual kacang itu dalam pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian yang membeli kacang berdasarkan makrifat terhadap kemuliaan…” Salah seorang berteriak, melompat dan memeluk tubuh Al-Habib erat-erat.

Emha Ainun Nadjib




02 Maret 2011

Tentang Teman-Teman Saya di Padang Masyar Nanti

Dalam perjalanan pulang dengan rute Danau Singkarak-Solok- Padang, kira-kira 75 kilometer jaraknya, saya singgah sebentar di SPBU di Kubung untuk mengisi bensin dan shalat. Kubung adalah daerah batas kota Solok menuju Padang. Menjelang Kubung, hujan sudah mulai turun, jadi selain shalat, saya duduk sebentar di teras. Mantel tertinggal di Padang.

Tadi sebelum masuk ke mushalla, di bawah hujan yang menderas itu, saya melihat sepasang manusia yang nampaknya pengemis melintas dari pom bensin ke arah ruko yang berada satu pagar dengan pom itu juga. Yang laki-laki dituntun oleh yang perempuan. Saya sudah terbiasa melihat pengemis buta yang dituntun, tetapi pasangan ini menarik perhatian saya dari jauh. Keduanya berbadan kecil meskipun tidak cebol. Kemudian mereka tidak tampak lagi.

Hujan masih turun sebentar setelah saya shalat, tapi kemudian reda. Saya kemudian memutuskan sesegera mungkin meneruskan perjalanan ke Padang sebelum terjebak hujan lagi. Ketika saya melewati samping ruko, saya melihat pasangan pengemis tadi ternyata masih berdiri di sana dan nampak akan pergi. Masih di atas sepeda motor, saya kemudian memanggil, “Mak, sabanta Mak” (Ibu, sebentar, ibu). Ibu ini meninggalkan putranya yang buta dan berjalan 3-4 langkah menuju saya.

Entah sejak berapa lama, saya sudah tidak pernah lagi memberi uang pada para pengemis. Aqidah yang saya yakini mengatakan Keadilan adalah sifat yang paling utama dari Tuhan selain dari Kasih Sayang. Hanya dengan Keadilanlah kemudian maaf dan ampun dapat hadir. Saya tidak lagi memberi uang kepada pengemis, yang menghidupi dirinya yang sanggup bekerja hanya dengan meminta uang, karena merasa bila melakukan itu, saya tidak adil terhadap mereka yang miskin tapi bekerja keras.

Apakah inti memberi itu? Bagi saya, memberi itu adalah menghormati. Saya ingin orang-orang yang menerima sesuatu bukan karena mereka merasa lebih rendah dari yang memberi. Mestinya pemberian ditujukan untuk membuat yang menerima merasa berharga, merasa apa yang dikerjakannya bermanfaat bagi orang lain, dan seterusnya.

Dalam bukunya, The Selfish Gene (1976, diulangi dalam edisi ulang tahun ke tiga puluh buku ini, tahun 2006), Richard Dawkins, ilmuwan atheis itu mengutip ilmuwan lain yang mengatakan bahwa :“Kebaikan” itu bukan motif manusia, kalaupun mereka memberi pada orang lain, itu hanya karena ingin menunjukkan bahwa dia lebih mampu dari orang yang ditolongnya, memberi sekadar untuk menunjukkan kekuatannya, untuk pamer."


Saya menghindari dari memberi seperti ini, itulah yang menyebabkan saya memberi untuk menghargai para pekerja keras yang mendapatkan tidak seberapa dari keringatnya, atau yang masih harus bekerja setelah orang lain beristirahat. Kadang saya membayar lebih supir angkot yang malam hari masih mencari penumpang, membayar lebih penjual kerupuk dengan sepeda bobrok ketika kerupuknya masih banyak padahal hari sudah maghrib, membayar lebih penjual jagung rebus yang masih meneriakkan dagangannya jam 10 malam dengan berjalan kaki. Membayar lebih yang saya maksud berarti saya membayar satu keranjang dagangannya hari itu, tetapi hanya membawa pulang segenggam tangan saja.


Setelah dekat, saya dapat melihat dengan jelas betapa tubuh mereka memang lebih kecil dari manusia normal (dengan fisik seperti ini, saya langsung membayangkan betapa sakit bagi ibu ini melahirkan anaknya dulu). Ketika saya kemudian berdiri di dekat ibu itu, wajahnya seperti berusia 60 tahun, tingginya nampaknya kurang dari 140 cm. Semuanya kecil, tangannya, wajahnya, kakinya. Ketika saya bertanya dimana tinggalnya, beliau menjawab, “di tanah Aji Ali..lai tau anak Aji Ali?” (di tanah Aji Ali…Anak tau Aji Ali?”). Dari jawabannya ini saya tau betapa ibu ini hidup hanya sejauh kaki berjalan membawanya. Bahkan sesudah saya mengatakan saya tidak tahu dan tinggal di Padang, beliau nampak masih bingung.

Setelah menerima uang dari saya, beliau kemudian mengatakan, “Tarimo kasih Nak, samugo pintu rasaki Anak tabukak di tampek-tampek lain, samugo pintu rasaki Anak aluih tabukonya” (Terima kasih, Nak, semoga pintu rezeki Anak terbuka di tempat-tempat lain, semoga pintu rezeki anak halus terbukanya).

Setelah turun dengan segera dari sepeda motor, saya mencium jarinya yang kecil itu dua atau tiga kali sambil mengucapkan terima kasih. Mata saya basah mendengar doa ini. Terbayang lagi oleh saya perjalanan kira-kira 75 kilometer yang saya tempuh hari ini untuk bertemu hanya 15 menit dengan user kami, dan pulang menempuh jarak yang sama dengan penjadwalan ulang pembayaran. Terbayang lagi bagaimana ketika berangkat tadi dua kali saya hampir ditabrak mobil yang menyalip ugal-ugalan di tikungan.


Saya tidak mengerti apa maksud doanya yang terakhir, apakah ada bedanya pintu rezeki yang terbuka dengan halus dan yang terbuka dengan kasar? Apakah yang dimaksudnya dengan kasar berarti kekayaan, sedang yang dimaksud dengan halus adalah berkah? Apakah yang dimaksud dengan kasar berarti saya mengorbankan orang lain sedangkan halus berarti menumbuhkan orang lain? Saya tidak tahu sama sekali ke mana arahnya.

Sesaat kemudian saya melihat putranya yang nampak sudah dewasa ini meraba-raba mencari suara ibunya. Dalam kondisi yang lebih siap, saya cepat mendekati laki-laki yang sama tinggi, yang semua fisiknya juga sama ukurannya dengan ibunya ini. Memeluknya sepenuh hati saya, kemudian mencium tangannya. Saya mengucapkan terima kasih, “Alhamdulillah, ambo basuo jo uda” (Alhamdulillah, saya bertemu dengan Abang). Ketika saya cium tangannya, sambil tangan kirinya berusaha mencari-cari pundak saya laki-laki ini mengatakan, “Samugo Allah mangganti a nan lah uda ikhlaskan.” (Semoga Allah mengganti apa yang sudah Abang ikhlaskan).

Saya pribadi sebetulnya tidak ada keluhan sedikitpun terhadap apa yang saya alami hari ini. Ada banyak hal-hal tak-terulang-lagi yang saya alami hari ini dan sangat saya syukuri, yang dapat saya tuliskan menjadi sebuah note yang lain. Saya juga tahu bahwa doa ini bukan tentang uang yang sudah saya serahkan. Doa kadang-kadang tentang harapan, tetapi tidak jarang isinya adalah peringatan. Karena itu, saya mengerti, doa itu mengingatkan saya kepada apa-apa yang masih saja saya tahan di dalam hati, padahal telah saya serahkan kepada orang lain. Saya juga mengerti bahwa di mata Tuhan mudah sulitnya transisi dari satu penggantian kepada penggantian yang lain tergantung pada keikhlasan saya.


Saya kemudian pamit, menurunkan visor helm, kemudian melanjutkan perjalanan ke Padang, kira-kira 50 kilometer lagi. Saya seperti terbang karena merasa tersentuh. Sampai ke Padang, tidak sedikitpun hujan turun lagi.

Saya belum tahu bagaimana makna utuh kejadian ini. Tetapi, sebagaimana pernah saya tuliskan di catatan saya yang lain, saya sangat ingin dibangkitkan di akhirat bersisi-sisian dengan manusia-manusia seperti ini. Yang nanti timbangannya cepat dan sederhana serta tidak banyak menjawab pertanyaan yang sulit dari Tuhan. Ini bukan tentang sedekah, ini bukan tentang menolong orang lain yang lebih lemah, ini tentang memeluk, mencium tangan, dan didoakan oleh orang-orang yang saya harapkan menjadi teman saya di Padang Mahsyar kelak. Saya bahagia menjalani pengalaman ini dan bahagia merenungkannya kembali.

Sumber : Nash Azfa Manik




05 Februari 2011

Makan Malam bersama Anak-Anak Yatim

“Bu Rahma, Dimas mo jajan lima ratus, tapi yang bikin kenyang” ujar Dimas. “Memang Dimas dikasih uang berapa sama Ustad Lutfi? tanya Bu Rahma. “Seribu, lima ratus sisanya buat jajan besok", jawab Dimas polos.
Dimas (4 tahun) adalah salah satu anak yang mondok dipanti asuhan Al-Kautsar. Ayahnya sudah tiada. Setelah ayahnya tiada, Dimas dititipkan di sini (Al-Kautsar) oleh ibunya, sedangkan 2 kakak Dimas lainnya dititipkan di panti asuhan Sukabumi.

Kini ibunya (Dimas) bekerja sebagai pembantu rumah tangga, beliau menitipkan ketiga anaknya di panti asuhan…demi memberikan makanan dan pendidikan terbaik buat mereka.

Semalam pukul 19.00 (Jumat,4/2/2011) kami makan malam bersama anak-anak panti Al-Kautsar, seusai shalat Isya. Ini adalah makan malam paling nikmat sepanjang sejarah hidup saya. Pak Jhon dan Ibu Nova pedagang sepatu grosir di Pasar Anyar Bogor --berbagi nasi kotak dengan 67 orang anak-anak panti asuhan Al-Kautsar yang terletak di jalan Ceremai Ujung No 50 Bogor.


Oma Queency dan Ibu Nova (istri Pak Jhon) yang memasak buat anak-anak tersebut. Memberi makan anak-anak yatim adalah amal yang membuat Anda tersenyum, ,orang lain tersenyum, dan Tuhan pun ikut tersenyum.

Paman Pak Jhon pernah memberi nasihat agar mereka menyisakan sebagian rejeki buat anak-anak yatim. Setiap hari mereka menyisihkan “jatah” makan satu orang anak yatim di sebuah celengan tak peduli hari itu dagangan mereka laris atau tak laku.

Jika sudah terkumpul, uang tersebut mereka belikan nasi kotak buat makan bersama dengan anak-anak yatim di panti-panti asuhan. Seperti pesan Khalil Gibran : “Memberilah, selama musim memberi itu belum berlalu."

01 Januari 2011

Perbuatan Baik Laksana Bola Salju

Seorang pemuda berangkat kerja pada pagi hari dengan menggunakan taksi . “Selamat pagi pak,” katanya menyapa sang supir taksi.”pagi yang cerah bukan?”sambungnya sambil tersenyum.

Tiba di tujuan pemuda itu membayar dengan selembar dua puluh ribuan, untuk argo yang hampir lima belas ribu. “Kembaliannya buat bapak saja. Selamat bekerja pak,” kata pemuda itu dengan senyum.

“Terima kasih,”jawab pak sopir.”Wah…aku bisa sarapan dulu nih,” lanjutnya lagi. Dan ia pun menuju sebuah warung langanannya. “Biasa pak”,tanya si mbok pemiliki warung.”Iya, biasa, nasi, sayur, tapi kali ini tambahkan sepotong ayam,” jawab pak sopir dengan tersenyum.

Ketika membayar, ia memberi tambahan seribu rupiah.”Buat jajan anaknya si mbok,” begitu katanya. Dengan tambahan uang jajan seribu, pagi itu anak si mbok berangkat sekolah dengan senyum yang lebih lebar. Ia bisa membeli dua roti , satu roti untuk sarapan dan satu roti lagi ia berikan kepada temannya yang tidak mempunyai bekal. Begitulah, perbuatan baik itu bisa berlanjut. Bergulir seperti bola salju.


21 September 2010

Wanita Tuna Rungu Raih Sarjana Selama 10 Tahun, Kini Lanjutkan S2!

JAKARTA – Perjuangan seorang perempuan tuna rungu, Galuh Sukmara Soejanto, patut diacungi jempol. Keterbatasannya tidak menyurutkan semangatnya meraih gelar pendidikan. Dia berjuang meraih sarjana dan master.

Studi sarjana Psikologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dia tempuh selama sepuluh tahun. Kegigihannya dalam meraih gelar strata satu itu pun akhirnya membuahkan hasil. Dia pun meraih gelar sarjana. Tidak berhenti sampai di situ, dia kini tengah berjuang menyelesaikan studinya hingga ke jenjang S2. Wanita berkerudung itu pun mendapat beasiswa dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Keminfo), guna studi di pascasarjana La Trobe University, Melbourne, Australia, dalam bidang bahasa isyarat.

“Kenapa (gelar sarjananya) begitu lama? Karena dia tidak mendapatkan bantuan khusus. Di UGM dia menerima materi pelajaran hanya dengan membaca bibir dosen," jelas Wakil Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) Dirgayuza Setiawan, dalam keterangan tertulisnya kepada okezone, Rabu (22/9/2010).

Sebenarnya, perempuan berkerudung ini dilahirkan normal. Dia kehilangan kemampuan mendengar sejak usia dua tahun. Namun, keterbatasan tersebut tidak menyurutkan semangat Galuh untuk mendapat pendidikan tinggi. Galuh ingin membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia, negara yang sudah terkenal kaya akan keragaman bahasa lisan, juga kaya akan bahasa isyarat.

Karena semangatnya yang begitu kuat, akhirnya PPIA mendokumentasikan perjuangan Galuh dalam video dan dipublikasikan melalui situs pengunggah video YouTube. Video tersebut, lanjut dia, merupakan bentuk dukungan PPIA terhadap perjuangan Galuh. "Dalam waktu dua minggu saja, episode ini sudah mendapatkan lebih dari 2.000 penonton di YouTube," terang Dirgayuza.

Dirgayuza memaparkan, Lingkar Ide PPIA merupakan program knowledge sharing dari PPI Australia. "Melalui medium film dokumenter singkat, PPIA mendokumentasikan riset-riset yang berguna untuk bangsa Indonesia, yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia di Australia," imbuhnya.

Selain menjadi wakil atas lebih dari 15 ribu pelajar Indonesia di Australia, PPI Australia juga menjadi pusat informasi tentang berbagai beasiswa Australia untuk pelajar Indonesia, serta beragam program unggulan PPI Australia seperti Buku Untuk Anak Bangsa, Lingkar Ide PPIA dan buku Contribution Matters. (rhs)


Sumber :
okezone.com. Rabu 22 September 2010

04 September 2010

Warna Rasa Syukur

Kita selalu punya alasan untuk bersyukur daripada sekedar berterima kasih kepada Tuhan. Cerita inspiratif ini saya peroleh dari milis idarimurti. Selamat menikmati.

Dari tadi pagi hujan mengguyur kota tanpa henti, udara yang biasanya sangat panas, hari ini terasa sangat dingin. Di jalanan hanya sesekali mobil yang lewat, hari ini hari libur membuat orang kota malas untuk keluar rumah. Di perempatan jalan, Umar,seorang anak kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat melindungi koran dagangannya dengan lembaran plastik.

"Korannya bu !"seru Umar berusaha mengalahkan suara air hujan.

Dari balik kaca mobil si ibu menatap dengan kasihan, dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar dua puluh ribuan dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang.

"Mau koran yang mana bu?, tanya Umar dengan riang.

"Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi aku juga sudah baca", jawab si ibu.

Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan kembali uang dua puluh ribu yang dia terima, "Terima kasih bu, saya menjual koran, kalau ibu mau beli koran silakan, tetapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya" , Umar berkata dengan muka penuh ketulusan.

Dengan geram si ibu menerima kembali pemberiannya, raut mukanya tampak kesal, dengan cepat dinaikkannya kaca mobil. Dari dalam mobil dia menggerutu "Udah miskin sombong!". Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukkan warna hijau. Meninggalkan Umar yang termenung penuh tanda tanya.

Umar berlari lagi kepinggir, dia mencoba merapatkan tubuhnya dengan dinding ruko tempatnya berteduh. Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatap nanar rintik-rintik hujan didepannya,

"Ya Tuhan, hari ini belum satu pun koranku yang laku", gumamnya lemah.

Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda, Umar masih saja duduk berteduh di emperan ruko, sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar. Tiba-tiba didepannya sebuah mobil berhenti, seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah,

"Tukang gorengan sialan, minyak kaya gini bisa bikin batuk", dengan penuh kebencian dicampakkannya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah, dan beranjak kembali masuk ke mobil.

Umar dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada di mobil.

"Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja bapak buang untuk saya makan", pinta Umar dengan penuh harap.

Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya.

"Nak, bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau"

"Terima kasih pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi saya, boleh khan pak?, tanya Umar sekali lagi.

"Bbbbbooolehh" , jawab pria tersebut dengan tertegun.

Umar berlari riang menuju tong sampah, dengan wajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan, sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi masih memandanginya.

Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus Umar yang sedang makan.
Dengan perasaan berkecamuk didekatinya Umar.

"Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa kamu harus meminta ijinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?, dengan lembut pria itu bertanya dan menatap wajah anak kecil didepannya dengan penuh perasaan kasihan.

"Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya, meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga, dan saya pantas untuk meminta ijin memakannya ", jawab si anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.

Pria itu sejenak terdiam, dalam batinnya berkata, anak ini sangat luar biasa. "Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu, aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya".

Si anak kecil tersenyum dengan manis, "Maaf pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya makan sekantong gorengan hari ini sudah lebih dari cukup. Kalau saya mencampakkan gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang menurut Bapak
lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir, basah oleh air hujan dan hanya akan jadi makanan tikus."

"Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di restoran dimana aku yang akan mentraktirnya" , ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa anak didepannya berfikir keliru. Umar menatap wajah laki-laki di depannya dengan tatapan yang sangat teduh.

"Bapak !, saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini. Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya", Umar memperbaiki posisi duduknya dan berkata kembali. " Dan saya merasa BERBAHAGIA, bukankah bahagia adalah BERSYUKUR dan merasa
CUKUP atas anugerah HARI INI, bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini tetapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali dikemudian hari."

Umar berhenti berbicara sebentar, lalu diciumnya tangan laki-laki didepannya untuk berpamitan. Dengan suara lirih dan tulus Umar melanjutkan kembali. "Kalau hari ini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan harinya saya menginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi mentraktir saya, maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya" .

Pria tersebut masih saja terpana, dia mengamati anak kecil di depannya yang sedang sibuk merapikan koran dan kemudian berpamitan pergi.

"Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, Harusnya aku yang layak dikasihani, karena aku jarang bisa berdamai dengan hari ini"





14 Agustus 2010

Nick Voichik, Sang Pemenang Sejati



Menurut Rhenald, Nick Voichick—yang tak memiliki tangan dan kaki—tetap bisa hidup bahagia. Dia tetap ceria dan, bahkan, memberi semangat kepada banyak orang. Nah, yang menarik, Rhenald bercerita soal yang satu ini: Nick sering mempertontonkan kepada anak-anak muda betapa tidak enaknya jatuh ke bawah.

"Kalau Anda jatuh seperti ini, apa yang Anda lakukan? (Mungkin ketika berkata seperti itu, Nick sambil memeragakan bagaimana dia jatuh berguling-guling—HH). Bangun, ayo bangun! Tetapi, selalu saya katakan kepada diri saya: Bangun dengan menggunakan apa? Anda bilang bangunlah dengan menggunakan kaki dan tangan Anda. Tetapi, saya tidak punya apa-apa.

"Bukankah dalam hidup ini, suatu ketika, Anda juga akan mengalami jatuh seperti saya. Dan sekalipun Anda punya kaki dan tangan, Anda akan merasakan seperti tak memilikinya. Maka apa yang akan Anda lakukan?

"Anda pun mungkin akan menjawab, 'Ya coba terus!' Saya sudah mencoba bangun dan belajar kembali tegak sebanyak seratus kali. Tetapi, saya selalu gagal. Apakah yang harus saya lakukan? Kalau saya mencoba seratus kali dan tetap gagal, apakah saya tetap akan mampu berdiri? Tentu tidak.

"Saya pun terus mencobanya. Seratus kali gagal, seratus sepuluh kali saya mencoba berdiri lagi. Hanya kalau saya berhentilah maka saya akan gagal. Nah, setelah mencoba berkali-kali, saya menemukan caranya, seperti ini...."

Nick pun mempertontonkan cara berdiri dengan menggunakan kepalanya yang dijadikan telapak tangan, lalu tubuhnya dilengkungkan. Ajaib. Ia bisa berdiri tegak. Demikian cerita Rhenald Kasali.

Sumber : Kutipan dari note facebook Pak Hernowo Hasyim





28 Juli 2010

Rokok Membunuhmu Secara Perlahan (Iklan rokok : keren sih...tapi...")

Papi saya ,Yunasrun Manaf Lubis (almarhum) perokok berat. Satu hari ia bisa menghabiskan 32 batang rokok, bahkan lebih. Papi saya jarang berolah raga, suka sekali minum kopi hitam (kental), dan setiap kali saya ingatkan tentang bahaya merokok ia selalu bilang : "Umur di tangan Tuhan, kalau mati ya mati aja, merokok nggak merokok tetap mati." Beliau mati mendadak (meninggal dunia) kena serangan jantung pada usia 55 tahun.

"Pi, apa sih enaknya ngerokok?" tanya saya penasaran.
"Nggak ada, rasa asap doang. Nggak ada untungnya" makanya Bobby jangan merokok, jawab beliau.
"Lho, kok papi ngerokok? kejar saya lagi.
"Abis gimana, udah kecanduan, kalau nggak ngerokok seperti ada sesuatu yang kurang," jawab papi saya.



Teman sepermainan saya di rumah yang cowok-cowok (kelas 4 SD) memulai karier merokok pertama mereka lewat rokok daun kaung. Ada juga yang patungan dari uang jajan buat beli rokok Minak Djinggo buat menjajal "gimana sih enakya rokok itu?". Harganya kala itu masih dua puluh lima rupiah. Mereka merokok di kuburan biar nggak dilabrak bapak-bapak mereka yang galak.


Peristiwa ini membuat urat penasaran saya tergelitik. Diam-diam saya lalu mengumpulkan sisa-sisa puntung rokok milik papi saya. Saya kupas puntung rokok itu satu-persatu. Saya melinting rokok pertama saya dari sisa tembakau puntung-puntung rokok tersebut. Setelah selesai, rokok itu pun saya sulut. Hisapan pertama membuat saya batuk-batuk. Saya kapok, dan berjanji nggak bakalan ngerokok, ternyata rokok itu bikin batuk. Hilang sudah rasa penasaran ini. Sejak hari itu sampai detik ini saya tidak pernah menyentuh rokok.

Iklan rokok di tv, menurut saya keren sih, tapi menyesatkan. Iklan rokok adalah satu-satunya iklan di dunia yang tidak menampilkan "si rokoknya".

"Laki-laki harus merokok, kalau nggak merokok banci," begitu celoteh teman SMP saya. Betapa pun kerasnya mereka membujuk, saya tetap teguh pada pendirian untuk tidak merokok.

Rokok menjadi barang haram di sekolah, terutama buat anak laki-laki apalagi perempuan. Buat para guru yang terhormat, rokok dihalalkan. Pernah suatu hari ketika saya kelas 1 SMP, teman sekelas saya tertangkap basah. Di tasnya ditemukan sebungkus rokok. Dia dihukum. 3 batang rokok dijejalkan di mulutnya lalu dinyalakan.

"Ayo hisap sepuasmu" bentak guru terhormat itu.
"Iya pak," dengan susah payah mereka melakukan itu atas dasar pembelajaran yang aneh.

Bukan itu hukuman yang tepat. Mereka seharusnya disuruh membuat kliping tentang bahaya merokok.
Apa aja sih kandungan rokok? Kenapa rokok dilarang? Apa daya rusak rokok buat kesehatan? Kalau rokok dilarang kenapa guru-guru merokok? Apakah paru-paru dan jantung bapak-bapak guru tersebut tahan nikotin? Yang terpenting adalah guru harus memberi contoh untuk tidak merokok!

Memang betul pendapat almarhum papi saya bahwa tidak ada orang yang hidup selamanya. Merokok nggak merokok tetap mati. Tetapi menjaga kesehatan dengan tidak merokok adalah salah satu cara bersyukur yang indah.

Tubuh ini pinjaman Tuhan. Jangan biarkan jantung dan paru-paru meradang diserbu asap rokok bertubi-tubi. Tidak merokok adalah salah satu wujud mencintai anak dan istri. Coba lihat di dalam bungkus rokok tertulis peringatan : "Rokok dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, dan impotensi.

Seandainya saya mati muda, Queency dan bundanya akan pontang panting untuk membiayai hidup
dan membayar uang sekolah yang semakin hari semakin mahal.

Soal merokok dan tidak merokok memang merupakan pilihan. Sebab sesuai aturan hukum positif Indonesia rokok meski sudah dilabeli pemerintah sebagai zat beracun bagi kesehatan dan difatwakan haram oleh Muhamadiyah, rokok masih boleh dikonsumsi.

Selamat memilih, saya telah telah memilih untuk tidak merokok.


22 Juli 2010

Kisah Menakjubkan di Siang Bolong

Sepulang dari kantor suamiku tadi siang,di angkot aku bertemu dengan seorang ibu tua renta, kumal dan sedikit (maaf) bau. Aku duduk persis di depan ibu itu. Beliau tersenyum padaku lalu aku membalas senyuman ibu itu dengan sama ramahnya.

Ibu itu meminta uang padaku, dengan cepat aku menyerahkan selembar uang lima ribu rupiah. Lalu kami berjabatan tangan. Sementara penumpang lainnya menutup hidung karena ibu itu memang bau.

"Dari mana neng?" tanya ibu itu.
"Dari kantor suami bu, abis nawarin dagangan kursi lipat", jawabku.
"Laku? tanya ibu itu lagi.
"Alhamdulilah bu, jawabku.

Kami terlibat percakapan hangat selama perjalanan. Beliau bercerita tentang tingkah laku anak-anak dan cucunya yang lucu-lucu. Aku menyimak dengan seriusnya. Ada cahaya surga di mata ibu itu, cahaya surga yang dipunyai oleh seluruh ibu di dunia ini.Tak sedetik pun aku berpaling dari wajahnya.

Dalam hati aku mengatakan, siapapun yang ada di depanku ini harus aku hargai walaupun aku tak mengenalnya, walaupun dia kumal dan (maaf) bau! Bukankah di mata Allah kita semua adalah sama?

Belum habis kekagumanku pada sosok indah di depanku ini,aku harus turun dari angkot. Dengan sopan aku berpamitan sambil mencium tangan ibu itu. Sembari memberikan uang dua ribu kepada pak supir, aku menoleh ke arah ibu tadi, tapi...ibu itu sudah lenyap. Kemana ibu itu? Hilang dalam sekejap mata?

Aku shock, apakah ibu tadi hantu di siang bolong? Di angkot itu hanya aku yang melihat ibu itu, tetapi tidak penumpang lainnya. Aku menghela nafas panjang untuk menenangkan diri. Setelah turun dari angkot, aku duduk di pinggir trotoar memastikan kalau aku baik-baik saja.Aku gemetaran.

Siapa sebenarnya ibu itu? Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku. Entahlah...aku bingung, tak bisa menjawabnya. Lamunanku buyar, seorang pengamen dengan dandanan 'punk' menghampiriku, kemudian bertanya.

"Bu, apa ibu baik-baik saja? Ibu mau kemana? Ada yang bisa saya bantu bu?", tanya pengamen berdandan punk itu dengan nada khawatir.

Diberondong dengan banyak pertanyaan sekaligus , aku hanya memberikan senyum. Aku masih 'shock'. Anak punk itu duduk di sampingku. Akupun memulai percakapan.

"Siapa namamu, nak?" tanyaku untuk mencairkan suasana.
"Panggil saja Imam,bu." jawab anak itu lembut.
"Tinggal di mana?"tanyaku lagi dengan hati-hati.
"Di bumi ini , di kolong langit." jawabnya tegas.

Hmm...aku pun tak bertanya lagi. Imam kemudian menceritakan tentang orangtuanya yang entah di mana sekarang, dia sudah berpisah dengan mereka sejak kanak-kanak. Usianya mungkin sekitar lima belas tahun.

Aku menyimak semua cerita Imam. Ini pertama kalinya aku 'ngobrol' di pinggir trotoar dengan anak 'punk'. Semua mata tertuju padaku.

"Imam sudah makan ,nak?", tanyaku lagi
"Sudah bu." jawab Imam.
Kutatap matanya, aku tahu dia pasti bohong. Akhirnya aku memberi dia uang sepuluh ribu rupiah.

"Terima kasih bu." sahut Imam.
"Sama-sama Imam" jawabku.
"Bu, saya mau nyanyi buat ibu, judulnya "Bunda", itu lho bu, lagunya Melly Goeslaw.
"Ibu nggak buru-buru kan?" ucap Imam memastikan.
"Boleh, ibu nggak buru-buru kok," jawabku.

Aku tersenyum sambil mendengarkan lagu yang dinyanyikan Imam.
Suaranya lumayan bagus. Aku terharu. Imam bernyanyi dengan sepenuh hati.

"Makasih ya Imam, suaramu bagus sekali." ujarku memuji.
"Sama-sama bu, lagu itu pengobat rindu Imam ke Ibu Imam, karena ibu Imam nggak ada, jadi lagu itu Imam persembahkan buat ibu, ujar Imam.
"Anggap aja ibu ini ibunya Imam." ujarku.

Aku peluk Imam, seperti memeluk anakku sendiri "Makasih sayang, kamu hebat," seruku penuh rasa kagum. Imam kemudian mencium tanganku, air matanya membasahi punggung tanganku.Dengan penuh haru kami pun berpisah.

Tiba saatnya aku harus melanjutkan perjalanan pulang. Hari ini aku bertemu dengan dua orang yang "menakjubkan". Tuhan Maha Kreatif dalam menyampaikan pesan indahnya.

(Kisah ini kejadian nyata yang dialami istriku : Mona.
Kamis, 22 Juli 2010, kejadiannya di dalam angkot 01, dan seputaran Tugu Kujang, Bogor.

04 Juli 2010

Anti Edit(or)

Oleh Feby Indirani

Apakah Anda akrab dengan nama Bill Thompson? Jason Kaufman? Atau, barangkali, Max Perkins? Oh, kenapa hanya nama asing yang saya tanyakan! Baiklah, Suhindrati A. Sinta?

Rata-rata orang yang saya tanya menggelengkan kepala (seperti Anda?) ketika saya menyebutkan nama-nama itu. Tapi hasilnya berbeda begitu saya menyebutkan Stephen King, John Grisham, Dan Brown, Ernest Hemingway, Scott F.Fitzgeraldz, dan Andrea Hirata. Mereka penulis hebat. Kemungkinan besar Anda pun pernah membaca buku mereka atau minimal pernah mendengar nama dan judul karya mereka.

Nama-nama di awal adalah para editor penulis-penulis hebat itu, yang bekerja keras sehingga buku-buku itu bisa secara mulus menggugah dan mencerahkan Anda. Jarang kita dengar orang mengatakan di belakang penulis hebat ada seorang editor yang sama –bahkan boleh jadi lebih –hebat. Beberapa kritikus menilai karya-karya Hemingway mengalami penurunan setelah tak lagi diedit oleh Max Perkins, yang meninggal pada 1947, meskipun The Old Man and The Sea (1952) tetap dikenang sebagai karya legendarisnya. Perkins pun berperan besar untuk karya-karya Fitzgerald, termasuk The Great Gatsby (1925).

Peran editor baik di penerbitan ataupun media massa biasanya memang jarang disebut-sebut. Jika sebuah buku/artikel bagus, penulislah yang melambung namanya. Kalau ternyata buruk, ya, pasti juga akan berpengaruh terhadap pamor penulis. Tapi biasanya tak cukup sampai di situ, editornya pun terbawa-bawa (minimal ada pertanyaan siapa sih editornya?) Karena, bagaimana mungkin naskah seburuk ini bisa lolos?

Saya tahu rasanya berada di posisi penulis dan editor lepas serta memiliki banyak teman berprofesi penulis, editor tetap/lepas, atau melakukan keduanya. Sejujurnya, jika Anda memiliki cita-cita ingin terkenal –seperti saya –editor memang bukan profesi cocok untuk kita. (Saya melakukannya semata demi hobi dan, tentu saja, uang.)

Di Indonesia, penghargaan terhadap profesi editor relatif masih minim, baik dari pembaca maupun penulis sendiri. Jangankan menghargai, memahami pun kadang kurang. Saya pernah kesulitan menjelaskan fungsi editor kepada seorang mahasiswa yang berminat pada dunia penulisan. Dia keukeuh berpikir bahwa posisi editor itu lebih “rendah” atau setidaknya lebih “mudah” dibandingkan co-writer.

Di sisi penulis malah kerap ada sikap anti-edit. Suatu hari seorang editor penerbit dengan pertumbuhan terpesat saat ini menceritakan pengalamannya. Kebetulan penulisnya terkenal dengan ratusan naskah yang sudah lahir dari tangannya. Sementara si editor jauh lebih muda, masih berseragam merah putih saat si penulis sudah menanjak namanya.

Sang editor mengkritik naskah lalu menyampaikan beberapa masukan. Yang ada, penulis terkenal itu membalas dengan e-mail bernada ketus. “Bukannya editor itu tidak berhak ya mengutak-atik isi? Tugasnya kan hanya memperbaiki tanda baca atau kata yang salah eja.” Tak lama kemudian ia serta-merta menarik naskahnya dan mencari penerbit lain.

Ada lagi kisah seorang penulis sangat berbakat saat pertama kali menerbitkan naskahnya. Ceritanya unik dan kaya detail hingga tak heran penerbit besar sempat tertarik mengambilnya. Syaratnya, naskah itu harus dihilangkan beberapa bagian. Si penulis berbakat menolak dan memilih mencari penerbit lain.

Tak sulit baginya menemukan penerbit lain, meski tak sebesar penerbit pertama. Buku itu cukup laris, saya termasuk pembacanya. Dengan hormat, bagaimanapun saya mesti mengakui ada banyak hal yang harusnya bisa diedit. Bukan karena tak menarik, tapi karena kurang relevan dan mendukung alur secara keseluruhan. Aliran kisah menjadi berlarat-larat karena diberati pengetahuan yang tak signifikan dan potensial membuat pembaca lelah sebelum waktunya.

Ada pula kisah seorang penulis yang memenangi Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Jaminan mutu? Melihat jajaran jurinya, seharusnya begitu. Pastinya, mudah saja bagi si pemenang DKJ mendapatkan penerbit berkualitas. Tapi, sedari awal, ia menetapkan syarat: mencari penerbit yang tidak akan mengedit naskahnya. Alasannya, “Ya nggak mau saja. Biarkan sebagaimana aslinya.”

Ketika membaca novelnya, lagi-lagi dengan hormat saya bisa mengatakan gagasannya yang baru dan sangat menarik kemudian terkubur oleh diksi kurang efektif, alur memusingkan, lantas berakhir seperti anak panah meleset dari sasaran. Andai ditangani seorang editor andal, novel itu akan luar biasa.

Saya percaya, secara teoritis semua penulis memahami fungsi editor. Tapi ketika tiba giliran naskahnya hendak diedit, ternyata, persoalannya jadi berbeda. Apa yang terjadi sehingga ada resistensi dari penulis kepada editor? Mengapa sikap anti-edit ini kerap muncul?

Bisa jadi, bagi sebagian penulis, mengakomodasi peran editor seperti “mereduksi kapasitas alaminya”. Mungkin ada kecemasan pada penulis bahwa naskahnya akan kehilangan ciri dan identitas pribadinya. Seperti ada ketakutan bahwa naskah jadi “tak seindah aslinya”. Apalagi jika jam terbang si editor berada di bawahnya.

Kerap seorang penulis harus berkepala dan berhati dingin untuk memotong naskahnya sendiri. Jika ia tak mampu atau tak tega, itulah gunanya seorang editor. Kesetiaan utama editor memang haruslah kepada pembaca. Karenanya, ia bisa mengkritik dan mendorong si penulis habis-habisan untuk memperdalam, memotong, merombak ulang naskah, atau kadang melakukannya sendiri jika tak punya pilihan lain. (Editor yang baik pasti membangun dialog dengan penulisnya.)

Ketika Bill Thompson (editor buku-buku Stephen King) menemukan John Grisham, ia bisa dibilang manusia langka. Grisham sudah menerima penolakan dari 40-50 penerbit. Insting Thomson yang terasah jam terbang tinggi meyakini potensi naskah Grisham, A Time to Kill. Akan tetapi naskah setebal 900 halaman itu harus dipangkas habis-habisan.

Grisham bisa saja menolak, ngotot, atau bahkan mencari penerbit lain. Dia toh sudah mengalami dicampakkan berkali-kali, apa bedanya satu penolakan lagi? Akan tetapi ia cukup rendah hati untuk melakukannya, memangkas lemak-lemak naskah yang ditulisnya selama tiga tahun, bahkan membuang hingga 300 halaman (!)

Penulis Prima Rusdi menulis di blognya bagaimana editor memiliki peranan besar dalam kariernya. “Tugas mereka bukan memuja-muji tulisan saya tapi justru membantai habis bila perlu. Salah satu editor saya pernah dengan sukses membuat saya menulis ulang sebuah cerita pendek dari nol! Perdebatan sebelum proses penulisan ulang ini boleh dibilang gila-gilaan, tapi hasilnya melegakan.” tulisnya.

Grisham dan Prima menyadari betul bahwa dalam konteks naskah, “asli” sangat mungkin belum mencapai “indah”.

Sehebat apa pun seorang penulis, ia membutuhkan orang lain yang berjarak tertentu terhadap naskah sehingga sudut pandangnya pun lebih luas. Setelah bergulat dengan naskah, penulis menjadi terlalu dekat dengannya. Ibarat dahinya melekat pada lukisan yang dibuatnya, hingga tak banyak yang bisa dilihat. Butuh orang lain untuk melihat warna apa yang masih belum merata? Apakah prinsip keseimbangan dan keselarasan sudah terpenuhi? Atau bahkan apakah ia sudah berhasil melukis bidadari atau justru setan?

Karena saya pun kerap berada di posisi penulis, saya pastinya pernah juga terhinggapi penyakit anti-edit(or). Rasanya hampir selalu deg-degan ketika saya mengirim naskah ke editor dan menunggu feed back, apalagi jika mesti bertemu langsung. Pergi ke dokter gigi mungkin masih lebih baik. Meskipun saya tahu feed back editor adalah serum bagi naskah, tetap saja saya masih belajar menerima komentar, kritik, keharusan revisi, bahkan bongkar total (terlebih jika sang editor kebetulan bermulut tajam). Saya tahu kadang rasanya bisa menyakitkan. Apa daya, darah itu merah, Jenderal!

Editor seperti seorang coach bagi penulis. Tak hanya bersikap kritis terhadap gagasan dan isi naskah, ia pun mesti menantang si penulis agar bisa mengeluarkan sisi terbaiknya. Itulah perujudan dari cinta yang keras (tough love). Bukankah lebih baik dibantai editor dibanding publik dan kritikus yang bersuara lebih keras dan kerap lebih pedas?

Semoga saat tulisan ini menghampiri Anda, ia sudah tersentuh tangan dingin editor. Meskipun tentunya nama saya yang akan terpampang keren di bawahnya.

Feby Indirani, Penulis dan editor lepas

* Dinukil dari Ruang Baca Harian Koran Tempo Edisi 26 Juli 2009

10 Juni 2010

Video Porno Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari Nggak Penting!

Di bawah kolong jembatan Tomang. Wanto, Malik, Sugi nggak kaget waktu mereka liat video porno Ariel, Luna Maya dan Cut Tari.

"Apaan tuh bu? Kalau kayak gitu di kolong banyak bu. Kirain koruptor atau atau teroris ditembak mati. Itu baru seru bu.

Beberapa detik berlalu tanpa kata-kata. Aku tatap muka anak-anak kolong jembatan itu satu persatu...biasa-biasa saja.
Terima kasih nak, kau ingatkan aku untuk berpikir hal yang lebih penting, ucapku lirih dalam hati.

Kutipan :
Dari status facebook Ibu Rooestien Ilyas, 10 Juni 2010
Hari ini beliau berulang tahun



09 Mei 2010

Saya Ingin Membuat Allah Tersenyum

Hujan deras turun setelah spanduk rumah kliping selesai dicetak di kantor Spirit Bersama Tajur. Perut lapar, tapi kami nggak bisa keluar sebab terkurung hujan. Seorang bapak tua masuk ke dalam kantor tersebut.

“Pak, bu, ini saya jualan nasi ama lauk. Ada ikan, ayam, jengkol, gorengan dan sayur buntil…nasi bungkusnya juga ada…baru dimasak ama istri saya.

Saya dan Mona mendekati bapak ini untuk melihat dagangan nasi dan lauk pauk milik pak tua. Hmm boleh juga, pikir saya dalam hati, setelah melihat dagangan yang dibawa pak tua.

Beberapa saat setelah itu, Mona bertanya :”Makannya pake apa pak?"


"Ini ada sendoknya…bersih kok bu", ujar pak tua

Saya langsung memilih makan nasi pake ayam bumbu dan Mona memilih nasi pake jengkol dan sayur buntil.

Di sela-sela makan, saya membuka percakapan dengan pak tua.
“Kok masih jualan pak”? tanya saya
“Saya nggak mau ngarepin uang dari anak, saya masih bisa usaha sendiri. “
“Oh, begitu , jawab saya seraya takjub.
“Dulu, saya karyawan UNITEX selama 34 tahun. Setelah pensiun, saya jualan nasi bungkus, Sehari saya ngejualin 8 nasi bungkus dan lauknya, yang masak istri saya. Saya jualan kayak gini udah 9 tahun.

“Umur bapak sekarang berapa?” tanya saya lagi.
“64 tahun, anak saya dua orang perempuan…yang satu kuliah di Jakarta dan yang satu lagi kuliah di Afrika. Meskipun sudah tua saya nggak mau cuma duduk-duduk di rumah…nanti malahan kena stroke. Saya lebih suka ngider jualan nasi kayak begini.”

“Bapak hebat, umur 64 tahun masih bisa jualan nasi,” ujar saya lagi.
“Kalau diem di rumah malahan pusing, prinsip saya apapun yang terjadi dalam hidup ini harus disyukuri, saya hanya ingin membuat Allah tersenyum,” jawab pak tua.

“Nanti, kalau saya kangen masakan istri bapak, saya datang ke sini aja ya buat beli nasi bungkus”, ujar saya. “Iya, saya jualan tiap hari kok pak”, jawab pak tua ramah.

Belakangan, saya tahu nama pak tua yang hebat ini adalah Pak Ali.
Sampai jauh malam saya masih memikirkan ucapan Pak Ali: Saya ingin membuat Allah tersenyum. Saya rasa Pak Ali sudah berhasil melukis senyum di wajah Allah. Terima kasih Pak Ali untuk nasihat hebatnya.